MOJOK.CO – Usulan dari Bapak Bamsoet soal Kementerian Kebahagiaan, mungkin awalnya terdengar “apa banget”. Akan tetapi, percayalah, ini adalah kementerian yang paling kita butuhkan!
Ketua DPR kita tercinta, Bapak Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengusulkan supaya kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf bikin kementerian baru, yakni Kementerian Kebahagiaan dan Toleransi. Menurutnya, hal ini merupakan salah satu cara yang bisa mendorong menjadikan “Indonesia Bahagia”. Bagi Bapak Bamsoet, bukankah semua yang kita lakukan hari ini sebetulnya untuk menuju ke masyarakat yang berbahagia? Lantas, mengapa justru kementerian ini malah tidak ada?
Mungkin kita memang sungguh membutuhkan Kementerian Kebahagiaan dan Toleransi. Akan tetapi, yang akan dibahas di sini hanya soal Kementerian Kebahagiaan saja. Biar fokus. Kita membutuhkannya karena bahagia adalah adalah ujung dari pencapaian usaha kita selama ini. Sejalan dengan Bapak Bamsoet, bukankah setiap usaha yang kita lakukan dalam kehidupan ini untuk mendapatkan kebahagiaan?
Selayaknya Jogja yang punya tingkat kebahagiaan yang tinggi. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017, Jogja punya indeks kebahagiaan di atas rata-rata, yakni di atas angka 70%. Masuk sepuluh besar di Indonesia dan peringkat pertama di Pulau Jawa.
Bodo amat dengan tingkat bunuh diri yang tertinggi di nomor empat pada tahun 2015 (dengan 59 kasus). Bodo amat dengan UMR yang kayak gini. Bodo amat dengan tingkat ketimpangan yang makin menjadi-jadi—bahkan di tahun 2016 tertinggi di Indonesia. Dan bodo amat dengan harga tanah yang semakin tak terkendali. Selama tingkat kebahagiaan tinggi, maka itu artinya masyarakat aman-aman saja, bukan?
Kalau ada yang bilang kebahagiaan berada satu garis dengan kesejahteraan, sepertinya tidak juga. Saya mengenal seseorang, kalau dalam sudut pandang orang lain hidupnya nggak ada sejahtera-sejahteranya dan justru banyak kekurangannya. Namun, berbincang dengannya justru berhasil membuat hati jadi tentram. Ada hawa positif dalam setiap ucapan yang dia keluarkan dan setiap sikap yang dia tunjukkan. Dengan kepribadiannya yang demikian, sulit mengatakan dia tidak berbahagia dengan kehidupannya.
Jadi, kalau ada yang menganggap Kementerian Sosial saja adalah yang paling bertanggung jawab untuk bikin masyarakat sejahtera dan bahagia, tampaknya tidak juga. Toh, lagi-lagi sejahtera dan kebahagiaan bukanlah suatu hal yang berkesinambungan.
Sudah jelas, sungguh maha penting usulan dari Bapak Bamsoet kita tercinta ini. Saya yakin Bapak Bamsoet sudah memikirkannya matang-matang bahkan mungkin pakai semedi dulu dalam sebulan. Buktinya, keberadaan kementerian yang lain itu tidak dapat menjamin kebahagiaan apa-apa. Lha wong nyatanya masyarakat kita masih terpuruk saja.
Sejahtera memang bukanlah jaminan. Orang dengan tingkat perekonomian seaman apa pun bahkan semua hal di tubuh dan hidupnya sudah diasuransikan, juga tidak menjamin hidupnya merasa bahagia. Lantas, hidupnya merasa aman dan tentram. Jadi, mensejahterahkan masyarakat sepertinya memang bukan lagi tugas negara. Tugas negara ini cukup bikin masyarakatnya bahagia. Dengan cara seperti apa? Mungkin dalam hal ini, Jokowi bisa belajar salah satunya ke Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta—yang jelas-jelas sudah membuktikan tingkat kebahagiaan masyarakatnya.
Jangan pula menganggap usulan Bapak Bamsoet soal kementerian ini asal-asalan dan hanya pengin nambah-nambahin jumlah kementerian yang sudah ada. Atau menganggap kementerian ini hanya sekadar alasan untuk proyekan. Sungguh, itu tuduhan yang keterlaluan.
Keberadaan kementerian ini memang betul-betul sepenting itu. Kalau ada yang menganggap Finlandia yang negaranya punya tingkat kebahagiaan tertinggi pada tahun 2018 itu saja tidak butuh ada departemen khusus yang mengatur soal kebahagiaan masyarakatnya, ya itu karena mereka sudah maju sejak dulu. Sementara kita, negara yang masih berkembang dan tingkat kebahagiaannnya berada di peringkat 96 dari 156 negara, ya jelas butuh dikuatkan. Butuh peran pemerintah untuk membantu bikin program-program andalan yang bisa membantu masyarakatnya betul-betul merasakan kebahagiaan secara merata.
Misalnya dengan program meditasi secara berkala untuk membantu masyarakat Indonesia melepas segala kesalahan, kemangkelan, ataupun dendam yang telah lalu. Lantas, menerima keadaan yang ada saat ini dengan lebih lapang dada. Tak peduli dengan susahnya mencari pangan. Tak peduli dengan mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Asalkan ada rasa legawa dan kerelaan menghadapi keadaan, pasti semuanya akan baik-baik saja.
Bahkan, kalau tingkat kebahagiaan kita sudah semakin tinggi, mungkin kita tak butuh lagi fasilitas kesehatan. Jadi, pemerintah nggak perlu lagi repot-repot bikin BPJS untuk memastikan akses kesehatan sampai di seluruh penjuru negeri. Ya, bagaimana tidak? Bukankah katanya segala penyakit itu datangnya dari hati? Kalau hati kita bersih dan kondisi mental kita sehat walafiat, tentu kita akan menjadi masyarakat yang juga sehat secara fisik juga, kan?
Nah, kalau masyarakatnya sudah bisa berbahagia dengan begitu namaste, bukankan ini akan meringankan pemerintahnya? Pemerintahnya bisa jadi lebih santai terus fokus bersenang-senang dan liburan~