MOJOK.CO – Lahir di daerah pecahan Karesidenan Surakarta kerap bikin orang Boyolali tidak percaya diri. Ketika saya ditanya asli mana saya akan jawab; “Solo.”
Dulu, orang mungkin mendengar Boyolali dari lagu populer “Susu Mbok Darmi”, rasanya stroberi asli dari Boyolali. Saat ini, gara-gara Prabowo Subianto menyinggung “Tampang Boyolali“, kota yang terletak di jalan Solo-Semarang itu kembali jadi sorotan banyak orang.
Benar-benar tak terduga, kota kelahiran saya ramai dibicarakan cuma karena urusan tampang.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dari konstruksi tampang orang Boyolali. Kontur wajah yang dibentuk oleh kharisma Gunung Merbabu dan Merapi.
Sebagai lelaki produksi silang mBolo-Klaten, saya tetap bangga mewarisi DNA Boyolali, yang diperam dari saripati susu murni bapak saya. Lahir di mBolo (sebenarnya Bolo, tapi kalau diucapkan memang harus ada “m”-nya di depan), Kecamatan Wonosegoro. Sekitar satu jam dari kabupaten. Zodiak Capicorn.
Sampai saat ini, Wonosegoro termasuk kecamatan berponten merah masalah kemiskinan. Jika kemarau tiba, air bersih sulit dicari. Berbanding terbalik dengan namanya Wonosegoro. Tapi, kaya atau miskin, sukses atau merana adalah masalah rasa syukur. Kalau hotel jadi acuan kekayaan, saya sering kok keluar-masuk hotel. Mulai dari hotel mewah sampai hotel wik-wik ah-ah—karena apes dijebak calo.
Masih mending Wong Boyolali belum pernah tidur di hotel, daripada Prabowo sering nginep di hotel tapi belum pernah merasakan nikmatnya kasur Istana Merdeka. Eh.
Terlepas dari kontoversi “Tampang Boyolali” yang jadi makan malam politisi dan makan siang media, satire ala Prabowo ada baiknya patut direnungkan. Terlebih jika pidato mantan jenderal yang hobi berkuda itu tidak dilihat secara parsial.
Secara statistik, angka-angka di atas kertas, Boyolali memang tidak masuk daftar kabupaten miskin. Tapi kalau Jakarta jadi pembandingnya ya tetap saja kota ini bakal mblesek.
Masalah kota ini sebetulnya bukan kemiskinan. Warga Boyolali punya mentalitas tangguh menyikapi kerasnya kehidupan, digembleng ketangguhan Merbabu dan Merapi. Dibanding Jogja-Solo, Boyolali jelas tak kalah bahenolnya.
Ia kerap jadi destinasi wisata orang-orang kaya dari ibukota. Orang-orang yang rela habisin duit cuma buat datang ke desa untuk menikmati pesona alamnya. Lalu tiba-tiba bicara makna kesederhanaan. Mengaku tenteram di dalamnya, di desa yang katanya miskin itu.
Satu masalah yang menghinggapi manusia berdarah Boyolali hingga kini cuma satu: nggak populer.
Menjadi mantan Karesidenan Surakarta kerap membuat orang beridentitas Boyolali tidak percaya diri. Saya misalnya, ketika ditanya asli atau asal mana sebagian besar saya jawab Solo. Ketika di Jogja atau Solo mendapat pertanyaan serupa, saya jawab Klaten.
Klaten, meskipun menurut data BPS tahun 2017 lebih miskin dari Boyolali membuat harga diri saya lebih yakin. Mungkin karena di Klaten masa anak-anak saya dihabiskan. Bermain berlarian ke sana kemari dan tertawa.
Rasa-rasanya, saya bukan satu-satunya yang mengeret-eret nama besar Solo atau Jogja sebagai pengalihan. Kawan saya di Facebook pernah bercerita, ayahnya merupakan warga kampung di Sentolo, Kulonprogo selalu menjawab Jogja setiap ditanya asalnya dari mana.
Bapak saya begitu juga, saat pulang ke desa, dalam perjalanan bapak ditanya orang, “Mandap pundi, Pakde?”
(Turun mana, Pakde?).
“Eh, ajeng ten Solo,” jawab bapak.
(Eh, mau ke Solo).
Padahal saya tahu, kami sama sekali tidak ada keperluan ke Solo. Lha wong saya yang beli tiketnya, masa iya tiket di tangan saya mendadak berubah tujuannya?
Sebenarnya, bisa saja langsung menyebut Boyolali, Wonosegoro, atau Klaten kalau ditanya, tetapi saya pikir mengaku Solo atau Jogja juga kan tidak ada dosanya ya kan?
