Bulan depan, saya akan menikah. Sebagai bentuk rasa syukur, saya bakal menggelar semacam resepsi sederhana di sebuah kedai kopi milik sahabat saya dengan mengundang kawan-kawan dekat.
Selayaknya banyak anak muda kekinian, saya tertarik untuk ikut-ikutan tren wedding jaman sekarang, di mana konsep pesta kebun menjadi sebuah primadona bagi banyak pasangan yang melangsungkan pesta pernikahan.
Saya lantas ngobrol dengan kawan saya yang kebetulan punya kedai kopi tempat saya bakal melangsungkan resepsi, dia mendukung penuh rencana saya. Dan kebetulan juga, kedai kopi milik kawan saya itu juga punya spot outdoor yang memang cukup luas dan layak untuk dibikin menjadi latar pesta kebun.
Kami ngobrol panjang lebar terkait perencanaan pesta kebun tersebut, sampai kemudian kami sama-sama paham, bahwa ada satu musuh besar yang mengintai: hujan.
Tak bisa dimungkiri, pesta kebun yang digelar di luar ruangan memang bakal kacau jika hujan turun. Ia serupa layar tancep misbar, gerimis bubar.
Berhari-hari kemudian, masalah soal hujan ini masih saja menghantui pikiran saya. Betapa akan sangat kacau jika konsep pesta kebun yang sudah saya rancang itu ternyata remuk karena saat hari H turun hujan deras.
Saya kemudian berkonsultasi dengan kawan saya yang lain yang dulu pernah bekerja cukup lama dalam dunia per-EO-an.
“Solusinya ya pawang hujan,” ujarnya.
Kawan saya ini ternyata sudah sejak lama sering menggunakan jasa pawang hujan saat ia aktif bekerja sebagai EO untuk membantu menyukseskan acara yang sedang ia garap.
“Lha bayangkan, konser besar, di lapangan. Belum jamannya tiket online. Tiket banyak dijual di tempat. Band sudah dibayar sama promotor. Tempat dan juga perizinan juga sudah diurus. Pas jam konser ternyata turun hujan. Target penjualan tiket tidak tercapai karena banyak yang males nonton. Apa nggak tekor kalau begitu? Mangkanya ya mau nggak mau harus pakai Pawang hujan”
Saya bimbang. Ini pertama kalinya saya berhadapan dengan masalah seperti ini. Saya kemudian iseng bertanya pada kawan saya tentang hukum menggunakan pawang hujan secara agama.
“Menurutmu, Mas,” kata saya. “Kalau menggunakan pawang hujan itu sebenarnya apakah dosa, Mas? Apakah ia setara dengan mempercayai dukun?”
Ia tertawa.
“Ngene, Gus,” katanya, “Perspektifmu tentang pawang hujan ini harus diubah sedikit. Aku kasih contoh. Kalau kamu sakit, lalu kamu pergi ke dokter, kemudian dokter ngasih obat, dan ternyata kamu sembuh. Itu menurutmu karena Allah atau karena dokternya itu?”
“Ya karena Allah, tho ya.” Jawa saya, “Tapi kesembuhannya melalui perantara dokter.”
“Nah, di situ poinnya. Bagaimana kalau kamu memandang pawang hujan itu dari perspektif dokter itu tadi. Kamu berdoa sama Allah agar nanti tidak hujan, tapi kamu juga beriktiar melalui perantara pawang hujan. Kan sama saja, pawang hujan itu punya itung-itungan sendiri, punya ilmunya sendiri. Sama kayak dokter yang juga punya ilmu sendiri. Ilmu yang kamu tentu saja nggak mudeng.”
Saya mantuk-mantuk. Dia merenges.
Saya memikirkan dalam-dalam argumen kawan saya itu. Dan timbul semacam “Bener juga, ya…”
Keraguan saya untuk memakai jasa pawang hujan sirna secara perlahan.
Untuk lebih meyakinkan soal pawang ini, saya kemudian menanyakan hal ini pada Dafi, kawan saya yang kebetulan seorang Santri.
“Daf, orang itu sebenarnya benar-benar bisa bikin hujan tidak turun nggak sih? Kayak pawang hujan gitu. Kalau dalam islam, apa memang ada amalan khusus?”
Menurut Dafi, memang ada amalan-amalan khusus yang mungkin bisa dilakukan untuk membikin hujan tidak turun. Salah satunya ya doa.
“Lha kamu inget nggak pembukaan liga santri di Maguwo beberapa waktu yang lalu? Walau sebelumnya Mendung pwol, tapi toh tetap nggak hujan.”
“Itu menurutmu kenapa, Daf?”
“Ya karena banyak kiai jadug (sakti), doanya paten.”
“Wah, berarti perkara hujan bisa diikhtiarkan ya.”
Dafi kemudian bercerita tentang seorang kiai terkenal di Wonosobo (saya lupa namanya) yang oleh warga sekitar dikenal sebagai kiai hujan sebab kepiawaiannya dalam urusan memawangi hujan.
“Wah, berarti kalau memang kiai-nya sakti, doanya makbul ya, Daf? Apalagi kalau kiai-nya banyak”
“Iya…”
“Tapi, Daf,” kata saya, “Ngomong-ngomong soal doa kiai yang banyak ini, menurutmu, kenapa dulu Arab Saudi bisa dikalahkan telak 8-0 sama Jerman saat piala dunia? Padahal kan logikanya di Arab Saudi banyak kiai yang sudah pasti sakti dan jempolan.”
“Gini, Gus. Kiai itu derajatnya tinggi. Urusannya pasti langit. Mereka bisanya menahan hujan air agar tidak turun dari langit. Tapi kalau menahan hujan gol dari para pemain Jerman, itu urusan bumi. Mereka malah nggak bisa.”
“Mashoooooook!”