Rasa-rasanya, saya berkali-kali menulis tentang sandal swallow. Menulis tentang betapa saya sangat nyaman menggunakan sandal tersebut, betapa saya menjadi manusia yang lebih glidik dengan manuver yang lebih lincah dan terampil dengan sandal tersebut.
Alasan kenapa saya doyan betul pakai sandal swallow sudah berkali-kali pula saya tulis. Saya punya kebiasaan kalau kencing harus jongkok dan celana harus saya lepas semua, termasuk sempaknya. Dalam kondisi demikian, akan mudah bagi saya jika saya memakai sandal jepit alih-alih sepatu, sebab saya tak perlu repot-repot mencopot sepatu.
Bertahun-tahun saya menggunakan sandal swallow, saya kemudian sadar, bahwa ia bukan sandal biasa. Ia bukan hanya mengajari kita untuk belajar menyamankan diri, mengajari kita untuk menjadi manusia yang simpel, lebih dari itu, ia mengajari kita menjadi manusia yang selalu siap kehilangan.
Yang saya sebut terakhir, adalah hal mungkin paling prinsipil dari segala guna yang dimiliki oleh sandal swallow.
Memakai sandal swallow, saya memang diwajibkan untuk senantiasa siap dengan berbagai kemungkinan. Dan kemungkinan yang paling memungkinkan adalah kehilangan.
Entah sudah berapa kali saya kehilangan sandal swallow yang saya punya, baik saar di kantor maupun di rumah.
Dugaan saya, sandal swallow dianggap sebagai sandal murah, karena itu, ia kemudian disepelekan, dan pada akhirnya, mudah dipinjam orang tanpa dikembalikan atau yang paling parah, mudah tertukar.
Beberapa waktu yang lalu, misalnya, saat mengisi acara di gedung PKKH UGM, saya memakai sandal swallow. Saya menyempatkan diri salat zuhur sebelum acara dimulai. Kebetulan waktu itu, musala di PKKH sedang direnovasi, sehingga musalanya harus dipindah ke gedung yang tak terlalu jauh dari musala yang direnovasi.
Selesai ambil wudhu, saya langsung merapat ke musala. Salat selesai, saya kembali ke teras gedung. Dan yak, sandal swallow bersrampat merah dan berukuran 10 itu hilang. Sebuah kehilangan yang saya tak terlalu menyesalinya, sebab memang sudah saya duga.
Sandal itu baru kembali setelah saya menunggu beberapa saat. Dan bisa ditebak, sandal itu dipakai bergiliran oleh orang-orang yang ingin wudhu.
Kehilangan sandal swallow juga saya alami saat berkunjung ke kediaman Gus Muwafiq beberapa waktu yang lalu saat menggarap program sowan kiai bersama Kru Mojok dan Gusdurian.
Setelah hampir dua jam sowan, saat akan pulang, sandal saya raib. Kali ini tentu saja saya bingung, sebab ini bukan musala. Jadi tak mungkin dipakai orang buat berwudhu.
Saya sudah ikhlas dan siap pulang tanpa sandal untuk nanti mampir ke warung untuk beli sandal yang baru.
Sesaat sebelum saya naik mobil yang mengantar saya dan rombongan, asisten Gus Muwafiq memanggil saya, ternyata sandal saya dipakai buat alas nongkrong oleh salah satu santrinya Gus Muwafiq di jalan depan rumah Gus Muwafiq.
Kejadian paling baru, saat kemarin saya ke rumah pacar saya untuk melamar dia. Saya ke sana pakai sandal swallow. Kebetulan lamaran digelar di musala di dekat rumah pacar saya, jadi saya merasa sah-sah saja pakai sandal swallow.
Pas saat saya dan rombongan mau pulang, kejadian (yang sudah sering terjadi) itu pun terjadi kembali. Sandal saya hilang.
Saya tak perlu menjelaskan, sandal saya ketemu atau tidak. Namun yang jelas, pesan moral yang terkandung dalam sandal swallow memang akan selalu sama: Semua milik Allah, termasuk sandal swallow. Bersiaplah untuk selalu kehilangan.
Swallow membuat saya belajar akan arti kehidupan. Bahwa dalam hidup, kita harus selalu siap untuk kehilangan.