Art handler adalah sebuah profesi yang jarang didengar dalam dunia seni rupa Indonesia. Padahal Perannya sangat vital karena menyiapkan pameran secara teknis hingga bisa dinikmati khalayak. Salah satu sosok art handler asal Indonesia yang punya pengalaman internasional adalah Janu Satmoko.
***
“Art handler itu punya standar dan ga bisa sembarangan,” kata Janu Satmoko (38). Mojok menemuinya di sela-sela waktu istirahatnya saat sedang mempersiapkan pameran Nandur Srawung di Taman Budaya Yogyakarta (31/8). Sebelum memulai percakapan ia meminta izin tidak melepas kacamata hitamnya.
“Maaf ya pakai kacamata, ini kemarin mata saya abis kena percikan pas lagi nge-gerinda,” katanya sembari memperlihatkan mata sebelah kirinya yang kemerahan.
Mempersiapkan pameran seni rupa di tempat seperti galeri atau museum adalah pekerjaanya. Lebih dari satu dekade ia sudah menekuni bidang ini. Ia biasa mempersiapkan secara teknis pameran sebelum bisa dinikmati oleh publik.
“Saya menyadari bahwa kerjaan saya itu namanya Art handler itu tahun 2014, setelah Hongkong Art Fair Tahun 2012” katanya.
Janu menjelaskan bahwa fokus utama seorang art handler adalah menangani karya yang akan dipamerkan dengan baik. Biasanya ia bekerja dari mulai karya yang akan dipamerkan datang, mendatanya, lalu membuka packing, hingga memasang karya tersebut di ruang pamer.
Belajar banyak di Hongkong
Menilik lagi beberapa tahun belakangan, Janu mengungkapkan Art HK 12 atau Hongkong Art Fair pada tahun 2012 adalah event pertama yang ia geluti sebagai seorang art handler. Kala itu ia Bersama 7 orang rekannya yang berasal dari Yogyakarta berangkat ke Hongkong untuk menangani karya di gelaran tersebut.
“Sebetulnya saya basic-nya tuh ngelukis tapi waktu itu bingung nih mau gambar ga ada modal lalu nanya sama temen soal kerjaan handling waktu itu, diajak lah saya kerja bareng,” katanya.
Art handling merupakan dunia baru baginya karena pekerjaan ini menurutnya menuntut dirinya untuk terus belajar. Pekerjaannya sangat erat kaitannya dengan seni rupa yang telah ia terjuni jauh sebelum aktivitasnya sebagai art handler hari ini.
“Pertama kali ikut itu ke Hongkong. Waktu itu belum tau tuh kerjaanya ngapain,” katanya sembari tersenyum.
Selama di Hongkong ia mengakui banyak belajar soal bagaimana menangani sebuah karya dengan baik. Karya seni tidak bisa ditangani secara sembarangan.
Ia mencontohkan hal yang mungkin sering dilupakan seperti memegang karya seni itu harus memakai sarung tangan. Pun ketika mengatur suhu ruangan ada batas tertentu supaya sebuah karya seni bisa aman.
“Pas berangkat saya yang kepikiran di sana ya cuma nginstal karya aja, istilahnya helper atau asisten handling lah dan ternyata di sana ketemunya sama orang-orang profesional,” katanya.
“Nah di Hongkong itu ibaratnya itu kayak jiwa temperamenmu, jiwa jagoanmu, kukut kabeh, ini negara punya rules. Ini event standarnya udah internasional, lu ga bisa semau gue. Karya ga boleh masuk dulu sebelum panel jadi. Bikin panel pun harus profesional dengan waktu yang udah ditentukan,” ujarnya.
Saat berada di Hongkong ia belajar mengenai database karya, loading karya, warehouse, penyusunan crates dan box packing lukisan, dll. Ia merasa beruntung bisa belajar banyak soal ini.
