MOJOK.CO – Lupakan Cinderella story orang miskin bisa jadi miliarder sebagai patokan, orang seperti itu hanya ada 1 di antara ratusan ribu. Orang kaya macam Jessica Tanoesoedibjo, pasti sukses dan pasti kaya.
Orang Jawa punya sebutan sendiri untuk orang yang terlahir dari keluarga kaya dan akhir juga jadi kaya. “Balung sugih” itu sebutannya. Orang itu kayanya sampai meresap ke tulang-tulang, katakanlah. Lebay? Tidak juga, karena kenyataannya begitu.
Orang-orang dengan “balung sugih” punya kemungkinan yang amat besar untuk tetap kaya atau malah lebih kaya ketika tumbuh dewasa. Terlahir dengan akses tidak terbatas mempermudah jalan mereka menjadi apa saja, kecuali menjadi miskin.
Inilah realita yang sepertinya gagal dipahami oleh orang yang mengundang Jessica Tanoesoedibjo sebagai pembicara dalam acara motivasi menjadi sukses.
Mau ikutan dapet tips dari kak Jessica Tanoesoedibjo cara sukses sejak masih menjadi zigot. Eehh salah, maksudnya sukses sejak usia muda. https://t.co/163NKa8lnO
— Mazzini (@mazzini_gsp) April 16, 2020
Jessica Tanoesoedibjo menjadi pembicara atau pengisi acara, you name it, di acara Forum Bisnis bertajuk “Sukses di usia muda, kenapa tidak?” yang diselenggarakan Sorefest. Acara itu niatnya pasti bagus, mengundang orang yang benar-benar sukses di usia muda agar memotivasi. Mungkin mereka luput satu hal, Jessica itu belum jadi pengusaha aja udah sukses.
Ya gimana nggak, dia itu putri dari Hary Tanoesoedibjo, orang yang bertanggung jawab mengisi kepala kalian dengan mars Perindo. Sebagai anak dari orang terkaya di Indonesia nomor 20, jadi sukses di usia muda itu bukanlah kemungkinan, tapi kepastian.
Apakah salah mengundang Jessica Tanoesoedibjo sebagai pembicara? Nggak, nggak sama sekali. Kalau situ mengundang Bambang Pamungkas lhaa itu baru mumet.
Tapi yang jadi masalah adalah, tagline “Sukses di usia muda, kenapa tidak?” dan Jessica Tanoesoedibjo adalah kombinasi yang buruk. Siapa yang nggak mau sukses di usia muda? Kau pikir jutaan orang di Indonesia ini memilih untuk miskin?
Tagline itu seakan-akan membuat sukses dan tidak itu sesederhana hitam putih. Seakan-akan, orang-orang bisa memilih menjadi Mark Zuckenberg atau manusia biasa bergaji UMR Yogyakarta. Hidup itu nggak seindah plot manga Shonen, kawan-kawan.
Saya nggak habis sama acara-acara so-called motivasi kesuksesan yang pengisinya emang lahir cepret langsung kaya. Motivasi yang akan mereka beri itu sesuatu yang ngawang. Motivasi apa yang mau diberikan oleh orang yang terpisah dari realitas sosial?
Panitia acara itu kayaknya lupa kalau Jessica bergelimang akses dan harta untuk mendapat ilmu yang membawanya ke posisinya sekarang. Kalau kamu dapet gelar sarjana dan master di luar negeri dan kebetulan bapakmu sugihe ra umum, ya nggak kaget kalau bakal sukses.
Panitia acara tersebut juga lupa hal penting, bahwa kekayaan (yang jadi tolok ukur kesuksesan) itu tidak hanya bergantung terhadap kerja keras. Keberuntungan dan privilese juga punya andil dalam menentukan kesuksesan.
Jessica juga bekerja keras, tapi kombinasi nasib yang bagus dengan privilese menjadikan kesuksesan adalah hal pasti. Dia bahkan tidak perlu memilih menjadi sukses, dia pasti sukses. Lupakan Cinderella story orang miskin bisa jadi miliarder sebagai patokan, orang seperti itu hanya ada 1 di antara ratusan ribu. Orang kaya macam Jessica Tanoesoedibjo, pasti sukses dan pasti kaya.
Nah, tahu kan jadinya kenapa tagline-nya bermasalah?
Kalau niatan panitia acara cuma ngejual mimpi jadi sukses, ya nggak apa-apa mengundang Jessica. Tapi kalau menjadikan sukses dan tidak sukses itu adalah pilihan yang sesederhana hitam putih, ya itu keliru. Kere itu nggak pernah jadi pilihan, mau kalian cari pembenaran kayak mental kere or whatever, kere tetaplah bukanlah pilihan.
By the way, RCTI jadi media partner itu acara. Kayaknya tahu nih kenapa ngundang Jessica Tanoesoedibjo.
BACA JUGA Inilah Skenario Para Anarko yang Sebenarnya dan artikel menarik lainnya dari Rizky Prasetya.