MOJOK.CO –Avengers: Infinity War yang kemarin tayang perdana di Indonesia bikin timeline jadi rasa pemilu. Semua gara-gara tukang spoiler.
Apa nih rame-rame di timeline? Ternyata banyak teman yang ngamuk karena ada orang-orang caper membagi spoiler akhir cerita Avengers: Infinity War di media sosial. Adegan block dan report bermunculan di mana-mana. Dan tahu-tahu udah ada dua kubu aja, kubu anti-spoiler dan pro-spoiler.
Beberapa teman Facebook saya bahkan sampai meng-unfriend teman-teman mereka yang jadi tukang spoiler dadakan. Levelnya berarti udah setara gontok-gontokan pemilu.
Dasarnya emang udah jadi pola kultur komentar di internet. Kalau ada yang nyerang sesuatu, pasti segera muncul jiwa-jiwa yang yang terpantik buat membela barang yang diserang itu. Tinggal nunggu aja kemunculan pihak ketiga yang mencoba mendamaikan (aslinya sih cuma menjelaskan kalau kedua pihak sama-sama punya salah dan benar). Apakah ini yang disebut dialektika tesis-antitesis-sintesis? Bodo amat, bg.
Tukang spoiler ini emang menyebalkan. Caper kelewatan. Sama caper + menyebalkannya dengan orang yang suka curhat no mention di media sosial, terus pas ditanya “Kamu ada masalah apa?” jawabannya “Ada deh” atau “Aku nggak apa-apa kok”.
Mati aja kaw.
Banyak tukang bela salah tempat ini yang sebenarnya nggak ngerti duduk permasalahan yang bikin orang-orang ngamuk sama tukang spoiler. Ujug-ujug ngatain anti-spoiler sebagai pengeluh tukang ngadu.
Jadi begini ya, kakak-kakak yang kecerdasannya dipertanyakan. Yang dipermasalahkan oleh orang-orang yang marah itu adalah bocoran yang diletakkan di tempat yang gampang kelihatan. Di IG Stories, twit, status Facebook, WA Stories, kolom komen, dst., you name it, lah. Persoalannya jelas, tempat-tempat kayak gitu rentan bikin orang yang nggak ada niat baca jadi nggak sengaja baca.
Selain tempat, masalahnya soal waktu. Bikin bocoran kok pas hari penayangan perdana. Ceritanya mau pamer sudah nonton duluan gituuu. Seriusan buat kalian para pembela tukang spoiler, bener kelakuan kayak begini ini mau kalian kasih pembenaran juga?
Ini pelajaran etika buat tukang spoiler: lihat waktu dan tempat, woi. Situs web film atau review ngasih spoiler itu biasa, tapi mereka nggak caper kayak kalian. Aturannya, ngasih spoiler ya kudu memberi peringatan di awal bahwa akan ada bocoran. Ya ampun, sedih sih kayak gini perlu diajarin.
Ada juga orang yang bilang kalau seseorang beneran pencinta film, harusnya nggak takut dong sama spoiler. Kan kalian nggak hanya menikmati ending, tapi jalan cerita. Sumpe ye, aing kesel banget baca alasan kayak gini.
Pertama, lihat kasus yang digugat di awal. Masalahnya ada di lokasi naruh dan waktu.
Iya, iya, ada kok orang yang saking sukanya sama film atau serial, mereka bela-belain berjam-jam nonton prediksi Game of Thrones di YouTube, misalnya. Tapi, prediksi beda sama spoiler. Selain itu, konten-konten spoiler maupun prediksi selalu dijuduli dengan jelas.
Justru karena mencintai film, pencinta film benci spoiler sembarang tempat. Suspense cerita dan twist ending bukan hal yang gampang dibikin buat penulis skenario, dan menyimpannya untuk bisa dinikmati penonton lain adalah bentuk apresiasi pada usaha penulis yang udah susah-susah bikin cerita menarik. Ngerti ora, Son?
Misalnya dalam kasus Harry Potter. Orang yang nggak ngerti seni bercerita bisa jadi menganggap novel dan filmnya bertele-tele. Halah, mau ngomong kalau Severus Snape sebenernya orang baik aja pakek ngalor-ngidul di tujuh seri selama sepuluh tahun. Orang yang nangis-nangis waktu sampai di adegan Harry melihat memori Snape pasti pengin banget nampol orang yang komen kayak gitu.
Saya ingat film The Prestige waktu Michael Caine menjelaskan tiga tahap dalam sulap. Tahap pertama bernama the pledge ketika pesulap menunjukkan sesuatu yang biasa, seperti mawar atau merpati. Kedua, the turn, adalah momen ketika benda itu dihilangkan.
Tapi, kata Caine di film itu, sampai di the turn penonton tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang hebat dan kemudian bertepuk tangan. Bagian paling penting dari sulap adalah bagian akhirnya yang bernama the prestige, ketika si pesulap memunculkan kembali barang yang hilang itu. Di bagian inilah si pesulap menjelma sebagai penyihir bagi para penonton yang bertanya-tanya tentang rahasia trik itu.
Seni yang sama berlaku untuk cerita. Orang bisa sedih, bahagia, tertawa, merana karena klimaks di ending. Ending, sependek apa pun dia, bagi beberapa jenis cerita sama penting dan kuatnya untuk menyangga cerita.
Jadi, berhentilah membagi bocoran film atau menganggapnya bukan kesalahan, apalagi menjadikannya cara melucu. Juga kepada para pembela tukang spoiler yang nonton juga nggak. Serius, kalian bukan cerdas dan bukan lucu. Kalian itu caper. Mending duit nonton film dipakek buat daftar kursus kepribadian aja sana.