Debar jantung saat di Sumatra dan saat berjumpa preman
Tak seperti Fendi, Affandi merupakan sopir truk dengan rute antar-pulau. Ia sudah khatam dengan jalur lintas Sumatra. Paling jauh ia pernah mengantar muatan sampai Aceh. Sehingga banyak hal yang sudah pernah ia alami.
“Jawa ini mulus dan enak. Beda dengan Sumatra,” ujar lelaki yang sudah menjadi sopir sejak 2003 ini.
Jalanan berkelok yang membelah perbukitan jadi tantangan yang perlu dihadapi para sopir penjelajah jalur Sumatra. Membawa truk dengan muatan puluhan ton di jalur seperti itu tentu bukan persoalan mudah.
“Apalagi saat awal-awal lewat jalur sana. Rasanya deg-degan terus,” kenangnya.
Affandi masih ingat, ia pertama kali membawa truk jarak jauh rute perjalanan Jakarta-Padang. Satu truk membawa dua sopir yang secara bergantian mengemudi. Seingatnya, perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sepekan untuk bolak-balik.
Menurutnya, salah satu titik paling menegangkan di Sumatra berada di tanjakan Sitanjau Lauik, Sumatra Barat. Jalur dengan panjang sekitar 15 kilometer ini memang penuh jalanan menanjak yang kerap dijuluki tanjakan “maut”. Setiap hendak melintas di sana, hatinya terasa berdebar.
“Pasti deg-degan kalau mau sana. Turunannya juga curam, takutnya remnya blong gitu,” ujarnya.
“Perlu skill yang betul-betul mumpuni di sana,” sambungnya.
Dulu ia bisa sepekan sekali melewati jalur itu. Momen-momen paling menegangkan baginya adalah saat hujan.
“Hujan yang gerimis itu justru bahaya sekali karena jalan jadi licin. Kadang milih berhenti dulu. Kalau hujan yang deras malah tidak terlalu licin,” jelasnya. Namun, ia bersyukur tidak pernah mengalami insiden di jalan. Membawa kendaraan dengan panjang belasan meter membuatnya begitu berhati-hati.
“Beda perasaannya dengan bawa mobil kecil. Insiden truk dampaknya jelas lebih besar,” terangnya.
Keberadaan preman-preman juga jadi tantangan tersendiri bagi para sopir yang melintas di jalanan Sumatra. Affandi mengaku kerap menjumpai mereka. Saat sedang tanpa pengawalan ia tentu harus berkompromi dengan memberikan sejumlah uang.
“Tapi kadang ada muatan yang harus dijaga pengawal. Kalau bawa rokok misalnya, itu ada satu pengawal dari Brimob,” jelasnya.
Saat dengan pengawalan, preman tidak berani berbuat apa-apa. Pengawal cukup menunjukkan senjata laras panjang yang dibawa dan perjalanan lancar tanpa gangguan sampai tujuan.
Pengalaman menerjang jalanan Sumatra juga diceritakan Soni Rasmito (62). Sopir yang saya temui di sebuah bengkel di tepi Ringroad Selatan ini mengaku punya pengalaman beberapa kali mengantar muatan ke Pekanbaru dan Medan.
“Jalan Jawa jelas nggak ada apa-apanya. Sekarang sih mending di Sumatra sudah banyak tol. Dulu itu jalannya seram,” kata sopir truk yang tinggal di Jogja ini.
Saat ke beberapa daerah di Sumatra, Soni biasanya mengantar muatan salak dari Sleman. Truk Mitsubishi Canter miliknya sendiri ini biasanya berawakkan dua kru saat melanglang buana ke Sumatra.
“Dua-duanya sopir semua untuk gantian. Kalau saya capek ya diganti teman saya,” terangnya.
Masalah preman, Soni juga mengaku punya banyak pengalaman. Buatnya, kunci menghadapi mereka adalah ketenangan dan kesabaran.
“Asal ada ngasih ‘ini’ pasti beres. Pokoknya jangan dibuat emosi,” ujarnya sambil menggesekkan jempol dan telunjuknya.
“Jadi sopir itu harus cair, tenang, dan jangan emosian,” sambungnya tertawa.
Kesabaran ini, menurut Soni, penting sebagai modal selamat di jalan. Sebab banyak hal yang sering terjadi di luar rencana. Mulai dari dicegat preman, ketegangan dengan sesama pengguna jalan, hingga masalah-masalah teknis kendaraan.
Sebagai sopir sekaligus pemilik truk, Soni juga punya tugas untuk mencari muatan. Ini tugas yang tak kalah penting. Tanpa muatan, maka truk tidak menghasilkan pundi-pundi uang.
“Biar sering muat tentu harus punya banyak teman dan kenalan. Jadi sopir memang harus mudah bergaul dan akrab juga,” terangnya.
“Misal saya bawa barang ke Sumatra, pulangnya juga nunggu dapat muatan ke Jawa. Biar tidak sia-sia perjalanannya,” sambungnya.
Saat saya temui, Soni sedang memperbaiki pintu bak truknya yang sedikit rusak. Samar-samar, lukisan yang sudah pudar bergambar aktor laga legendaris Arnold Schwarzenegger terlihat di dinding belakang bak truk miliknya.
“Mau saya gambar ulang lagi, tapi malas juga, sudah tua nggak mau aneh-aneh,” ujarnya tertawa.
Lelaki paruh baya ini memang sopir yang cukup unik. Ia mengaku tidak suka merokok dan minum kopi. Padahal itu hal yang cukup identik dengan para sopir, terutama sopir truk rute-rute jauh.
“Terus gimana Pak, kalau nggak ngopi dan merokok, biar semangat dan nggak ngantuk di jalan?” tanya saya.
“Cukup teh tawar kalau mampir warung,” ujarnya tertawa.
Menurut Soni, tanpa kopi dan rokok pun sopir truk memang harus semangat. Tanpa semangat, bagaimana bisa sampai di tujuan dengan selamat.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono