MOJOK.CO – Ada hati yang sebelumnya memang telah terluka, sehingga merasa sensitif dan sakit hati dengan pertanyaan kapan. Padahal, kalau sudah punya jalan hidup yang diyakini, seharusnya nyantai aja.
Kenapa ya, generasi kita jadi mudah sensitif ketika ditanya kapan? Kok kayaknya kalau ada orang yang tanya-tanya terkait dengan kapan, kelihatannya langsung baper. Kemudian menganggap orang yang bertanya itu nggak punya sopan santun, dan mengusik ranah privasinya.
Masalah kapan didaku menjadi urusan pribadi dan tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Bahkan oleh keluarga terdekatnya, yakni orang tua.
Padahal, dulu sepertinya orang tua kita nggak gampang baper ya dengan pertanyaan semacam itu. Saya kira, mereka lebih bisa menghadapi berbagai pertanyaan yang datang dengan baik, dan tidak menjadikan hal itu sebagai masalah berarti.
Hidup sudah berubah? Iya, saya tahu. Dulu emang nggak ada teknologi kayak sekarang. Yang bisa bikin kita belajar dengan mudah dari belahan dunia mana pun. Dulu sih memang hampir semua pemikiran orang tua kita, direcokin sama orang tuanya. Jadi ya, pantes-pantes aja, kalau jatuhnya bakal nurut.
Disuruh ini dan itu bakal inggih-inggih mawon. Ya, gimana ya, orang tua memang dianggap lebih berpengalaman, lebih tahu banyak hal, lebih banyak merasakan asam garam. Halah.
Nah, sekarang, karena bisa belajar dari mana aja, jadinya, ehm, boleh dibilang lebih mudah berontak, nggak?
Jadi, saya mau nyalahin si teknologi terkait hal ini. Maaf ya, Beb. Habisnya kamu sih bikin orang-orang semakin sok individualis. Pertanyaan simpel semacam itu, dianggap sebagai basa-basi tendesius nan menyakitkan. Tidak ada pikiran bahwa itu adalah bentuk perhatian. Hidupku ya hidupku. Nggak usahlah kamu sok-sokan ikutan ngurusin.
Ya gitu. Namanya udah sensitif. Jadi semuanya dilihat dengan negative thinking muluk. Sebenarnya nih, yaudah lah ya. Nyantai aja kalau ditanya kapan. Justru ini menjadi trigger-mu untuk menunjukkan diri.
Lagian, dunia ini bukan tentang kamu doang. Kok seakan-akan semua harus ngertiin kamu. Dunia ini udah keras, woy! Jadi jangan ikutan keras juga. Santai aja lah dengan setiap pertanyaan yang datang.
BTW, jangan-jangan, setelah ini, karena pertanyaan semacam itu dianggap sensitif. Bakal bikin orang takut buat bertanya. Ya gimana, katanya pertanyaan kayak gitu menyakitkan. Terus yang terjadi kemudian–ntah kapan–orang-orang jadi memilih untuk tidak bertanya.
Nah loh. Yaudah ngobrol aja di chat. Saling komentar aja di sosial media. Perang dan debat aja sekalian di sana. (Ah kamu lebay, deh!) Lah, kalau tanya ini atau tanya itu, katanya serba sensitif. Gimana, sih!
Pertanyaan semacam, kapan Lulus? Kapan dapat kerja? Kapan Nikah? Kapan Punya Anak? Kapan Punya Anak Lagi? Katanya sensitif.
Lalu pertanyaan semacam, kamu pilih siapa di Pilpres? Atau pendapat kita tentang politik, juga bisa jadi sensitif kalau ternyata beda pandangan politik.
Jangan-jangan, habis ini cuma tanya, “Udah makan, belum?” Bisa jadi sensitif. Karena dianggap terlalu menganggu ranah privasi saluran pencernaannya.
Saya pernah nih, ketemu dengan teman saya yang udah lama nggak ketemu. Saking takutnya basa-basi yang ingin saya keluarkan bakal nyinggung dia, saya memilih diam dan menunggu untuk ditanya.
Saya memilih berhati-hati karena sebelumnya di sosial media–sebut saja Instagram Story–dia habis nyinyirin temen dia karena banyak tanya tentang kapan ke dia.
Nah, saya kan jadi keder, ya. Takut kalau tanya-tanya, nanti juga bakal dinyinyirin di sosmednya. Apalagi kalau nyinyir di sosmednya sambil bilang sok-sokan pake kata, “No mention, ya”. Ha, mbel. Itu menyakitkan sih. Kalau saya membaca sendiri, tentang diri saya yang dianggap menyebalkan.
Sebenarnya, saya mau tanya, skripsiannya sudah sampai mana. Tapi takut, cuma dianggap basi-basi, toh juga nggak bisa bantuin apapun. Saya mau tanya, kok putus sama pacarnya sejak SMA–karena kondisi terakhir, foto-foto bersama sang kekasih di Instagram sudah dihapus. Tapi takut, dikira cuma pengin cari bahan gosip.
Mau nyeritain tentang teman kami lainnya, nanti jatuhnya ghibah. Kalau mau nyeritain tentang diri sendiri dulu, nanti dikiranya sombong. Dan dianggap ‘dunia harus tertuju padaku’. Nah loh, serba salah kan jadinya.
Saya mau tanya apa coba? Sedangkan saya dan dia, bener-bener nggak ada keterkaitan lainnya yang kira-kira bisa dibahas. Lantas, harus bagaimana mencairkan suasananya?
Jadi, untuk kamu-kamu yang menganggap kalau ditanya kapan itu sensitif lalu merasa sakit hati, sudahlah. Akuin aja kalau kamu emang belum bisa mencapainya. Harusnya nih, kalau kamu emang punya jalan hidupmu sendiri yang tidak sesuai dengan standar mereka, yaudah sih. Nyantai aja pas ditanya macem-macem kayak gitu.
Kalau kamu merasa sakit hati, itu tandanya, EMANG KAMU GAMPANG BAPER!!1!!1! Maksudnya gini, itu tanda sejak sebelumnya, di dalam hati kamu itu, sudah ada yang terluka, dan kamu belum sanggup untuk menerima dirimu sendiri.
Nah, pas ditanya, lukanya itu semacam kebuka lagi dan nggak sengaja kena air jeruk. Perih kan jadinya? Duh, sumpah jadi ngilu bayanginnya. Hahaha.
Sudahlah, jangan terus-menerus persalahkan orang lain. Ini hanya tentang dirimu sendiri. Kita tuh nggak bisa mengontrol orang lain harus gimana-gimana. Yang bisa kita lakukan, hanyalah mengontrol diri sendiri. Please ya, nggak usah lagi sok-sokan sakit hati karena ucapan orang lain.
Yang perlu kita sadari sekarang, pertama, kita nggak bisa terus menerus membahagiakan mulut tetangga ataupun tetangganya tetangga. Kedua, kita nggak bisa hidup untuk semua orang. Tuh, diinget dua hal simpelnya. Biar kita nggak gampang sakit hati dengan pertanyaan yang dianggap kurang sopan itu.
Jadi, tak perlu melarang orang lain untuk bertanya kapan. Dampak sakit hati itu, masalahnya bukan pada orang yang bertanya. Tapi pada kita, yang ternyata belum menerima diri sendiri.