Temuan TGPF Kasus Novel Baswedan kayak Skripsi Tanpa Bab Pembahasan

novel baswedan

MOJOK.CO – TGPF kasus Novel Baswedan temukan motif kejahatan pelaku. Katanya Novel berlebihan saat bertugas di KPK. Motifnya ada, tapi pelakunya nggak ketemu.

Membaca dan mencermati perkembangan kasus Novel Baswedan baru-baru ini saya merasa bersyukur hidup di negeri yang ajaib seperti Indonesia ini. Lha gimana? Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bisa menemukan motif pelaku. Bahkan disebutkan sampai ada beberapa. Akan tetapi—ini yang ajaib—pelaku malah nggak ketemu.

Kisah seperti ini bikin saya langsung ingat sama nasib skripsi kawan saya, Eddward S. Kennedy alias Panjul. Anak Betawi asli yang nyasar kuliah di Jogja. Kejadian saat kawan saya ini masih mahasiswa dan masih adiktif ngorek-ngorek isi chat hape orang. Masa ketika Panjul masih semester pucuk tai sampai didesak Kaprodi buat cepet-cepet lulus.

Lho, kok bisa sampai Kaprodi turun tangan cuma buat ngejar-ngejar skripsi salah satu mahasiswanya?

Begini. Kebetulan prodi ini membutuhkan Panjul untuk lulus. Alasannya simple: kalau sampai Panjul nggak lulus, prodi ini nggak bisa dapet akreditasi.

Lho kok bisa gitu?

Haya bisa. Panjul merupakan mahasiswa angkatan pertama di prodinya. Bisa dibilang dia adalah sedikit dari mahasiswa di kampus saya yang nggak punya kakak kelas. Jadi ketika Ospek Jurusan, angkatan Panjul ini nggak di-Ospek kakak kelas, tapi di-Ospek sama dosen. Ajaib kan?

Saya sih sebenarnya nggak tahu-tahu amat kenapa si Panjul ini harus lulus biar jurusannya bisa dapat akreditasi. Tapi paling tidak, saya jadi saksi langsung saat Panjul justru dibantu betul oleh dosen-dosennya untuk segera lulus.

Ingat betul saya, saat itu ada telepon masuk di hape Panjul. Diangkat. Jebul itu pembimbing skripsinya.

“Mas, jadi ketemu saya nggak? Jadi bimbingan nggak?”

(Buset, yang minta ketemu malah dosen pembimbing skripsi lho).

“Oh, jadi Bu.”

“Ini bentar lagi magrib lho, Mas.”

(Hm, saya kok yakin Panjul ditunggu sejak subuh).

“Oh, iya, Bu. Maaf baru bangun.”

Panjul cuci muka, sikat gigit, lalu pakai kemeja mau berangkat bimbingan. Sambil bilang ke saya.

“Gua lupa hari ini gua bimbingan, Njir.”

Saya nggak habis pikir melihat kelakuannya ini. Di saat mahasiswa lain harus terpogoh-pogoh janjian dengan dosen pembimbing skripsi, si Panjul setan alas ini malah bikin dosen pembimbing yang kelimpungan untuk menyesuaikan waktu dengan mahasiswa bimbingannya.

Tapi itu bukan cerita paling ajaib dari manusia yang bikin mahasiswa se-prodi digantung kepastian akreditasinya gara-gara nggak juga lulus-lulus.

Cerita yang paling ajaib ini yang tadi saya bilang bikin saya ingat sama kasusnya Novel Baswedan. Mirip banget. Saking miripnya, saya curiga kalau anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Novel Baswedan ini mungkin dulu waktu mahasiswa kayak Panjul-Panjul gini juga.

Lha piye? Saat ngerjain skripsi. Bab 1, Bab 2, Bab 3, Panjul cepet banget bisa di-ACC. Haya jelas atas kebutuhan akreditasi lah. Apalagi? Angkatan pertama je. Persis kayak TGPF kasus Novel Baswedan yang bisa memaparkan kronologi, motif penyerangan, dan lain-lain dengan begitu jelas tapi pelaku nggak ketemu.

Kemudian, ketika ujian tinggal beberapa hari, terjadilah percakapan paling ajaib yang pernah terjadi antar sesama mahasiswa semester pucuk tai.

