Satu hal yang begitu membuat politik begitu menyebalkan adalah ia membuat bebal banyak orang. Berbagai atraksi dan adegan-adegan lucu sampai pernyataan-pernyataan wagu dari para tokoh (mulai dari pernyataan Ferdinand Hutahaean yang melihat tanda kemenangan Prabowo dari tahi burung yang jatuh di mobilnya dan membentuk angka dua, sampai pernyataan Farhat Abbas yang mengatakan siapa saja yang memilih Jokowi pasti masuk surga) semakin menebalkan fakta bahwa politik dan nalar memang acapkali tak bisa berjalan beriringan.
Sebagai orang yang bekerja di media (yah, walau sekadar media abal-abal dan tidak pro-ummat seperti mojok.co ini), saya mau tak mau memang harus banyak memindai isu pandangan-padangan netizen terkait dunia politik.
Dan itu menyebalkan, sebab saya jadi harus bertemu dengan para netizen, yang tentu saja masih saudara sebangsa, dan bahkan seagama, yang dengan sangat polosnya menampakkan kebebalannya.
Satu yang sangat jelas saya ingat tentu saja tentang paksaan tes DNA bagi Jokowi untuk membuktikan bahwa dirinya bukan PKI.
“Kalau memang bukan PKI, Jokowi seharusnya berani membuktikannya dengan tes DNA!!!”
Begitu komentar seorang netizen di sebuah postingan yang membahas soal Jokowi dan PKI.
Komentar semacam itu bukan hanya sekali dua kali. Saya menemukannya berkali-kali, oleh banyak orang dari banyak kalangan. Baik yang berpendidikan tinggi, maupun yang tidak berpendidikan.
Dan betapa sedih hati saya, sebab komentar tersebut beberapa kali keluar dari jari-jari kawan dan saudara saya.
Banyaknya orang yang percaya bahwa status PKI atau tidak seseorang bisa ditentukan oleh tes DNA tentu saja adalah hal yang bodoh. Ia berada di tingkat yang sama dengan orang yang percaya bahwa dirinya bisa masuk surga jika berkomentar amin, atau percaya bahwa gambar wanita dengan hanya menggunakan bra bisa berubah menjadi gambar wanita telanjang jika ia mengetik angka “13” di kolom komentar.
Bagaimana mungkin status PKI atau tidak bisa ditentukan dengan tes DNA?
Yang jadi pertanyaan seharusnya bukanlah soal “Kenapa Jokowi tidak berani tes DNA untuk membuktikan bahwa dia bukan PKI?”
Tapi “DNA PKI itu DNA yang gimana? Sample-nya ngambil dari mana?” Dari serpihan karat besi yang ada pada palu dan arit?
Ini menyedihkan. Ketika di China sudah ada ilmuwan yang mampu menciptakan bayi kebal HIV dari rekayasa genetika. Sedangkan di sini, orang-orang masih percaya bahwa PKI bisa diperiksa melalui tes DNA.
Jangan-jangan, khusus di Indonesia, DNA memang tidak diartikan sebagai DeoxyriboNucleic Acid, melainkan DN Aidit.
Seorang kawan kemudian menghibur saya, bahwa kebodohan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang memaksa Jokowi untuk tes DNA itu memang disengaja, sebab bisa jadi, apa yang mereka katakan tentang tes DNA itu sejatinya adalah satir belaka.
Mantuuuuuul. Entah kenapa, walau cukup aneh, namun saya punya secercah rasa percaya terhadap apa yang dikatakan oleh kawan saya.
Maklum, belakangan ini, tren satir memang sedang begitu menggeliat.
Saya pernah membaca sebuah artikel satir. Artikel tersebut mendapat komentar yang menyakitkan dari pembacanya, komentar tersebut kemudian dibalas sama orang lain yang memberitahu bahwa itu adalah artikel satir.
Orang yang komen pertama yang mungkin malu karena kelihatan bodohnya sebab tidak sadar kalau yang dibaca adalah artikel satir kemudian membalas balasan komentar tersebut dengan “komenku tadi sebenarnya juga satir, kok!”
Balasan tersebut kemudian mendapatkan balasan lagi, “Balasanku atas komentarku tadi juga balasan satir.”
Modiaaaaar.
Sejak saat itulah, tiap kali ada yang bilang kalau Jokowi harus tes DNA untuk membuktikan dirinya bukan PKI, insting saya selalu berusaha menebak-nebak, itu satir atau memang goblok beneran. Sebab memang tipis sekali batasnya.
Sebagai orang yang percaya bahwa Indonesia adalah bangsa pilihan, saya berusaha untuk meyakini bahwa itu satir.
Walau rasanya sulit.