Lagian, berdasar catatan sejarah Boyolali dan Klaten masih terpaut silsilah dengan Solo dan Jogja, yang nasabnya berujung pada Kesultanan Mataram. Satu daerah lah, yah paling tidak sama-sama Jawa lah.
Di samping itu, ada semacam perasaan sebal ketika orang bertanya-tanya dengan jawaban saya asli mana.
“Boyolali itu di mana ya, Mas?”
- Di hatimu.
“Sebelah mananya Jogja?”
- Sebelah sajadah.
“Kalau dari Solo ke arah mana?”
- Arah kiblat.
“Boyolali itu nama kota?”
- Bukan, itu nama panggung.
Dan terakhir yang paling menyebalkan: “Boyolali? Pff, kotamu kok lucu sekali namanya.”
- Horok. (Tanyakan sama temanmu yang asli Boyolali untuk tahu arti kata ini apa).
Kadang, saya juga kesal saat ada yang asal memplesetkan Boyolali menjadi “Buaya Lupa”. Padahal, nama Boyolali tercipta dari perjalanan dakwah para Wali. Nama ini berhubungan dengan ceritera Ki Ageng Pandan Arang yang sudah diramalkan Sunan Kalijaga sebagai Wali penutup menggantikan Syekh Siti Jenar.
Waktu itu, Sunan Kalijaga mengutus Ki Ageng Pandan Arang pergi ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk berdakwah. Istri dan anaknya diajak serta. Dalam perjalananannya dari Semarang menuju Tembayat, Ki Ageng mengalami banyak ujian.
Setapak demi setapak, sampailah Ki Ageng di suatu tempat yang banyak pohon bambu kuning atau bambu Ampel, tempat itu sekarang dikenal dengan nama Ampel dan jadi salah satu kecamatan di Boyolali.
Karena Ki Ageng jalannya ngebut, anak dan istrinya ketinggalan jauh. Sambil menunggu mereka, Ki Ageng Beristirahat di sebuah batu besar yang berada di tengah sungai. Ketika keduanya bertemu, Nyai Ageng berkata, “Kiai, baya wis lali wong iki,” (Kiai sudah lupa ya, bawa anak istri?).
Nah, dari kisah itulah nama Boyolali tercipta.
Boyolali memiliki andil besar dalam kelangsungan hidup saya sebagai manusia sekaligus warga negara. Minimal menjadi acuan ketika mengisi lembar administrasi. Sejak Mbah Kakung dan Mbah Putri tiada, saya jadi jarang pulang ke sana. Hanya Lik (paman) yang masih meneruskan nadi keluarga Bapak di sana. Sampai sekarang, saya memiliki utang rasa terhadap kota itu.
Terkadang, menampakkan identitas Boyolali juga tidak rugi. Gara-gara identitas tersebut, bisa saya lepas dari cegatan polisi. Suatu kali di bilangan Jakarta Timur banyak pengendara motor berkerubung.
Dari jauh saya kira kejadian apa, lamat-lamat mendekat ternyata razia. Saya termasuk pengendara kena cegat. Dimintanya SIM dan STNK. Gawat, pajak motor saya mati setengah tahun.
Usai beramah tamah ala cegatan, Pak Polisi memeriksa SIM, “Oalah, sampeyan Boyolali tho?” singkat dan padat dengan bahasa Jawa yang benar secara makhroj.
“Enggeh, Pak,” jawab saya singkat pula.
Pak Polisi lalu memeriksa STNK dan mencocokkan dengan nomor plat depan.
“Wah, ini STNK-nya sudah mati enam bulan, Mas,” katanya.
“Iya, Pak, belum sempat perpanjang,” kata saya pasrah.
“Ya sudah, ini Mas-nya mau ditilang atau mau diurus?”
“Nanti saya urus, Pak.”
Tiba-tiba SIM dan STNK saya dikembalikan. Saya pikir Pak Polisi ini orang Boyolali, atau mungkin asli daerah sekitarnya. Sehingga jiwa korsa paseduluran membuatnya tak tegaan sama orang melas seperti saya.
Usai terima kasih, saya tancap gas. Wah, aman. Beberapa pengendara lain menunggu diberikan surat cinta. Boyolali rupa-rupanya membawa keberuntungan. Bahagia menyelimuti sepanjang perjalanan.
Sampai ketika isi bensin dan melihat plat depan, saya tersadar bukan Boyolali pahlawannya siang itu, melainkan stiker “Pers” yang ada di plat depan. Kebanggaan saya pada kota kelahiran saya langsung mendua seketika.