MOJOK.CO – Musisi dan seniman dibuat senewen oleh DPR ketika RUU Permusikan sudah masuk ke dalam pembahasan. Padahal, sebetulnya, DPR itu tak usah terlalu dipusingkan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan bikin seniman, khususnya musisi, senewen. Rancangan Undang-Undang dianggap bakal memberangus kreativitas dan kebebasan musisi ketika berkarya.
Saking menyebalkannya, nampaknya musisi dan penikmat musik sudah saatnya mencari alternatif hal-hal untuk didengarkan. Misalnya acara wayang kulit di radio atau ceramah agama saja. Adem…
Jadi, RUU Permusikan ini digagas oleh Komisi X DPR RI. Sementara itu, naskah RUU sendiri berasal dari naskah akademik yang pada proses penyusunannya tidak melibatkan musisi, sekaligus memasukkan unsur-unsur yang berpotensi menjadi “pasal karet” di dalam draft RUU.
Para penyusun adalah mereka yang sama sekali tak berkecimpung di industri musik. Pengarahnya K. Johnson Rajagukguk (Kepala Badan Keahlian DPR RI), Penanggung Jawab Inosentius Samsul, Ketua Sali Susiana, Wakil Ketua Chairul Umam, Sekretaris Nova Manda Sari, dan Anggota Arrista Trimaya, Rachmat Wahyudi Hidayat, Ihsan Badruni Nasution, Juli Panglima Saragih, serta Sulit Winurini.
RUU Permusikan tidak disusun oleh musisi atau orang yang paham dengan dinamika industri musik. Ini seperti Mike Tyson disuruh bikin aturan sepak bola, atau Freddie Mercury jadi atlet lempar lembing sekaligus bikin Rancangan Undang-Undang olahraga polo air. Nggak nyambung sama sekali.
Salah satu poin yang disoroti adalah pasal 5 yang berisi beberapa larangan bagi para musisi membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, membuat konten pornografi, hingga membuat musik provokatif.
Di dalam naskah akademik yang konon diterima oleh Tirto, ditegaskan bahwa mereka yang memproduksi karya musim yang mengandung kekerasan, perjudian, provokasi, SARA, hingga pengaruh negatif budaya asing dapat dikenai sanksi.
Ini RUU Permusikan yang sungguh tidak paham dengan perasaan Rhoma Irama. Raja Dangdut tidak akan lagi bisa membawakan nomor “Judi” ketika konser. Lha wong sejak dari judul saja sudah sangat “menyiratkan”. Padahal, dangdut is the music of my country. Dasar nggak peka.
Nah, yang parah adalah kemudian narasi itu cuma di-copy dan di-paste secara mentah ke dalam RUU Permusikan. Sudah bermasalah sejak naskah akademi, DPR juga malas untuk menyusun ulang narasi. Lha ini menyusun narasi saja malas, apalagi mengerjakan RUU Permusikan menjadi UU.
Jadi, sebetulnya musisi itu nggak perlu terlalu pusing dengan RUU Permusikan. Melakukan perlawanan tetap harus dilakukan. Namun, jangan sampai waktunya habis untuk mengurusi DPR yang bikin narasi ulang saja malas. Jangan sampai, musisi kehabisan waktu untuk menulis lagu bahwa DPR ini justru fasis dan nggak paham betul dengan aturan yang mereka buat.
Lha bagaimana nggak malas, DPR ini nggak menjalankan tugas legislasinya dengan baik. Lucius Karus, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai tidak ada yang bisa dibanggakan dengan kinerja legislasi DPR.
Menurut Karsus, setelah melakukan evalusi, kerja DPR tahun ini adalah yang paling buruk sejak era reformasi. Untuk tahun pertama, ada 3 RUU yang disahkan, tahun kedua naik menjadi 10 RUU, tahun ketiga merosot menjadi 6 RUU saja yang selesai dikerjakan, tahun keempat malah hanya 4 yang sah menjadi UU. Yakin, RUU Permusikan ini hanya akan mangkrak saja.
Gimana mau selesai, lha wong rapat saja banyak yang rajin membolos. Berbagai alasan dipakai, salah satunya ketemu konstituen di wilayah dapil masing-masing. Ya nggak masalah sih kalau mau “mendengar suara rakyat” dengan turun langsung ke daerah-daerah. Makanya, seperti RUU Permusikan ini sebaiknya tidak usah terlalu dipusingkan.
Apalagi, 89 persen anggota DPR muka lama akan nyaleg lagi. Jadi, coba bayangkan 89 persen muka-muka lama yang nggak produktif blas itu akan kembali menjadi “wakil rakyat”.
Kemalasan yang sama pasti akan kembali terjadi. Satu lagi alasan RUU Permusikan tidak akan selesai dan mangkrak.