MOJOK.CO – Audrey menjadi korban kekerasan remaja. Pun, Audrey ikut menjadi pelaku kekerasan ketika jejak digitalnya terbuka. Suram sekali remaja zaman sekarang.
Katanya, selalu ada dua sisi cerita dari sebuah peristiwa. Kisah bullying yang diterima oleh Audrey menjadi salah satu contohnya. Ketika cerita kekerasan yang dialami oleh Audrey menjadi viral, ramai-ramai kita mengutuk aksi kekerasan itu, sekaligus turut serta bebas aktif menjadi pelaku bullying.
Ketika awal viral, cerita yang kita terima terdengar begitu “menyakitkan”. Vagina yang dicolok menggunakan jari untuk merusak selaput dara, tendangan ke arah tubuh menggunakan sepatu gunung, kepala yang dibenturkan ke lantai, dan lain sebagainya. Kita sama-sama menangis, menyaksikan aksi kekerasan itu. Menangis, ketika perundungan terjadi, untuk kemudian lupa karena ada peristiwa lain yang lebih “menarik” untuk dibikinkan tagar.
Sebuah petisi online dibuat dan ditandatangani ramai-ramai. Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) dirundung karena menyarankan kasus ini diselesaikan secara “kekeluargaan” mengingat para pelaku yang akan masuk kuliah. Artis, influencer, dan Youtuber ramai-ramai datang untuk bikin konten keprihatinan.
Pelaku kekerasan menunjukkan rasa tidak bersalah, sampai masih tega Boomerang di kantor polisi. Konon salah satunya anak dari orang yang berpengaruh. Mungkin merasa kebal dengan hukum, mungkin tidak. Entah. Netizen ingin mereka dihukum penjara, yang lama sekalian karena kekerasan yang mereka lakukan “sungguh kejam”.
Jejak digital itu sama kejamnya. Beberapa hari kemudian, “para penggali bangkai” menemukan jejak digital Audrey. Ternyata, dia juga bukan “anak baik” seperti yang diangankan di benak masing-masing netizen penandatangan petisi online. Audrey disebut sebagai anak yang kasar di media sosial. Ia juga suka merundung orang lain, lewat unggahan.
Banyak yang menyesal sudah mendukung lewat tanda tangan virtual. Namun, sebaiknya, kamu semua yang sudah ikut tanda tangan tak perlu kecewa begitu. Ikut tanda tangan petisi menunjukkan masih banyak orang yang punya empati, masih punya kasih sayang. Setidaknya itu kabar baik untuk Indonesia.
Melihat aksi kekerasan remaja, saya jadi ingat kalau masa kecil saya lumayan menyenangkan. Nakal? O tentu saja. Namun, jenis kenakalan yang bisa dicintai, bisa menjadi cerita lucu ketika sudah masuk usia milenial paruh akhir. Saya mencoba mengurutkan dari SD hingga SMP.
Sejak SD hingga SMA, bahkan kuliah, saya “anak swasta”. Mayoritas pemeluk Katolik dan Kristen. Ketika masa Adven–masa sebelum Natal, dari 1 Desember hingga 24 Desember–SD saya punya kebiasaan untuk berdoa bersama, sebelum dan sesudah waktu sekolah. Kami menghias hula hoop dari bamboo menggunakan pita dan hiasan dedaunan plastik. Kami menempelkan lilin di atasnya untuk dinyalakan ketika berdoa.
Salah satu teman saya punya ide cemerlang. Menjelang jam masuk sekolah, ia membuka lemari tempat menyimpan “hula hoop suci” itu. Menggunakan gunting, ia potong semua sumbu lilin. Ketika guru hendak menyalakan lilin, beliau sadar kalau ada anak yang usilnya kambuh. Wajahnya merah padam karena marah. Awalnya kami cekikikan melihat guru yang kebingungan. Namun, ketika melihat wajahnya yang memerah karena marah, kami tahu bakal cilaka.
Kenakalan lain yang masih saya ingat adalah ketika melempat tahi anjing ke jendela kaca rumah orang. Jadi, satu hari sebelumnya, saya dan teman-teman asyik mencuri mangga yang belum masak dari sebuah rumah. Mangga itu bergerumbul, dahannya menjulur keluar dari pagar, dan sangat mudah digapai oleh tangan-tangan anak SD.
Sayangnya, aksi teatrikal memotek mangga itu ketahuan penghuni rumah. Si Bapak berteriak kencang. Kami lari tunggang langgang, sambil diiringi suara makian dari si Bapak. Sebagai anak SD yang sudah bisa sakit hati karena dimaki-maki, hari berikutnya saya dan teman-teman kembali lewat ke rumah di Bapak Mangga. Saya ambil tahi anjing pakai plastik kresek dan saya lemparkan ke jendela kaca rumah si Bapak.
