Tidak Bercita-cita Masuk Harvard Saat SD Seperti Maudy Ayunda Itu Wajar

MOJOK.CO Maudy Ayunda membanggakan kita semua saat akhirnya memilih S-2 di Stanford. Tapi, apa benar kita harus merasa “kebanting” dengannya?

Video wawancara Najwa Shihab pada Maudy Ayunda bertebaran di lini masa. Setidaknya ada tiga poin penting yang menarik perhatian penonton video wawancara tadi: 1) Maudy akhirnya menjatuhkan pilihannya ke Stanford; 2) Maudy (dan Najwa) merasa senang saat ada ujian—hal yang cukup langka karena kita biasanya memilih sambat mati-matian; dan 3) Maudy sejak SD telah bercita-cita berkuliah di Harvard.

Topik nomor 1 patut kita rayakan dengan bangga. Maudy tidak bohong—persaingan masuk ke Stanford, program MBA, memang tinggi. Bahkan, acceptance rate-nya termasuk yang paling rendah, yaitu sekitar 7-9%. Dengan angka segitu, Maudy Ayunda—orang Indonesia ini—berhasil “terserok” menjadi salah seorang yang beruntung dan berhasil menembus gerbang pertahanan Stanford.

Topik nomor 2 menjadi bahasan netizen yang perasaannya langsung campur aduk: kaget, terpukau, tapi juga jadi ingin menangisi diri sendiri. Loh, loh, loh, kenapa???

Ya gimana ya, coba deh lihat ekspresi Maudy dan Najwa saat kegirangan mengakui perasaan mereka ketika masa-masa ujian tiba: itu tuh persis kayak ekspresi kita (hah, kita???) pas gebetan akhirnya ngebalas SMS. Bayangkan—kegembiraan kita yang “cuma” sebatas cinta monyet, langsung kebanting dengan bahagianya mereka yang kegirangan dikasih soal-soal sama Pak Guru!!!

Eh, tunggu sebentar—apa benar kita harus merasa “kebanting” dengan Maudy Ayunda?

Pada topik ke-3, misalnya, Maudy bertutur bahwa masuk ke Harvard adalah cita-citanya sejak SD. Ia sempat merevisi jawabannya dengan menyebut “sejak SMP”, tapi saya rasa kita semua cukup bisa memahami jika Maudy memang telah “melek kampus” dengan kemampuan intelektual setinggi itu di usia semuda itu, apalagi didorong dengan adanya keluarga yang mendukungnya menimba ilmu setinggi harapan palsu mungkin.

Hal ini—lagi-lagi—menarik perhatian netizen dan menjadi bahasan seru: kok bisa-bisanya Maudy pas SD udah kepikiran Harvard? Kenapa kita semua nggak menjadi seperti Maudy? Kenapa kita begitu berbeda, sih, sama dia, padahal kita hidup di negara ber-flower yang sama???

Alih-alih memikirkan soal Harvard yang sudah dikenal sebagai salah satu kampus bergengsi dunia, kita justru membagi perhatian kita ke banyak hal lain saat masih SD.

Nah, meski terlihat “remeh” dan tidak sebanding dengan calon mahasiswi S-2 Stanford, bukankah hal-hal ini justru menghangatkan hatimu dalam-dalam sampai kamu merasa senang, mylov?

Pertama, nonton Amigos X Siempre.

Saya nggak tahu apakah kamu mengikuti cerita Pedro dan Anna di Sekolah Vidal—kamu bisa mengganti judul serial apa pun di poin ini—tapi serius deh, hal yang paling menonjol dalam ingatan masa SD saya adalah: pulang cepat-cepat ke rumah dan langsung nyalain TV, pindah channel ke SCTV, lantas duduk anteng mengikuti alur cerita Amigos X Siempre yang dramatisnya kadang nggak ketulungan.

Perlu diakui, ini nikmat banget. Keseruan dan kebahagian yang saya rasakan setiap kali cerita bergerak—semuanya bagaikan candu. Di kala itu, saya jelas nggak kepikiran soal Harvard. Boro-boro Harvard, mikirin SMP masa depan aja belum sempat!

Kedua, jadi salah satu ranger dalam barisan Power Rangers.

