Jangan-jangan Teh SariWangi Pailit Karena Coffee Shop dan Thai Tea?

MOJOK.CO – Perusahaan perkebunan teh SariWangi pailit. Apakah ini sebuah konspirasi dengan menjamurnya coffee shop dan Thai Tea?

Kabar duka yang menyatakan teh SariWangi pailit, langsung bikin sedih. Meski dinyatakan pailit, namun kita tetap bisa mengonsumsi teh celup ini. Sebab, merek ini sudah diakuisisi oleh Unilever sejak 1989. Jadi yang pailit adalah PT. Sariwangi Agricultural Estate Agency, perusahaan yang justru merintis teh celup ini sejak 1962 dan menjadikan SariWangi sebagai pelopor minum teh di masyarakat Indonesia.

Perusahaan yang telah menjadikan teh SariWangi masuk ke pasar internasional sejak 1973 ini, terjerat hutang hingga Rp1,5 triliun. Kesulitan keuangan tersebut disebabkan gagalnya investasi untuk meningkatkkan produksi perkebunan.

Bila melihat sisi industri teh secara umum, perkebunan teh Indonesia memang sedang dalam tren yang kurang baik. Luas areal perkebunan teh di Indonesia pun semakin menyusut. Ketika lahan perkebunan teh ternyata mengalami penyusutan, apakah itu artinya produk teh sudah tidak terlalu diminati oleh pasar?

Kalau menurut Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia (DTI), industri teh memang tidak sebaik saat masa jayanya di tahun 70-an. Salah satunya disebabkan konsumsi masyarakat yang tidak tumbuh. Jumlah konsumsi teh tanah air saat ini sekitar 350 gram per tahun per kapita. Jumlah yang sama dengan jumlah konsumsi per kapita di tahun 70-an. Menyedihkan, bukan?

Jika diperhatikan secara sekilas sih, sepertinya memang seperti itu. Kini, tren ngeteh dianggap biasa saja, tidak lagi memunculkan kesan ‘wow’. Berbeda dengan kebiasaan ngopi. Salah satu bukti teh dianggap biasa-biasa saja karena minuman ini hampir selalu menjadi salah satu menu di rumah makan Indonesia berdampingan dengan es jeruk. Produk ini pun tidak dijual dengan harga tinggi. Coba bandingkan dengan minuman kopi.

Kini teh tidak terlalu ada bedanya dengan air putih. Rasanya pun netral dan tawar, jadi banyak yang doyan. Tidak mengherankan kalau minuman ini tidak menyimpan sesuatu yang spesial dan dapat dijual mahal.

Bukti lainnya teh menjadi minuman yang biasa-biasa saja, coba kita ingat-ingat, berapa banyak kafe di kota kita yang menyediakan menu khusus ngeteh? Lantas bandingkan dengan berapa banyak kafe yang jelas-jelas menyatakan diri sebagai coffee shop. Lalu lihat harga jual satu cangkir kopi di sana.

Sebenarnya, sebelum ada coffee shop-coffee shop itu, budaya ngopi bagi saya—atau orang Jawa Timur pada umumnya—biasa saja dan tak jauh beda seperti ketika meminum teh. Tidak ada sesuatu yang spesial. Yang harus dilakukan dengan sebuah prosesi khusus. Namun dengan adanya coffee shop, muncul tren baru, budaya ngopi saya rasa menjadi….

…naik kelas. Nggak tinggal kelas.

Suatu ketika, saya pernah pergi nongkrong bersama beberapa teman saya. Judulnya sih ngopi. Ketika itu kami pergi ke sebuah kafe dengan menu andalannya berbagai varian kopi. Saya yang saat itu tidak ingin ngopi, memilih ngeteh saja. Selain karena sedang tidak ingin, sebenarnya saat itu tanggal tua dan harga teh jauh lebih murah dibanding kopi. Ya, beginilah dilema pengin tetep bisa nongkrong tapi kantong hampir kosong.

