Selamat Jalan, Cak Rusdi

Saya masih ingat betul pertemuan saya dengan sosok bernama Rusdi Mathari ini. Kami bertemu di Warung Mas Kali (sebelum kemudian berubah nama menjadi Angkringan Mojok) empat tahun yang lalu. Kami kebetulan sama-sama terdaftar sebagai peserta wisata kretek, sebuah acara wisata mengunjungi sentra industri kretek dan perkebunan tembakau yang digagas oleh Komunitas Kretek.

Ia tampak begitu semringah melihat saya. Belakangan, melalui tulisannya, baru saya tahu bahwa ia memang sangat ingin bertemu dengan saya. Ia sudah lama sering membaca tulisan-tulisan saya, baik yang saya tulis di blog, di Mojok, maupun di Facebook. Karena itu, begitu kami bertemu, kami langsung ngobrol panjang lebar soal menulis.

Ia menasihati saya soal penampilan saya yang memang masih terlalu sering memakai sandal jepit.

“Kalau ke mana-mana, pakailah sepatu, Gus. Perbaiki penampilanmu. Kariermu sedang naik. Dan kalau kamu diundang jadi pembicara, kamu harus berani mematok tarif. Jangan ragu-ragu. Ilmu dan pengalamanmu itu mahal,” tuturnya kala itu.

Obrolan kami di Warung Mas Kali kemudian berlanjut di bis. Kebetulan kami sebelahan. Cak Rusdi, begitu saya dan kawan-kawan memanggilnya, memberikan banyak tips unik (untuk tidak menyebutnya sebagai wagu) kepada saya. Dari mulai tips memperbesar penis sampai tips membuat wanita tergila-gila.

“Aku yakin punyamu itu pasti kecil, wis ta, yakin aku, Gus,” ujarnya mantap kepala saya.

Saya hanya terkekeh, tapi tentu tidak mengamini apa yang ia katakan, sebab saya merasa, punya saya tidak kecil-kecil amat.

“Sini, tak kasih tahu tips yang ampuh,” tuturnya.

Tips memperbesar penis itu kemudian saya catat. Namun sampai sekarang, belum pernah saya praktikkan. Sebab, yah, sekali lagi, saya masih merasa puas dengan ukuran milik saya saat ini. Kalau kata orang bijak dari seberang, “Kecil nggak papa, yang penting mainnya kayak mesin jahit.”

* * *

Semenjak kebersamaan di acara Wisata Kretek itu, kami kemudian semakin dekat. Terlebih, Cak Rusdi juga memang menjadi salah satu sosok yang sering menjadi pemateri di acara-acara capacity building yang kerap digelar oleh komunitas KBEA (Komunitas yang juga menaungi Mojok).

Cak Rusdi kerap menginap di kantor Mojok. Hal yang selalu saja menjadi momen menarik dan menyenangkan, sebab ia memang sosok yang gemar bercerita tentang kisah-kisahnya. Dan kisah yang ia ceritakan nyaris selalu lucu dan mengundang tawa.

Sebagai seorang wartawan senior, ia selalu bisa menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi. Sejak dulu, Ia terkenal sebagai wartawan yang tak mau menggunakan alat perekam.

Ketika bertugas menjadi wartawan, Cak Rusdi adalah sosok yang serius. Namun saat ia bercerita soal pengalamannya menjadi wartawan, ia berubah menjadi stand up (atau lay down) komedian yang luar biasa lucunya.

Suatu ketika, ia berkisah pada saya bahwa ia pernah menyamar menjadi Kristen dan ikut kebaktian di gereja demi bisa mewawancarai seorang narasumber.

“Saat kebaktian itu, Gus, aku sengaja duduk di sebelahnya (narasumber),” kata Cak Rusdi, “Ketika dia mulai khusyuk berdoa dengan posisi tangan berdoa ala orang kristen, aku menepuk pahanya, lalu kusorongkan kartu namaku, ‘Saya dari Info Bank, Pak’”

Asuuuu, saya tertawa terpingkal-pingkal.

Kali lain, ia pernah mendapat tugas mewawancarai seorang Jenderal. Si jenderal ini begitu susah dan licin. Ia sulit dimintai waktu untuk wawancara.

Karenanya, demi bisa mendapatkan waktu untuk wawancara itu, Cak Rusdi sampai pernah mencegat sang jenderal saat mau masuk ke mobilnya.

“Aku cegat dia, Gus,” kata Cak Rusdi. “Kakiku aku palangkan ke pintu mobilnya saat ia mau masuk.”

“Lha, trus gimana, Cak?”.

“Aku langsung digampar sama ajudannya.”

Lagi-lagi, saya terpingkal-pingkal. Tak peduli kalau tawa saya dianggap sebagai penghinaan atau tidak simpati pada penderitannya saat digampar oleh si ajudan.

“Trus sampeyan mbales nggampar nggak, Cak?”

