Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Saya tidak mau memungkiri, di antara daerah yang masuk eks keresidenan Surakarta yang lain, Wonogiri adalah yang paling terkenal dan tidak terkenal di saat yang sama. Ia amat dikenal jika kita ngomongin mi ayam, tapi di saat yang sama, orang-orang tak tahu apa pun tentang daerah ini.

Banyak yang menarasikan Wonogiri seakan-akan daerah yang masih dipenuhi beruk di jalan-jalan dan kami, para warganya, berkelana dengan gerobak yang ditarik sapi. Perantaunya seakan-akan dianggap orang tak berbudaya, mengerti peradaban baru setelah turun dari bus, dan melihat Monas seakan-akan patung Jesus besar di Brazil.

Kalau narasi itu katakanlah muncul di tahun 2011, okelah. Internet masih mahal, orang percaya ada gadis dikutuk jadi ikan pari, dan percaya bahwa penggundulan lahan untuk sawit itu baik. Tapi, kalau masih ada yang percaya kayak gituan di 2025, sebenarnya gimana pola pikirnya?

Padahal kau tidak bisa bicara Surakarta, atau Solo Raya tanpa membahas Wonogiri. Meski kabupaten ini kecil, dan upahnya adalah salah satu yang terkecil di Indonesia, tapi tak bisa juga Tanah Suci Mi Ayam ini dipinggirkan begitu saja.

Wonogiri tidak sesepele itu

Wonogiri punya sejarah panjang dan krusial. Kota Gaplek adalah basis perjuangan Raden Mas Said melawan kolonial. Dari situ saja sudah terlihat bahwa sejak dahulu kala, daerah ini tidak bisa dipandang sepele.

Membawa sejarah memang kerap dipandang sebagai tabiat orang kalahan, kayak fans MU. Tapi untuk kali ini, saya merasa sejarah harus saya bawa karena tak sedikit orang menganggap Kota Gaplek sesepele itu, dan tidak punya sumbangsih apa-apa. Padahal, kalau mau luangkan waktu, bisa tahu kalau daerah eks kerisidenan Surakarta paling selatan ini punya andil yang besar dalam masa perjuangan.

Kalau tak suka sejarah, baiklah, saya akan bawa-bawa keunggulan daerah. Saya berkali-kali bilang, Wonogiri adalah tempat tinggal terbaik karena memang kota ini masih amat asri. Kalau kalian orang kota besar butuh main ke daerah-daerah cuman buat liat yang ijo-ijo, saya, warga akamsi, tinggal keluar rumah.

Dari rumah saya menuju rumah ibu saya, saya melewati beberapa sawah, sungai, dan hutan. Pemandangan hijau menyegarkan itu bukan bayaran kerja keras bagi kami, tapi sudah menyatu dengan nadi.

Maka kalau ada yang bilang orang Wonogiri banyak yang chill, saya setuju. Kami melihat hal tenang, indah, dan segar tiap hari. Kalian-kalian beruk beton kota besar mana relate. Tiap hari kalian berjibaku di jalan raya, kejar-kejaran lawan waktu, yang dilihat ya itu lagi, itu lagi. Gimana atimu ra elek, cah.

“Udah ada listrik?”

Saya agak sedih ketika ada kenalan asli Wonogiri memilih mengaku Solo, tapi di saat yang sama, paham juga kenapa. Sebab, ketika mengaku aslinya mana, bisa jadi dianggap primitif, tak berbudaya, tak kenal listrik, tak paham Pancasila. Kalian yang warga-warga kabupaten, pasti tahu betul rasanya gimana.

Bagi orang-orang kota dan sok beradab, kita warga kabupaten dianggap sebagai makhluk yang perlu dikasihani dan dikenalkan peradaban. Ini yang selalu saya liat tiap ada tulisan tentang Wonogiri atau kabupaten-kabupaten lain. Seakan-akan, kami ini makhluk kasta ketiga yang perlu diteliti.

Maksudnya, ayolah, kotamu itu juga nggak maju-maju amat kok. Kau ini juga nggak beradab-beradab banget. Toh, banyak banget tokoh nasional asli Kota Gaplek. Suwiryo, wali kota pertama Jakarta setelah Proklamasi itu kelahiran Wonogiri. Soedjarwo, Menteri Kehutanan Indonesia era Orde Baru juga kelahiran Kota Gaplek. Suharto juga sempat menghabiskan masa kecil di Wuryantoro.

Dan, tentu saja, Gregoria Mariska Tunjung, pebulutangkis wanita, peraih medali perunggu Olimpiade Paris 2024, adalah putri kebanggaan Wonogiri. Nikah aja dia di Monumen Bedol Desa Wonogiri. Cuk, kui cedak omahku. Kalau sore sering jadi tempat jualan bakso bakar.

Anggap kami sama

Tapi poin saya bukan itu. Saya ingin orang-orang Wonogiri itu dianggap sama sebagaimana ketika kalian melihat orang Surakarta atau Solo. Dianggap sama, dan dianggap berbudaya. Narasi kalian ketika bikin tulisan jangan seakan-akan kami ini udik. Perantau Kota Gaplek di Jakarta itu bisa jadi sebelumnya udah kuliah di Bogor atau Surabaya. Toh kami ini mengecap pendidikan tinggi juga.

Apa yang kalian temui di kota besar, ya kemungkinan besar juga kalian temui di Kota Gaplek. Kami ini nggak primitif. Ini udah 2025, segala kemajuan sudah hampir merata. Lagian Wonogiri ini diapit Jogja dan Solo plis, kami ini terpapar kemajuan sama besarnya dengan kota-kota lain.

Bahwa kami masih banyak yang merantau, peluang kerja industri kreatif kecil, tak bisa dimungkiri juga. Tapi, itu masalah banyak daerah di Indonesia. Apalagi kami ada di Jawa Tengah, yang memang belum seksi perkara ekonomi. Jadi ya, wajar kalau mungkin tidak semaju yang ada di pikiranmu.

Tapi, bukan berarti kamu bisa memandang kami warga kelas dua. Kami bukan cuman pelengkap Surakarta. Kami bagian Surakarta yang bangga dengan diri kami sendiri. Kalian ini cuman menang fasih ngomong lo-gue, perkara skill, bisa diadu. 

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 4 Pertanyaan yang Bikin Warga Wonogiri Naik Darah dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN

Exit mobile version