MOJOK.CO – Video Sandiaga Uno melompati makam kiai nggak usah ditanggapi berlebihan. Nggak usah marah-marah gitu, namanya juga orang nggak tahu sopan santun. Eh.
Baru-baru ini beredar video Sandiaga Uno melompati sebuah makam yang diduga merupakan makam Kiai Bisri Syansuri. Kalau kamu nggak kenal siapa beliau, beliau merupakan pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang yang legendaris banget itu. Ya kalau Sandiaga Uno kan kamu nggak perlu dikasih tahu dia siapa.
Nah, Kiai Bisri ini merupakan salah satu dari sekian banyak kiai yang ikut serta mendirikan Nahdlatul Ulama. Bersama sahabat sekaligus saudara iparnyanya: KH. Wahab Chasbullah, kisah kehidupan Kiai Bisri Syansuri hampir selalu dikenali karena unik dan jenaka di kalangan santri.
Di video yang tersebar tersebut sebenarnya juga ada sosok Prabowo Subianto yang—tidak seperti Sandiaga —memilih melipir atau lewat memutar sedikit agar tidak melangkahi makam. Dalam hal ini Prabowo terlihat secara sekilas tahu mengenai sopan-santun atau adab seseorang berziarah. Sedangkan hal itu tidak tampak dari Sandiaga.
Perilaku ini tentu mengundang reaksi dari netizen yang terhormat, terutama mereka yang mengaku pernah mondok atau menjadi santri. Reaksi jengkel muncul secara spontan tentu bisa saya pahami. Bahkan tanpa seseorang pernah mondok sekali pun, melangkahi makam adalah tindakan yang tidak sopan.
Lha gimana? Kamu dengan sengaja melangkahi orang yang sedang tiduran di lantai saja bisa bikin keributan kecil. Sekarang coba bayangkan jika yang dilangkahi adalah tokoh pendiri Nahdlatul Ulama? Tentu kita bisa berdebat, lah itu kan orang tiduran, yang dilangkahi Sandiaga kan cuma makam?
Coba sekarang bayangkan ini, ada jenazah di dalam keranda, lalu ada orang yang dengan seenaknya melangkahi jenazah tersebut? Apa yang akan terasa di hati? Ngereges bukan? Perasaan itu pun muncul—bahkan—ketika jenazah itu bukan orang yang kita kenal.
Sekarang kalau jenazah itu keluarga kita? Atau orang-orang yang kita hormati? Apa nggak bikin jengkel itu namanya?
Kecerobohan Sandiaga semacam ini sudah saya duga sejak beberapa waktu silam. Ketika muncul foto yang memperlihatkan Sandiaga bermain-main jurus “keseimbangan tubuh” di sebuah pemakaman umum.
Bermain-main di makam sebenarnya bukan sesuatu yang jelas dilarang dalam agama. Terutama jika yang bermain-main itu anak kecil. Tidak sopan iya, tapi apakah melakukannya jadi keluar dari aqidah? Ya nggak lah. Ini cuma persoalan sopan atau tidak.
Hanya saja, kesopanan itu jadi representasi paling dekat dengan akhlak. Kalau orang kok sopan santunnya nggak ada—masyarakat akan menilai orang ini bermasalah soal tingkah laku. Dan ketika yang melakukan sosok seperti Sandiaga, efeknya pun jadi berlipat ganda sampai ke mana-mana.
Satu hal yang jelas dari pemandangan itu: Sandiaga memang nggak biasa ziarah ke makam. Dan karena nggak biasa, ya dia nggak tahu.
Yang saya herankan adalah, jika memang Sandiaga nggak biasa ke makam, kenapa dia nggak bertanya dulu ke tim suksesnya; apa saja sih adab dan sopan-santun kalau kita sedang ziarah? Ketidaktahuan yang malah benar-benar jadi bumerang.
Berniat ke Pesantren Denanyar untuk safari politik menggandeng suara para santri, eh malah melakukan tindakan su’ul adab dengan harfiah tanpa tedeng aling-aling. Tindakan yang malah jadi berbalik bikin santri geleng-geleng kepala ketika menyaksikan pemandangan itu.
