[MOJOK.CO] “Problematika dalam menerjemahkan bukan hanya terbatas kata, tapi juga perasaan.”
Pada tahun 2016 lalu, Google Translate resmi berusia sepuluh tahun dan menjadi alat penerjemahan bahasa paling populer di seluruh dunia. Memahami lebih dari 100 bahasa, diperkirakan Google Translate mampu menerjemahkan 100 milyar kata per hari.
Uwoooooooww, dahsyaaaat~
Tapi, di antara 500 juta penggunanya, ternyata ada yang tida melulu iya-iya aja sama hasil terjemahan Google Translate. Seorang pengguna Twitter bernama Alex Shams, misalnya, pernah membahas tentang kemungkinan adanya bias gender dalam Google Translate. Bagaimana maksudnya?
Shams berbahasa Turki, yang disebutnya sebagai bahasa netral. Bahasa Turki tidak mengenal penggunaan kata “dia” yang dibedakan berdasarkan gender, seperti she atau he dalam bahasa Inggris. Kata “dia” hanya digambarkan dengan “o”.
Namun, ketika Shams mencoba menerjemahkan kalimat-kalimat berbahasa Turki ke bahasa Inggris, ia mendapati bahwa hasil terjemahannya cenderung bias gender dan bahkan seksis.
Turkish is a gender neutral language. There is no "he" or "she" – everything is just "o". But look what happens when Google translates to English. Thread: pic.twitter.com/mIWjP4E6xw
— Alex Shams (@alexshams_) November 27, 2017
Hal yang sama kemudian menginspirasi pengguna Facebook bernama Dina Utami untuk melakukan hal yang sama. Bedanya, alih-alih bahasa Turki, Dina menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Ya, seperti halnya bahasa Turki, bahasa Indonesia pun tidak mengenal sistem she atau he, karena seluruhnya berarti “dia” atau “ia”.
https://www.facebook.com/dinautami/posts/10155401574656028
Tulisan Dina ini juga dibagikan pada laman Indonesia Feminis.
Hmm, hmmm… Kenapa sih, kok gitu?
Menurut Shams, hal ini bisa terjadi mengingat Google Translate menggunakan sistem algoritma penerjemahan yang berdasarkan pada pencarian yang paling sering dilakukan. Jadi, jika dalam database Google terdapat 1000 pengguna menggunakan kata engineer dan kebanyakan dari mereka adalah pria, Google Translate pun akan mengartikannya sebagai pria (dengan kata he). Aturan ini berlaku pula bagi kata nurse yang merujuk pada wanita (atau kata she).
Masih menurut Shams, hal ini membuat Google Translate tampak menyoroti adanya bias yang memang hadir dalam budaya kita, termasuk sempitnya lahan pekerjaan bagi para wanita atau beberapa kondisi yang dianggap menggambarkan keadaan wanita, seperti kata-kata unhappy, lazy, dan hopeless.
Jelas, dari fenomena ini, teknologi tampil dengan ketiadaan sikap netral yang selama ini digadang-gadang.
“Technology is making these biases more solid and more rigid as algorithms come to determine ever more parts of our lives,” sambung Shams. Baginya, keberadaan teknologi semacam ini justru membuat bias gender semakin kuat mengingat algoritma pencarian bisa muncul di banyak aspek kehidupan.
Satu hal yang perlu diingat: teknologi hadir dan dibentuk oleh para penciptanya. Dalam hal ini, konteks “pencipta” tentu merujuk pada manusia.
Faktanya, bagi Shams, industri teknologi pun telah menampilkan bias yang nyata, dengan “banjirnya” tenaga kerja pria muda berkulit putih.
Gimana, my lov, menurut kamu? Para netizen telah lebih dulu ikutan bersuara nich~
Fransiska Nana: Hmmmmmmmmmmm……….when a machine begins to stereotyping……….hmmmmmm
Dian Vita Suandi: Hmm yang paling membingungkan buatku bagian menikah. Stereotype nya kok gitu banget ya?
Laleh Khalili: The “She is married/he is single” in particular is interesting; as well as his happiness and her unhappiness.
Rezy Pradipta: Berarti AI-nya lewat machine learning menyerap gender stereotypes yg beredar di masyarakat ya.
Herman Saksono: I’m curious about the training data that were used by Google Translate. I wonder if the Indonesian texts used for training were biased in the first place.
Cynthia Maharani: Gender bias!!
Jd Sorensen: /eyeroll. There is no other ways to translate it into English. Gender neutral does not exist in English.
Arkhadi Pustaka lhah Google Translate itu dapet masukan dari komunitas. Jadi hasil translate-an Google itu merefleksikan stereotype komunitas yang ngasih inputan, yang kemungkinan besar orang-orang Indonesia yang emang kekeuh sama stereotype. Btw, pernah nyoba ngasih inputan ke google translate? bisa lho, tiap orang yg punya akun gmail bisa kasi inputan ke translate-an google.
Farianti Ika Putri: Kalau algoritma google translate sendiri memang banyak ‘dibantu’ dari user user yang menggunakan (ada opsi mengganti kata hasil terjemahan), dan dokumen yang ditranslate misal dari artikel atau buku, jadi IMO bukan kesengajaan dari pihak google atau developernya.
Jadi, berapa banyak dari kamu yang udah nyoba nerjemahin pakai Google Translate setelah baca tulisan ini?