Di kalangan tempat tinggal saya, tetangga-tetangga yang umurnya nggak jauh dari saya—saat itu sama-sama masih SD—bergabung membentuk semacam geng Power Rangers KW. Dalam kelompok ini, kami semua mendapat peran: ranger merah, ranger biru, dan seterusnya.

Saya? Tentu saja menjadi ranger pink!

Apakah ini sekadar peran main-mainan yang nggak penting? Saya enggan menjawab “iya”, soalnya, berkat geng ala-ala ini, kemampuan sosial kami meningkat karena jadi sering berdiskusi dan membayangkan jurus-jurus yang bakal dipakai kalau tiba-tiba ada monster yang menyerang kompleks perumahan. Bagi saya, pengalaman ini cukup berharga dan berkesan.

Yah, sebagai ranger pink, saya masih belum menemukan waktu memikirkan prioritas pendidikan di Harvard, sih.

Ketiga, tuker-tukeran kertas binder.

Boro-boro kepikiran soal kampus masa depan. Lah wong di gedung SD-nya saja, saya dan teman-teman sekelas—mungkin kamu juga—malah asyik janjian membawa binder berisi kertas-kertas dengan motif beraneka rupa untuk kemudian…

…tuker-tukeran kertas binder!!!

Ya, ya, ya, kebiasaan ini pasti pernah kamu alami. Tapi, ya, saya nggak tahu, sih, Maudy Ayunda pernah melakukan hal ini atau nggak.

Kertas binder yang saling ditukar konon bisa meningkatkan dua hal: kesetiakawanan dan ilmu bisnis. Pasalnya, ada merek kertas binder tertentu yang dianggap bernilai lebih tinggi dan tidak bisa ditukar dengan sembarang merek dengan jumlah yang sama sehingga memerlukan ilmu negosiasi.

Gini, loh, maksud saya: kamu ingat, kan, kertas binder merek Adinata dan Harvest yang kamu jaga mati-matian saat ada temanmu minta tukeran pakai kertas binder tipis yang gambarnya aja nggak menarik hati??? Nah, saat sedang se-bucin itu sama Adinata, mana bisa kita kepikiran soal Harvard, kan??? Hmm???

Keempat, mengisi mafa dan mifa di buku diary teman.

Selain tuker-tukeran binder, ada satu lagi tradisi aneh semasa SD: saling mengisi biodata di buku diary teman. Kegiatan ini dilakukan bergantian dan sebenarnya saya juga nggak paham tujuannya apa. Soalnya, biodata yang ditulis bukan sekadar nama dan alamat, melainkan juga…

…makanan favorit dan minuman favorit, alias mafa dan mifa!!! Ya maksud saya, buat apa coba??? Saya pernah nulis mafa saya adalah nasi goreng, tapi pas diajak main ke rumah teman pemilik diary pun saya disuguhi lapis legit, tuh, bukan nasi goreng.

Tapi, meski ada mafa dan mifa, tampak jelas kekurangan besar dari kebiasaan ini: tidak ada kolom kafa, alias kampus favorit.

Yakin, deh, kalau ada kolom tersebut, saya dan kamu-kamu sekalian pasti sudah tergerak hatinya untuk mulai mengidolakan Harvard, sebagaimana yang Maudy Ayunda lakukan.

Kelima, bercita-cita masuk Hogwarts.

Ini sepenuhnya pengalaman personal saya, tapi kalau kamu juga mengalaminya, mari kita tos dulu sebentar. Tos!

Saat SD, selagi Maudy memimpikan Harvard sebagai almamaternya, saya malah menghabiskan waktu hampir setiap hari mendongak ke langit, mencari burung hantu yang paruhnya menggigit surat penerimaan Hogwarts untuk saya.

Yah, namanya juga mimpi, ya suka-suka si pemimpi, dong. Hanya karena mimpi Maudy tampak lebih mentereng dan menjanjikan daripada mimpi-mimpi saya—dan mungkin kamu—bukan berarti harapan-harapan dan kegembiraan kita saat SD lantas jadi jauh lebih receh dan nggak patut dikenang.

Yang terpenting, hingga detik ini, kita masih diberi nikmat bahagia dan orang-orang yang baik di sekitar kita. Bukankah itu juga tak kalah menyenangkannya dengan surat penerimaan dari Harvard untuk Maudy Ayunda?

Exit mobile version