MOJOK.CO – Indonesia didaulat sebagai negara yang suka buang makanan kedua di dunia. Padahal, masyarakat yang kelaparan masih berjuta-juta.
Di tengah tingkat kemiskinan Indonesia yang tinggi dan banyaknya kelaparan di sana-sini, muncul predikat baru bagi Indonesia, yakni sebagai negara dengan penyampah makanan kedua di dunia. Ini betul-betul ironis. Di satu sisi, begitu banyak masyarakat Indonesia yang kurang gizi dan kelaparan karena karena kekurangan makanan. Di sisi yang lain, banyak masyarakat yang malah terbiasa buang makanan. Mubazir.
Sebetulnya, apa sih, yang salah dengan sistem pengelolaan makanan dari masyarakat kita? Mohon maaf, saya nggak pengin asal nge-judge sana-sini. Lha wong, saya juga menjadi salah satu bagian dari oknum yang masih buang makanan itu tadi.
Tapi, kalau dipikir-pikir, sebetulnya ini ada hubungannya dengan kebiasaan masyarakat kita yang merasa nggak enak dan sungkan kalau tidak mencicipi makanan yang sedang dihidangkan. Misalnya ketika bertamu dan dihidangkan makanan, akan sangat tidak sopan dan tidak menghargai pemilik rumah kalau kita tidak mengambil makanan tersebut dan mencicipinya.
Padahal, kenyataannya, perut kita tidak selalu dalam keadaan lapar. Atau setiap makanan yang dihidangkan, kita tidak selalu doyan untuk memakannya. Oleh karena itu, ketika dalam keadaan terpaksa, ada sebagian makanan yang akhirnya tidak ikut dikonsumsi, sebab sulit diterima oleh pencernaan.
Hal ini menjadi masalah baru. Pasalnya, ada anggapan di lingkungan kita, kalau sudah dihidangkan makanan makan harus dikonsumsi hingga habis. Jangan sampai bersisa. Kalau bersisa, itu nggak sopan. Itu seolah ngasih tahu orang yang ngasih atau yang masak kalau makanan tersebut nggak enak. Dan itu bakal bikin mereka merasa sakit hati.
Betapa rumitnya soal srawung dan perbadokan di Indonesia. Padahal, bukankah hal-hal di belakang tidak mungkin terjadi, kalau dari awal menolak dengan sopan pemberian orang lain itu tidak dijadikan masalah? Maksudnya, ya kalau memang sudah nggak mampu mengonsumsi, kenapa harus memaksakan diri “mengambil” dan berakhir dengan mubazir?
Dengan menolaknya, justru makanan yang belum tersentuh itu berpotensi sampai ke orang yang lebih membutuhkan, kan? Bukankah itu malah memberikan kebermanfaatan yang efektif dan efisien?
Akan berbeda kalau makanan yang diberikan itu sudah terkontaminasi dengan saliva kita. Kalau nggak habis, ya bakal terbuang dengan sia-sia.
Saya punya teman yang salah satu motto hidupnya keren betul. Dia akan menghabiskan makanan yang ada di piringnya dengan tanggung jawab. Sejauh saya mengenalnya, dia akan berusaha keras menghabiskan makanan tersebut, meski dia sudah merasa sangat kenyang sekalipun.
Orang-orang macam teman saya inilah, termasuk tipe manusia yang bakal dicintai oleh juru masak seluruh dunia. Pasalnya, dengan menandaskan makanan yang ada di piringnya, dia tidak perlu dikonfrontasi mengenai peringkat kedua Indonesia dalam hobi buang makanan.
Tapi masalahnya, nggak semua manusia punya kemampuan kayak teman saya ini. Apalagi kalau udah diliputi rasa sungkan menolak pas dikasih makanan.