“Ealah, makam kiaiku dilompati Bang Sandiaga.”
Ya ini bisa kita pahami, Sandiaga kan memang sering tinggal di luar negeri. Dulu pernah tinggal di Singapura beberapa tahun sampai bisa bedain harga makanan di Singapura dengan di Jakarta, bahkan sampai kuliah di Amerika Serikat cukup lama. Mungkin karena kebiasaan tinggal di luar negeri, jadi ya wajar kalau dia nggak paham sama tradisi di negeri sendiri.
Toh, kita kan juga tahu, kalau dalam agama ada golongan-golongan yang tidak bisa dikenai hukum apa pun, yakni; orang tidak sadar, orang tidak tahu, atau orang gila. Bisa jadi Sandiaga memang salah satu di antara tiga golongan itu.
Sebuah pertunjukkan paling banal tanpa sekat apa pun bahwa siapa Sandiaga sebenarnya bisa dilihat di adegan melangkahi makam tersebut. Ya dia orang biasa saja. Orang Indonesia yang tajir melilit, nggak tahu budaya rakyatnya sendiri di akar rumput karena terlalu paham sama budaya luar negeri.
Meski begitu, walau ada perasaan jengkel melihat tindakan Sandiaga itu, saya pikir kita nggak perlu untuk marah-marah sampai ngotot minta dia minta maaf. Nggak perlu saya kira caci-maki dialamatkan kepadanya yang ternyata buta betul sama adab masyarakat Indonesia. Yang perlu kita lakukan ya sellooow aeee~
Soalnya sosok yang dilangkahi Sandiaga itu sudah mengajari bagaimana menjalani kehidupan ini dengan selo. Ada banyak kisah-kisah Kiai Bisri Syansuri yang selalu diceritakan dari mulut ke mulut di banyak pesantren. Dan salah satu kisah paling menarik buat saya adalah ketika Kiai Bisri menggebrak meja saat mendebat Kiai Wahab Chasbullah dalam salah satu forum bahtsul masail.
Kedua kiai ini memang dikenal sering berbeda pendapat. Dan khusus pada saat itu situasinya agak memanas. Dua kiai ini sedang berdebat mengenai hukum bermain drumben di pondok pesantren.
Melihat Kiai Bisri menggebrak meja—entah karena berniat melucu atau bagaimana—Kiai Wahab Chasbullah yang digebrak mejanya membalas dengan menggebrak meja juga. Cuma yang bikin kocak, Kiai Wahab melakukannya pakai kaki.
Wah, jelas santri yang ikut forum itu girap-girap panik semua. Seorang kiai besar menggebrak meja pakai kaki ini tanda-tanda apa ini? Perdebatan keras itu sampai bikin muka kedua kiai legendaris itu memerah. Hal yang bisa dibaca dari kesaksian KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
“Kalau debat masalah hukum agama, muka mereka sampai merah. Gebrak-gebrakan meja, lagi. Tapi kalau sudah mendengar azan, mereka akan berhenti dan menuju masjid bersama-sama. Sudah tidak ada masalah,” kata Gus Dur.
Bahkan usai momen gebrak-gebrakan meja itu, kedua kiai ini malah saling berebut melayani makan siang ketika waktu istirahat tiba. Bercengkrama haha-hihi seolah tadi tidak ada kejadian apa-apa. Perdebatan dan segala perbedaan pendapat di forum tadi hilang tak membekas.
Hal yang sebenarnya juga bisa kita tiru. Oke lah kita jengkel, tapi tidak perlu deh diungkapkan dengan kemarahan sampai mencak-mencak—apalagi sambil bawa pentungan dan teriak takbir segala.
Soalnya, santri yang saya tahu bukan yang galak-galak begitu. Santri yang saya tahu nggak pernah berani melangkahi makam—apalagi kalau itu makam kiai besar. Santri yang saya tahu bakal hati-hati kalau sedang lewat di dekat kiainya—baik kiai itu dalam posisi hidup atau sudah wafat. Kecuali kalau santri itu: Santri Post Islamisme. Eh.