MOJOK.COĀ – Mungkin hanya orang eks Karesidenan Banyumas yang paham betulĀ kalau dage adalah cemilan yang patut diberi tribute. Kehadirannya sekarang sudah hampir punah, padahal dage pernah menyelamatkan saya.
Sebagai makanan yang sering diolah jadi gorengan, Dage selama ini dianaktirikan. Ia dikelompokkan sebagai makanan ‘sampah’ yang katanya nggak bergizi, sekelas dengan tempe bongkrek, tempe menjes, hingga gembus. Teman-teman saya pernah sempat dilarang makan dage oleh orang tua mereka karena katanya nggak sehat.
Secara tekstur, dage dan bongkrek sekilas hampir sama. Keduanya terbuat dari bungkil kelapa yang diberi laru untuk difermentasikan. Bedanya, bongkrek mengikutsertakan ampas kelapa ke dalam olahan, tidak disaring layaknya dage.
Dage atau dages, bahan makanan yang terbuat dari ampas kelapa lalu dijamurkan (seperti tempe) ini mudah ditemui di daerah Banyumas dan sekitarnya. Enak digoreng tepung dan dioseng. pic.twitter.com/HltTvmiCze
ā BNGPY (@BNGPY) December 1, 2019
Keduanya berwarna hitam, dan kerap digunakan untuk ransum ternak. Inilah yang bikin masyarakat selalu memicingkan mata. Sedari dulu manusia memang nggak mau disamakan dengan hewan, tapi kelakuannya kadang melebihi sembrononya kucing yang berak di kasur. Haaash!
Tempe bongkrek sendiri sudah hampir punah. Ia pernah menyebabkan sebuah tragedi tak terlupakan di mana sejumlah penduduk Banyumas pada sekitar tahun 1895-1901 keracunan makanan ini dan tewas sehari setelahnya. Proses pembuatan bongkrek memang terkenal rawan, ia sering dituduh terkontaminasi bakteri Burkholderia galdioliĀ yang berubah jadi racun mematikan. Tragedi tewasnya penduduk yang mengonsumsi bongkrek juga terkenal menjadi latar belakang cerita Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis oleh Achmad Tohari.
Bertahun-tahun setelahnya, tempe dage yang masih kakak-adik dengan bongkrek juga selalu disama-samakan. Tapi saya pernah mengalami suatu masa di mana saya nggak peduli lagi akan hal ini.
Saya tinggal di pesantren ketika SMA, walau saya juga menempuh pendidikan formal di sekolah negeri. Sepulang sekolah, pesantren tidak menyediakan makanan. Makanan akan dibagikan setelah ngaji sore, atau sekiranya satu jam sebelum azan magrib.
Di tengah kelaparan yang luar biasa itu, saya sering mendapat kekecewaan karena hanya dapat menu nasi, sayur kangkung yang kuahnya kayak air banjiran, dan tahu goreng yang hambar dan kasar. Saya pengin nangis. Tapi di saat inilah saya berkenalan dengan dage.
Usai mengaji sore selesai, selalu ada ibu-ibu tua yang membawa bakul danĀ standby di tempat pembagian makanan. Si ibu ini menjajakan berbagai gorengan dan jajanan khas banyumasan, salah satunya dage.
Saya bukan anak yang diberi uang saku banyak, di tahun 2009 saya cuma dikasih uang Rp150 ribu sebulan untuk jajan dan naik angkot ke sekolah. Maka, membeli dage yang harganya cuma Rp200 perak benar-benar menolong.
Gorengan dage yang dibuat si ibu diolah dengan tepung terigu dan daun bawang, tentu saja micin tidak boleh lupa. Memakan dage ketika itu hampir sama dengan memakan daging, rasanya enak, teksturnya lembut, dan bisa menyelamatkan saya dari hambarnya dunia.
Belum lagi jika beli gorengan banyak, saya boleh minta beberapa cengis atau cabe rawit yang cukup buat bikin geprekan sambel. Makanan saya udah nggak hambar, selain asin, dia bakal pedas. Memori sedih tapi manis begini nggak akan saya lupakan.
Untuk itulah saya merasa tempe dage layak dibuatkan tribute.Ā Minimal dengan tulisan ini akan ada banyak orang yang tahu kalau dage itu nggak buruk-bruk amat kok. Bahkan pemerintah Kabupaten Banyumas telah meninjau proses pembuatan penganan ini dan menyatakan bahwa dage adalah makanan yang mengandung gizi dan aman dikonsumsi.
Sejauh ini anggapan kalau dage itu makanan sampah saya rasa cuma stigma, karena kasusnya nggak bisa disamakan dengan tempe bongkrek. Maka, saya mendukung tempe dage untuk terus diproduksi oleh pengrajin-pengrajin makanan di Banyumas dan negeri ngapak biar tetap bisa dikonsumsi suatu waktu. Jujur saja sekarang pun saya kangen makan dage goreng tepung.
Ini tribute buat dage sejauh yang bisa saya lakukan sekarang. Andai saya punya usaha kuliner atau cafeĀ sih bakal sayaĀ repackage biar jadi cemilan keren yang naik kelas.
BACA JUGA Mementahkan Stereotip Orang Ngapak Emosian dengan Tempe Mendoan atau artikel lainnya di POJOKAN.