Dialog ini terjadi antara Cahyo Purnomo Edi, orang yang punya masalah yang sama dengan Panjul. Kebetulan dua makhluk ini satu jurusan, satu angkatan. Sama-sama didesak prodi agar bisa cepat-cepat lulus biar bisa dapat akreditasi.

“Njul, Bab 4 mu emang udah di-ACC Bu Anjar?”

Saya lupa nama pembimbingnya Panjul siapa, ya pokoknya sebut Bu Anjar aja lah.

“Udah lah, Bijiiik! Emangnya elu!” kata Panjul sambil sisir-sisir rambut.

“Enak aja, aku tinggal nunggu tanggal sidang doang ya!” balas Cahyo tak mau kalah.

“Ya sama, ini gua tinggal revisi dikit-dikit, langsung bisa sidang,” kata Panjul. Kali ini nyisir bulu ketek.

Karena penasaran, Cahyo buka-buka naskah skripsi Panjul. Tiba-tiba Cahyo teriak.

“Woy, ini bab pembahasannya mana, Nyeet?” kata Cahyo.

Panjul yang lagi sisir bulu ketek kaget.

“Yang itu nggak disuruh revisi sama Bu Anjar kok,” kata Panjul langsung melengok naskah skripsinya sendiri, “cuma yang ini-ini doang.”

“Ya nggak mungkin nggak disuruh revisi, Njul. Bab 4 kok nggak ada pembahasannya itu kamu mau ngapain? Bikin kliping teori?” tanya saya.

“Yeeee, dibilangin Bu Anjar nggak minta itu kok,” kata Panjul masih membela diri kayak bocah ketahuan curi tebu.

Cahyo buka-buka lagi itu naskah skripsi.

“Nggak suruh revisi matamu sempal Njul, ini apa, Nyet?” kata Cahyo menunjuk halaman awal Bab 4.

Ada tulisan kecil pakai pensil. Tipis tulisannya, nggak begitu kelihatan kalau nggak diperhatikan. Di sana tertulis sebuah kalimat yang saya yakin nggak akan bisa dilupakan Panjul seumur hidupnya nanti.

“BAB PEMBAHASANNYA MANA YA MAS?”

Saya jadi penasaran, mahasiswa semester pucuk tai ini mikirnya apa sih? Skripsi kok nggak ada pembahasan penelitiannya? Udah gitu, bisa-bisanya ada Bab 5. Edyan, skripsi nggak ada pembahasan kok bisa-bisanya ada kesimpulan itu maksudnya gimana, Setaaan?

Ajaibnya, si Panjul setan alas ini beneran bisa lulus lagi (tentu setelah Bab 4-nya direvisi satu malam doang). Wisuda bareng Cahyo, karibnya. Mereka jadi wisudawan terakhir angkatan saya di kampus dan paling sepuh. Semua datang. Ramai. Semua orang merayakan. Bahkan prodi Panjul dan Cahyo ini sampai bikin tumpengan. Syukuran.

Untung saja Panjul kenal dunia pers kampus. Tak heran kalau dia sekarang jadi penulis, redaktur, dan kerja di salah satu media mentereng di Jakarta. Saya membayangkan, kalau si Panjul ini nggak kenal pers kampus, bisa aja dia malah jadi Kepala TGPF kasus Novel Baswedan.

Lalu saat rapat menyelidiki kasus Novel Baswedan ini, Panjul memaparkan temuannya.

“Ini motif pelakunya begini, begini, begini.”

Anggotanya manggut-manggut. Sampai kemudian ada yang tanya.

“Tapi Pak Eddward (ya iya dong Eddward, masa iya dipanggil Panjul). Bukankah kita belum menemukan pelakunya? Bagaimana Bapak bisa tahu motif pelaku kalau pelakunya sendiri belum ketemu?”

Lalu Panjul dengan percaya diri berkata.

“Tenang, Kisanak. Pengalaman sudah mengajarkan saya. Pada suatu masa, saya pernah bikin skripsi dengan Bab 4 yang nggak ada isinya. Dan saya lulus.”

Lalu semua langsung standing ovation.

Exit mobile version