Art handler adalah sebuah pekerjaan yang memang sudah sangat professional di Hongkong. Bahkan menurut sepengetahuannya untuk menjadi seorang art handler bahkan ada sekolahnya dan sertifikasinya. Berbeda misalnya jika dibandingkan dengan di Indonesia, ia bercerita kalau di sini pengakuan akan profesi art handler itu masih kurang.
“Ibaratnya masih menganggap kayak tukang. Padahal diluar diakui bahkan rumah lelang pun punya art handler sendiri,” katanya.
Karya lukis dan instalasi adalah medium yang ia tangani pada tahun-tahun awal sebagai art handler. Berikutnya barulah ia menangani karya patung. Selama di Hongkong Janu bekerja berada dalam naungan perusahaan bernama Helutrans. Perusahaan yang berbasis di Singapura dan mempunyai kantor di Hongkong, Beijing, dan Shanghai.
“Kalau bicara soal salary ya cukup banget,” jelasnya menjawab pertanyaan saya soal berapa pendapatan yang ia terima sebagai seorang art handler di Hongkong.
Art handler mulai berkembang di Indonesia
Paska-gelaran Hongkong Art Fair tahun 2012, tahun-tahun berikutnya ia mulai konsisten ikut dalam event-event internasional hingga tahun 2020. Seperti Art Stage Singapura, Art Hongkong, Art Basel, Philips Auction, Christie’s Auction, Sotheby’s Auction, dll.
“Setahun minimal bisa ikut dua event. Biasanya dalam satu event itu kerja bisa sampai satu bulan setengah. Misalnya di Art Basel itu bantuin dari mulai persiapan pamerannya sampai loading out. Mulai 2015 itu setahun bisa sampai 4 hingga 5 kali event,” katanya.
Salah satu pengalaman yang berkesan kala ia menangani karya patung seniman Fernando Botero. Karyanya pada saat itu berukuran besar yang displainya berada di sebuah taman di Singapura.
“Di taman itu trolley ga boleh nginjek rumput. Bayangain aja. Akhirnya kita pake truk towing, lalu pake crane juga, nah itu masangin triplek di bawahnya biar ga kena rumput panjangnya ada 20-50 meter, itu kita pake tripleknya yang tebel-tebel 2 milian. Dan pas saya bilang ‘mister’ ke dia trus dijawab ‘don’t call me mister, call me master,” ia bercerita
Namun, menurutnya art handler itu sekali lagi bukan hanya soal memasang karya saja. Lebih dari itu ia harus tahu bagaimana menangani karya agar safety karena setiap medium punya materi yang berbeda dan punya penanganan sendiri. Selain itu dia juga harus punya pemahaman soal ruang. Singkatnya buka melulu soal memasang karya lukis di dinding.
“Dulu istilah art handler itu belum dikenal di Indonesia. Tapi beberapa tahun belakangan ini mulai banyak yang tahu. Dalam ekosistem seni rupa art handler ini sekarang udah muncul dan orang yang berkecimpung sebagai art handler juga banyak,” jelasnya.
Di dalam negeri Janu seringkali bekerja bersama Art Merdeka. Ia menganggap tim tersebut sudah layaknya saudara. Dan kini dirinya mulai merintis studio sendiri bernama Soga Studio. Ia juga menikmati pekerjaannya sebagai commission artist.
Studio rintisannya ini sudah berjalan hampir setahun. Ia mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seperti manajemen yang perlu dibenahi. Namun yang terpenting menurutnya adalah kepercayaan dari klien atau pun seniman mulai terbangun karena melihat rekam jejaknya.
“Dulu Ilmu art handler ini saya pelajari sendiri. Sekarang di ISI ada yang namanya tata Kelola seni. Tata Kelola Seni, ini S2 nya mau lari ke ku kurator, penulis, atau manajemen galeri,” Pungkasnya.
Penulis: Purnawan Setyo Adi
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Anak Nakal dan Mahasiswa yang Jadi Relawan: Makian dan Tangisan di Pemakaman dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.