MOJOK.CO – Film dokumenter Sexy Killers memang ditayangkan beberapa hari menjelang pencoblosan. Tetapi, bukankah ini tak sekadar soal nyoblos atau menjadi golput di Pemilu 2019?
Episode terakhir Ekspedisi Indonesia Biru: Sexy Killers akhirnya ditayangkan ke Youtube juga. Tepat, di hari pertama masa tenang kampanye Pemilu 2019. Dengan konten dan fakta yang dipaparkan tersebut, banyak yang menganggap bahwa film dokumenter Watchdoc, Sexy Killers ini dengan sengaja mengajak masyarakat Indonesia untuk golput saja pada tanggal 17 April besok. Seolah ada narasi terselubung bahwa: siapapun yang menang, yang kalah tetap rakyat.
Tapi, konten berdurasi hampir 90 menit ini, bukan sekadar mengajak golput dan soal pemilu 2019 besok. Apalagi soal mencari siapa yang salah dan benar soal listrik kita. Lebih dari itu, ada banyak hal yang lebih penting untuk kita cermati bersama.
Pertama, Sexy Killers ini soal oligarki kepemilikan. Kalau sumber daya Indonesia yang jumlahnya terbatas itu, yang begitu penting bagi hajat hidup orang banyak, ternyata hanya dimainkan oleh orang yang itu-itu saja. Ujung-ujungnya, semua kekayaan Indonesia juga mengarah ke mereka saja. Lalu, soal bagaimana mereka-mereka ini bekerja di belakang kita semua. Demi keuntungan, nggak peduli berapa banyak saudaranya sendiri yang jadi korban. Nggak peduli berapa banyak saudaranya sendiri, yang harus terusir dari tanahnya sendiri. Tentang mereka yang nggak dapat apa-apa, padahal jelas-jelas sudah berkorban melakukan banyak hal.
Demi untung dan rugi, soal bagaimana adat istiadat dan masyarakat lokal bekerja, bukan menjadi agenda utama. Demi menghidupi kebutuhan mereka sendiri, masyarakat lokal yang sudah punya kebutuhannya sendiri dipaksa memiliki kebutuhan yang sama dengan mereka. Di Papua misalnya, masyarakat Papua sudah terbiasa makan sagu yang diambil dari hutan mereka. Eh, ujug-ujug disuruh makan nasi sama pemerintah dan hutan-hutan mereka ditebas sebagai lahan pertanian. Padahal, mah, mereka ini nggak butuh beras. Mereka butuhnya sagu. Beras itu dibutuhin sama orang-orang Jawa. Lantas, apakah ini adil?
Kedua, perselingkuhan antara swasta dengan pemerintah memang ada. Tidak sedikit yang mendebat kalau konten di dalamnya itu terlalu nyalah-nyalahin PLTU, padahal PLTU yang diliput cuma punya swasta. Sementara kalau yang punya pemerintah, ya, nggak gitu-gitu amat soal pertanggungjawabannya. Hadeeeh, mohon maaf nih. Meskipun itu miliknya swasta, bukankah yang mengatur regulasinya, memberikan izin, toh pemerintah juga? Yang setelah ditelisik, orang-orang di belakang pemerintah, ya itu-itu saja, loh. Kalau nggak ada perselingkuhan, apakah mungkin hal tidak bertanggung jawab ini terus ditutup-tutupi?
Ketiga, lagi-lagi ini bukan soal siapa yang salah dan benar. Rentetan panjang dari film dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru ini, sejatinya untuk menyadarkan kita. Supaya kita-kita ini, khususnya yang tinggal di Jawa dengan segala kemudahannya, jadi tahu. Bahwa sebetulnya betapa mahal harga yang harus dibayarkan dari barang-barang yang selama ini bisa kita dapatkan dengan mudah. Ya, soal listrik-lah, minyak-lah, beras-lah, hingga produk-produk turunannya.
Nah, kalau kita nggak diingetin soal itu semua, apakah itu adil buat mereka? Yang selama ini merasakan dampak nggak enaknya secara langsung, demi memenuhi kebutuhan kita?
Kita memang nggak bisa naif, kalau butuh listrik, beras, dan sebagainya. Namun, dengan pemaparannya tersebut, kita jadi tahu tentang betapa mahal harga segala kebutuhan tersebut. Iya mahal. Soalnya banyak yang sampai kehilangan hak-haknya, tapi nggak bisa nuntut apa-apa juga.
Dengan adanya pemahaman ini, mungkin kita jadi sedikit banyak belajar dan lebih menghargai apa yang selama ini ada. Lebih jauh lagi, nggak langsung mencak-mencak kalau salah satu dari kebutuhan tersebut, nggak ada untuk sementara waktu. Misalnya nih, kalau lagi pemadaman bergilir untuk penghematan listrik, kita nggak langsung marah-marah dan bisa belajar memahami keadaan yang memang nggak begitu bikin nyaman. Ke depan, pemahaman ini memungkinkan untuk mengubah sedikit pola hidup kita. Sesimpel, matiin listrik yang udah nggak dipakai, mungkin?
Dalam jangka panjang, bisa jadi pemahaman ini membuat kita terpacu untuk bikin energi alternatif seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat di sekuel film dokumenter Watchdoc yang telah tayang sebelum Sexy Killers. Misalnya yang dilakukan oleh masyarakat Ciptagelar ataupun masyarakat di Sumba dengan energi setrum dari anginnya.
Atau, seperti yang dilakukan oleh grup musik asal Bali, Nosstress. Mereka menggelar sebuah konser untuk ulang tahun tanpa menggunakan listrik dari pemerintah. Mereka mengusahakan sendiri listrik itu dengan energi dari matahari.
Iya, betul, energi terbarukan itu mahal. Tapi, sampai kapan kita sok menghemat pengeluaran namun mengobankan saudara-saudara kita sendiri?
Memang, kehadiran film Sexy Killers ini sejenak dapat mengurangi tensi politik, apalagi bagi mereka-mereka yang terlalu fanatik. Tapi percayalah, ini bukan sekadar pemilu semata. Bukan soal tanggal 17 April besok. Ini kenyataan yang harus kita terima, hingga jauh-jauh hari ke depan. Bahkan lebih jauh lagi dari pemilu 5 tahun mendatang.