MOJOK.CO – Bekerja sebagai event organizer sering menjadi impian para mahasiswa. Gemerlapnya kehidupan panitia acara besar memang menyilaukan. Tapi coba dipikir lagi, apa sepadan dengan hasilnya?
Menjadi relawan atau bahasa kerennya volunteer di sebuah event organizer kerap menjadi pilihan mahasiswa yang sedang mencari jati diri. Menjadi volunteer pada suatu acara, entah kecil atau besar, adalah cara para mahasiswa untuk mencari ketenaran pengalaman selama kuliah.
Sering terdengar bahwa banyak mahasiswa yang ingin bekerja kepada sebuah event organizer karena pekerjaannya dianggap menyenangkan. Kenal dengan banyak orang, berdiri dekat dengan artis, bekerja bersama dengan orang yang dianggap keren, dan masih banyak lagi alasannya. Sekilas sih, menyenangkan.
Menyenangkan ndasmu.
Untuk mengulik kehidupan sebenarnya dari event organizer, Mojok Institute berbincang dengan Karto Tuying (nama samaran), penggawa event organizer yang cukup punya nama di Jogja. Karto memberikan banyak pandangan tentang bagaimana rasanya berkecimpung di dunia event organizer.
Karto menyoroti memang banyak sekali mahasiswa yang ingin bergabung menjadi awak event organizer. Biasanya mahasiswa yang ingin bergabung dijadikan volunteer dulu. Karto mengaku mereka terbantu banget dengan banyaknya orang yang ingin bergabung karena jadi bisa menekan biaya tenaga kerja.
Biasanya para volunteer ini diberi kerja yang ringan. Karena mereka kurang pengalaman, memberi mereka pekerjaan vital adalah bunuh diri. Jadi biasanya mereka diberi pekerjaan macam menjaga gerbang, menjaga ruang konsumsi, atau pekerjaan ringan lainnya.
Karto juga paham kalau para mahasiswa yang ingin bergabung itu ingin mencari kebanggaan dan bahkan untuk panjat sosial. Namun, bagi Karto, itu tidak masalah karena nantinya mereka bisa mendapat pengalaman. Sejauh ini, dia melihat bahwa event organizer dan volunteer ini adalah hubungan saling menguntungkan.
Tapi menjadi event organizer itu tidak bisa dibilang menyenangkan juga. Karto mengaku kuliahnya terbengkalai karena fokus di dunia tersebut. Sejatinya, EO tidak lebih dari kumpulan orang yang menyiapkan suatu acara. Kesempurnaan menjadi kunci agar mereka bisa tetap dipercaya, maka dari itu mereka benar-benar fokus hingga hal lain sering terabaikan. Karto menekankan bahwa meskipun pengalamannya berharga, bergabung menjadi volunteer harus dipikir matang-matang.
Memang, menggarap event bisa jadi cara belajar mengambil keputusan. Bikin acara ibarat sedang menjalani simulasi kehidupan yang mana keputusan yang diambil harus mempertimbangan potensi risiko. Untuk pelajaran satu ini, Karto paham betul dan merasakan manfaatnya.
Namun, kadang mahasiswa nyambi jadi kru EO karena motivasi bayaran dan perihal ini Karto tidak sepakat. Kadang bayarannya terlihat besar, katakanlah 500 ribu untuk satu hari event. Namun, yang sebenarnya dibayar itu bukan kerjamu satu hari, tetapi proses-proses yang diikuti sebelumnya. Jika kalau dipikir betul-betul, bayarannya itu sebenarnya sangat kecil.
Jika kamu mahasiswa dan ingin bekerja penuh waktu di perusahaan event organizer, Karto tidak menyarankan sama sekali. Karto mengatakan bahwa mahasiswa masih bisa mencari pekerjaan lain yang lebih aman. Menjadi anggota event organizer lebih baik untuk sampingan karena risiko yang ditanggung jauh lebih besar daripada karyawan biasa dan bayarannya pun tidak sepadan.
Mahasiswa sebaiknya memang terlibat kegiatan di luar kampus. Meskipun himpunan mahasiswa sering mengadakan acara, namun bagi Karto acara kampus kurang memberi gambaran nyata bekerja di EO. Jadi, kalau masih ingat tujuan awal adalah kuliah, ya kuliah itu yang harus diproritaskan, bukan cari duit. Ya kali kalau sekarang duitnya lancar tapi kuliah terbengkalai, terus rezeki bakal lancar seterusnya.
Gitu.
BACA JUGA Ketika Garuda Tauberes Meniru Cerdiknya Orang Zaman Dulu Memberi Nama Anak dan artikel menarik lainnya yang bisa dibaca sambil jajan di kantin.