Ketika pesanan kami datang, salah satu teman saya nyeletuk, “Kok kamu cuma pesen teh, sih? Nggak bisa ngopi?”

Perhatikan kata ‘CUMA’ di tengah kalimat itu. Benar, teh memang sebatas ‘cuma’, Gaes!

Sangat jelas. Sudah tidak dapat ditawar lagi. Teh memang menjadi kelas kedua dan dapat menurunkan status sosial di tengah pergaulan. Ia terasa murahan—ya jelas, lha wong harganya memang lebih murah. Tak ada pembelaan lagi, level teh kini memang di bawah kopi.

Oh teh, riwayatmu kini~

Selain dikarenakan tren ngopi yang naik kelas, produk teh SariWangi bakal semakin menurun konsumsinya, jika SariWangi tidak berusaha menginovasi produknya. Sejak mereka muncul hingga kini, semua produknya dalam bentuk teh celup.

Nggak percaya? Oke, saya coba sebutkan ya, produk yang mereka jual antara lain, SariWangi Teh Asli, SariWangi Teh Wangi Melati, SariWangi Teh Hijau Asli, SariWangi Gold Selection, SariMurni Teh Kantong Bundar. Semuanya dalam bentuk teh kantong atau celup. Yang membedakan hanyalah warna kemasannya dan jumlah teh celup di dalamnya.

Padahal, saat ini teh bukan hanya jadi minuman yang harus diseduh dalam cangkir saja. Namun juga salah satu alternatif minuman untuk menemani perjalanan. Sedangkan, kalau saya nih, merasa lebih simpel ketika beli teh dalam kemasan botol atau karton yang hampir tersedia di berbagai toko makanan. Sayangnya, teh SariWangi, tidak mengambil ceruk produk kemasan ini.

Sebenarnya minuman teh nggak bener-bener hilang dari tren kok. Ada satu produk teh yang saat ini harga jualnya sedang merangkak naik. Kini hadir tren ngeteh baru melalui, Thai Tea. Sebuah inovasi ngeteh yang pasarnya sedang besar.

Nggak percaya? Ya sudah, kita bikin riset kecil-kecilan saja. Coba hitung, ada berapa kios berwarna kuning-coklat dengan tulisan seperti beraksara Thailand—padahal sebenarnya kalau dibaca sih bahasa Indonesia—di sepanjang perjalanan dari kampus ke kosan atau dari kantor ke kosan? Saya yakin, jumlahnya tidak akan jauh berbeda dengan warung bakso atau mie ayam.

Sepanjang pengamatan saya ketika membeli Thai Tea, teh yang mereka gunakan adalah teh bubuk. Bukan teh celup. Sebenarnya saya tidak terlalu paham merek teh yang digunakan. Namun karena namanya Thai Tea, harusnya sih pakai teh asli dari Thailand sana.

Lalu, apa bedanya dengan rasa teh asli Indonesia semacam SariWangi? Wah mohon maaf, kalau itu saya nggak tahu. Sebab, ketika saya beli produk ini, teh nya sudah dicampur dengan susu, cremer dan bahan-bahan lainnya. Rasa tehnya, sudah tidak lagi original.

Tuh kan. Butuh inovasi. Btw, nggak ada nih produk teh asli Indonesia yang pengin bikin produk semacam Thai Tea gitu? Masak kalah sih sama produk tehnya Thailand. Padahal kan produksi teh kita juga banyak.

Mohon maaf nih, orang-orang di generasi saya, itu cepat bosen. Sebenarnya kami tahu, banyak produk yang kelihatannya baru, sebenarnya bahan bakunya ya itu-itu saja. Tapi sayangnya, kami memang terbiasa dengan kehidupan yang serba cepat. Jadi, kami senang dengan yang namanya inovasi.

Kami senang dengan tren makanan dan minuman yang terkesan hits dan dihargai mahal itu. Percayalah, mengkonsumsinya—atau seakan-akan mengkonsumsinya padahal hanya untuk konten update di Instagram—dapat meningkatkan status sosial kami.

Exit mobile version