Xabiru Dikomen Nggak Lucu: Emang Ngawur yang Komen!

MOJOK.COAda yang komentar kalau Xabiru itu nggak lucu. Wah, parah emang yang komen! Kok tega, dia bilang kayak gitu~

Kita memang nggak pernah bisa mengontrol komentar orang lain terhadap kehidupan kita—apalagi yang ditunjukkan di media sosial. Sebaik apa pun konten yang berusaha kita tunjukkan, komentar negatif pasti masih saja muncul. Dan bikin kesel.

Hal inilah yang baru saja terjadi pada Okin—suami Rachel Vennya. Ia habis “marah-marah” karena ada seorang mbak-mbak yang komentar kalau anaknya, Xabiru, itu nggak lucu. Setelah mendapat komentar seperti itu, awalnya Okin (((hanya))) meng-quote tweet komentar mbak-mbak yang bernama Ellis tersebut dengan bilang, kalau mbaknya juga nggak lucu.

Ramailah postingan tersebut. Yang dipenuhi dengan memojokkan komentar Ellis. Mungkin karena nggak kuat menerima serangan tersebut, Ellis pun memilih tutup akun. Mengetahui Ellis tutup akun, Okin justru nge-post avatarnya Ellis. Karena mengganggap Ellis kabur setelah ditegur.

https://twitter.com/okintph_/status/1149350457594146816

Netizen pun jadi terbagi menjadi dua. Ada yang nggak terima sama komentar Ellis yang sungguh menyakitkan bagi orang tua manapun, termasuk orang tua Xabiru. Ada pula yang justru membela Ellis dan bilang kalau sebagai public figure cum influencer, Okin dianggap memberikan respons yang berlebihan karena tidak menunjukkan kedewasaan blas!

Namun perlu diingat, kalau kedua pihak itu sama-sama manusia. Yang artinya, menjadi manusiawi kalau misalnya Ellis nggak bisa mengontrol jarinya untuk berkomentar dan bisa bikin orang lain sakit hati. Sebaliknya, juga menjadi hal yang manusiawi ketika Okin nggak bisa mengontrol emosinya. Lantas marah-marah saat anaknya, Xabiru, dikomentari dengan hal yang melukainya sebagai orang tua.

Jadi, karena dua-duanya masih sama-sama manusia, ya wajar-wajar aja kalau di saat-saat tertentu lagi nggak bisa mengontrol emosi ataupun mem-filter pikiran bebasnya. Kecuali, kalau salah satunya malaikat. Itu baru perlu dipertanyakan.

Lagi-lagi, kita memang nggak bisa mengontrol tanggapan dan pendapat orang lain. Harusnya, ini menjadi salah satu pijakan atau prinsip ketika kita sudah memutuskan untuk bermain media sosial. Kita nggak bisa menyenangkan semua orang. Dan tidak semua orang bisa menyenangkan kita.

Berbeda dengan timeline Instagram saya 5 atau 7 tahun yang lalu, Instagram saya sendiri saat ini juga lebih sering muncul postingan soal anak. Entah itu memang karena teman-teman yang saya follow sudah banyak yang punya anak. Ataupun karena memang meng-upload aktivitas anak-anak di media sosial menjadi lebih asyik untuk dilakukan.

Ada yang sekedar ingin menunjukkan aktivitas keseharian anaknya dengan kualitas foto atau video yang “sangat apa adanya”. Ada pula yang betul-betul ingin “menonjolkan” aktivitas terbaik dari anak-anaknya. Lantas mendandani mereka sedemikian rupa. Membuat tampilannya menjadi lebih terawat dan rupawan, sehingga enak buat dilihat.

Maka nggak heran, kalau kemudian term “ponakan online” pun muncul di mana-mana. Menjadi suatu hal yang biasa terjadi, ketika netizen mengidolakan para ponakan online tersebut sebagai salah satu cara menyalurkan hasrat emesh-emesh yang membara.

Tapi, tapi, tapi, buat orang tua yang memutuskan untuk meng-upload aktivitas anaknya ke media sosial. Sebetulnya, apa sih kepentingannya?

Harus diakui, selain sebagai dalih untuk mengetahui tumbuh kembang anak. Ini juga soal euforia menjadi orang tua, kan? Juga soal kebanggaan dan eksistensi (((bersyukur karena punya anak))). Ya, orang tua mana sih, yang nggak bangga kalau anaknya tumbuh menjadi anak yang sehat, ceria, bonus lucu dan menggemaskan lagi? Dan hal ini, juga dirasakan oleh kakak sepupu saya ketika memutuskan memenuhi feed Instagram dan Youtube-nya dengan konten penuh soal anak-anaknya aja!

Meng-posting soal anak, memang menjadi salah satu alternatif konten yang cukup laris untuk meningkatkan engagement di media sosial. Postingan soal anak, tidak sulit membuat netizen yang melihatnya memberikan sekadar like atau komentar pujian soal kegemesan terhadap anak tersebut. Wong saya sendiri juga sering ikutan komentar ke postingan anak-anaknya teman saya. Ya, karena mereka menggemaskan, mudah bikin sayang dan simpati dengan kepolosannya, sehingga betul-betul komen-able.

Namun yang sering kali seolah dilupakan, kalau keputusan ini juga punya risiko. Seperti yang dialami oleh orang tua Xabiru. Sebanyak apa pun komentar yang memuji-muji Xabiru, tetap aja ada komentar yang bikin sakit hati.

Sakit hati itu juga manusiawi. Tapi, (((harusnya sih))) karena udah tahu risiko dari keputusan upload soal anak di media sosial, nggak usahlah sampai marah-marah. Apalagi kalau misalnya, tujuan dari upload soal anak ini nggak sekadar untuk eksistensi, tapi sebagai sarana pembelajaran, misalnya.

Ya, semacam sebagai media supaya anak untuk berani ngomong di depan kamera. Berani untuk bergaya meski dilihatin orang. Kalau memang upload ke media sosial ini sebagai sarana pembelajaran, harusnya orang tua nggak ribet, dong kalau ada komentar yang nggak mengenakkan? Lha wong postingan tersebut bukan sekadar sebagai pamer lucu-lucuan doang?

Tapi kalau keputusan posting ini hanyalah sebagai cara untuk menyimpan dokumentasi soal perkembangan anak, bolehlah cara Angga Dwi Sasongko dicoba. Beliau ini, bikin akun Instagram dengan nama anaknya, tapi di-privat. Akun tersebut disimpan untuk dilihat anaknya nanti.

Atau malah meniru cara Raisa yang “menyembunyikan” anaknya dari media. Pasalnya, beliau pengin menjaga hak privasi anaknya: sampai si anak dapat memutuskan soal “ruang” privasinya sendiri.

Btw, soal komentar yang menyakitkan itu. Meskipun kita memang punya kesempatan bisa ngomong bebas di media sosial. Etika tetep perlu, sih. Kalau nggak, bakal kayak gini. Hal yang kelihatannya sepele buat kita, eh ternyata bisa menyakiti orang lain sampai segitunya. Terus bikin kita susah-susah sendiri, sampai akhirnya tutup akun. Kan eman-eman, yakkk.

Fyi, saya sering loh dikatain nggak lucu. Padahal sudah berusaha ngelucu. Tapi, yaudah gpp~

Exit mobile version