Tekstur tahi anjing, perlu kamu ketahui, sedikit kering. Namun, ketika membentur kaca jendela, tahu itu bisa menempel! Heran, saya diam untuk beberapa saat. Mungkin, kaca itu baru selesai dibersihkan menggunakan air. Saya tidak tahu pasti, tapi Si Bapak kembali keluar dari rumah sambil bawa tongkat Baseball.
Kayaknya si Bapak Mangga sudah mengawasi gerak-gerik para pencuri mangga. Ia sengaja tidak mengamankan mangga, tapi memilih mengamati dari jarak aman. Sebuah trategi yang taktis dan efisien. Kami dikejar dan kembali dihujani dengan makian.
Untung saya masih SD jadi hanya ban sepeda saya yang disambit pakai tongkat Baseball. Kalau sekarang kayaknya saya tidak bakal berani mencuri mangga di rumah si Bapak karena rumahnya adalah bagian dari kompleks Angkatan Laut. Pantas saja si Bapak kepikiran taktik kamuflase dan pengintaian. Jalesveva jayamahe!
Ketika SMP, kenakalan saya sedikit meningkat. Maksudnya kreativitasnya. Saat kelas 6 SD, saya sudah diajari simbah kakung untuk merokok. “Anak laki kok nggak ngerokok.” Itu kalimat almarhum simbah kakung yang masih saya ingat sampai sekarang.
Jadi, rumah saya dan SMP tempat saya sekolah itu sangat dekat. Rumah saya ada di belakang persis gedung SMP! Jadi, perlu kreativitas dan kelihaian untuk membolos dan tidak ketahuan bapak saya. Nah, ketika berhasil melakukannya, saya selalu menuju “Kebun Kersen”, sebuah kebun pohon kersen, kira-kira satu kilometer di sebelah utara rumah.
Saya dan teman-teman mencintai Kebun Kersen ini. Kami menyebutnya “markas rahasia”. Lebih spesifik, ada satu pohon kersen yang sudah cukup tua dan cabangnya sangat banyak. Besar-besar pula, jadi mudah dipanjat dan kamu bisa bersantai di atas. Menu favorit kami ketika “bersantai” adalah dua batang Djarum Super dan es teh. Dua batang cukup untuk empat orang, berganti-gantian.
Nah, di tepi markas rahasia kami, ada sebuah “kolam alami” yang berisi ikan-ikan. Kami tidak tahu siapa yang bikin itu kolam, siapa pula yang mengisinya dengan berbagai macam ikan. Yang pasti, suara gemericik air dari selokan dan rindangnya barisan pohon kersen bikin kami betah.
Suatu ketika, di sore hari, kami ingin bersantai di markas rahasia itu. Namun, yang kami temukan, pohon favorit kami sudah ditebang dan banyak orang sedang menguras kolam itu. Belakangan kami tahu kalau kebun kersen itu akan segera dibabat habis karena yang punya tanah akan bikin rumah.
Namun, saat itu, yang kami rasakan hanya kecewa dan marah. Markas rahasia, tempat bersantai, dirusak oleh “Bapak-Bapak”. Salah satu teman saya langsung mancal sepeda ke arah rumah. Beberapa saat kemudian, dia kembali membawa sebuah bungkusan plastik.
“Cah, siap-siap lari,” kata teman saya sambil berbisik.
Ia lalu mengendap-endap, mendekati “Bapak-Bapak” yang sedang sibuk menguras kolam. Air di dalam kolam masih cukup banyak karena kerja bakti itu baru saja dimulai. Teman saya lantas mengeluarkan sebuah benda, seperti batu berwarna biru gelap. Tanpa diketahui warga, ia lalu melemparkan batu itu ke dalam kolam, lalu lari lintang pukang meninggalkan kami.
Begitu batu itu menyentuh air kolam, asap putih sontak keluar, diiringi bau busuk! Ternyata teman saya melemparkan karbit ke dalam kolam. Para warga yang sedang bahagia mengangkat ikan-ikan di kolam yang ternyata cukup besar kaget bukan kepalang dan berebut keluar dari kolam.
Kami takjub dibuatnya. Segala makian dan sumpah serapah bertebaran. Seperti diingatkan, kami sadar kami harus lari daripada ikut direndam bersama karbit sialan itu. Kami lari secepat yang kami bisa. Setelah beberapa ratus meter, kami berhenti untuk mengambil napas sambil tertawa sampai menangis. Itu kenakalan yang brilian!
Mengingat kembali kenakalan masa kecil membuat beratnya beban hidup menjadi lebih ringan. Saya lalu membayangkan, ketika Audrey dan para pelaku kekerasan itu beranjak tua, duduk merenung mengingat masa lalu, apa yang akan mereka pikirkan, ya?
Saya dibuat tertawa ketika mengingat masa lalu. Apakah Audrey dan pelaku kekerasan punya ingatan yang sedemikian menyenangkan?