“Yo jelas nggak.”

“Lho, katanya sampeyan itu walau badannya kecil, tapi kalau berkelahi berani. Piye tho, Cak?”

“Aku itu berani berkelahi kalau sudah urusan harga diri, lha pas aku digampar itu, itu bukan urusan harga diri, memang dasar akunya saja yang goblok, Gus.”

Tawa saya semakin keras.

Pada kesempatan yang lain, ia pernah berhadapan dengan narasumber yang unik. Narasumber ini adalah orang yang pernah banyak dirugikan oleh pemberitaan yang ditulis oleh wartawan. Karenanya, ia begitu antipati dengan makhluk berjenis kelamin wartawan.

“Ini kejadian lama sekali, saat itu, sebelum aku mewawancarai dia, terlebih dahulu dia menantangku untuk bersumpah,” ujar Cak Rusdi.

“Bersumpah gimana, Cak?”

“Bersumpah bahwa sebagai wartawan, aku tidak akan tergoda oleh harta dan jabatan.”

“Trus, Cak Rusdi mau?”

“Ya mau saja, kan dia hanya menyuruh aku bersumpah untuk tidak tergoda oleh harta dan jabatan, bukan oleh perempuan,” jawabnya sambil tertawa.

Taaaaaeeeeeeeek.

* * *

Waktu berjalan seperti biasa. Hingga kemudian, datanglah kabar itu. Cak Rusdi terkena kanker. Ia menjalani rawat inap dan rawat jalan hampir setahun lamanya.

Saya menengoknya dua kali. Tengokan pertama, ia benar-benar masih sangat kuat. Walau hanya bisa berbaring di ranjang, namun ia mampu membuat kawan-kawannya tertawa dengan kisah-kisah jenakanya.

Pembesuk harusnya menghibur yang dibesuk, tapi kali itu malah terbalik, saya yang justru dihibur olehnya yang sedang sakit lewat kisah-kisah lucunya selama dirawat di rumah sakit.

Pada tengokan yang kedua, kali ini sangat berbeda. Saya menengoknya bersama Puthut EA. Dalam tengokan kali ini, Cak Rusdi begitu murung. Ia menangis berkali-kali. Menangis karena sakitnya, dan menangis karena ia tak bisa menulis.

Saya yang kala itu diperintahkan oleh Puthut EA agar bisa menghibur dan melucu justru tumbang. Saya tak kuasa menahan tangis. Air mata saya mengalir deras.

“Cepatlah menikah, Gus. Menahan syahwat itu berat.” ujarnya menasihati saya.

* * *

Jumat, 2 Maret 2018. Langit memang cerah, namun hati saya begitu mendung. Cak Rusdi, sosok wartawan yang serius namun jenaka itu akhirnya berpulang.

Saya sedih. Semuanya sedih. Semuanya merasa kehilangan, baik mereka yang kenal secara langsung maupun mereka yang hanya mengenal Cak Rusdi melalui tulisan-tulisannya.

Saya merasa terpukul. Sebab, sampai ia berpulang, Nasihat pertama dan nasihat terakhirnya belum juga bisa saya lakukan. Saya masih belum terbiasa memakai sepatu. Masih belum berani mematok tarif kalau diundang jadi pembicara. Dan masih belum punya keberanian untuk melamar kekasih sendiri.

Berat rasanya melepas seseorang yang begitu menyenangkan seperti Cak Rusdi. Tapi mau bagaimana lagi, kiranya para malaikat cemburu pada kami kawan-kawan Cak Rusdi yang selalu didongengi kisah-kisah lucu tentang pengalamannya selama menjadi wartawan.

Sekarang, ketika kami menangis. Mungkin malaikat sedang justru tertawa mendengarkan cerita-cerita jenaka Cak Rusdi.

* * *

Tadi malam, saya dan segenap kawan-kawan Cak Rusdi di Jogja berkumpul mengadakan yasinan untuk mendoakan almarhum. Acara dilanjutkan dengan bercerita tentang kekonyolan-kekonyolan Cak Rusdi.

Saya yakin, bahwa sosok sejenaka Cak Rusdi harus dilepas dengan bahagia. Dengan gembira. Dengan tangis yang sekecil-kecilnya dan senyum yang selebar-lebarnya.

Manusia selayaknya dilepas sesuai dengan perangai dirinya semasa hidup. Bukankah dulu Bisma menolak dilepas kematiannya dengan beralaskan ranjang beludru yang empuk dan mewah, ia justru ingin mati di atas ranjang panah dan berbantal tombak. Sebab ia adalah ksatria yang gagah berani dan gugur di medan Kurusetra.

Saya ingin melepas Cak Rusdi dengan senyum, dengan tawa. Tapi sayang, saya tak bisa. Bendungan air mata saya terlalu ringkih untuk tidak jebol.

Maafkan saya, Cak. Selamat jalan.

Exit mobile version