MOJOK.CO – Blunder mulai sering dilakukan kubu Jokowi dan Ma’ruf Amin. Kubu Prabowo dan Sandiaga Uno kudu lebih cerdik memilih punchline untuk roasting.
Beberapa hari yang lalu, saya diundang menjadi pembicara di acara Jurnalistik Festival Boulevard Institute Teknologi Bandung (ITB). Tema yang kami bahas adalah independensi media di tengah tahun politik. Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta adalah: “Mengapa Mojok lebih banyak menyerang kubu Prabowo? Apakah Mojok adalah cebong?”
Ini adalah pertanyaan klasik. Agus Mulyadi, Pemred Mojok dan Puthut EA, Kepala Suku, sudah menegaskan bahwa Mojok berdiri di tengah. Lalu mengapa banyak tulisan yang menyerang Prabowo? Jawaban saya: karena banyak bahan tulisan yang Mojok-able yang diproduksi oleh kubu Prabowo dan Sandiaga Uno.
Berbagai macam kekonyolan, pernyataan yang lucu, hoaks, dan kontradiktif, diproduksi oleh sang penantang. Bukannya tidak ada yang berasal dari kubu Jokowi. Namun memang, jumlahnya lebih sedikit ketimbang kubu sebelah. Nah, kebetulan beberapa hari ini banyak “kontroversi” yang diproduksi kubu Jokowi, izinkan kami untuk bersenang-senang dengan sebuah roasting ini.
Beberapa hari yang lalu, sebuah poster berisi foto separuh badan Jokowi viral. Satu dari dua hal yang dipermasalahkan adalah di dalam foto tersebut, Jokowi mengenakan “jubah” dan mahkota raja. Foto kostum tersebut berasal dari kegiatan Jokowi ketika menghadiri Festival Keraton dan Masyarakat Adat ASEAN ke-5 di Sumenep, Jawa Timur.
Menjadi masalah ketika kubu Jokowi sendiri tidak mengakui bahwa poster tersebut bikinan mereka. Bahkan, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI-P, menyebut poster tersebut sebagai black campaign yang ingin melemahkan suara Jokowi di “kandang banteng”, Jawa Tengah. PDI-P sendiri menginstruksikan pencopotan poster tersebut dan memburu mereka yang memasangnya.
Menariknya, beberapa hari kemudian, Kaukus Anak Muda Indonesia (KAMI), mengaku bertanggung jawab atas pemasangan poster tersebut. Mereka adalah relawan pendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin. KAMI mengaku sudah mendeklarasikan dukungan sejak November dan tidak ada arahan soal isi poster.
Mengetahui bahwa pemasang poster adalah pendukung sendiri, Andreas Pereira, Ketua DPP PDI-P justru menyangsikannya. Pun dengan Hasto, yang meragukan keterangan dari KAMI. Hasto tetap keukeuh menyebut bahwa ada kampanye hitam untuk menunjukkan seolah-olah Jokowi berjiwa feodal.
Lebih lucu lagi ketika Irma Suryani Chaniago, Jubir TKN Jokowi dan Ma’ruf Amin dari Nasdem mengungkapkan bahwa PDI-P tidak perlu meminta maaf atas kegaduhan ini. Irma meminta masyarakat memaklumi ulah relawan karena itu “cuma kreativitas” saja. “Apa itu merugikan orang lain?” Kata Irma.
Berbuat keliru, tapi tidak ada klarifikasi dan ungkapan maaf? Nah, kubu Prabowo, silakan di-roasting dengan cantik. Jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade mengibaratkan sikap PDI-P seperti “maling teriak maling”. Awalnya berkelit, tetapi ketika terbongkar, justru ngeles saja.
Satu hal lagi yang masih menjadi masalah dari poster tersebut adalah penggunaan logo menara Masjid Kudus. Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) keberatan dengan penggunakan logo tersebut. kenapa? Karena tidak ada izin terlebih dahulu.
Selain itu, Menara Kudus adalah simbol toleransi antar-umat beragama dari masyarakat Kudus. Menara adalah milik semua umat dan tidak boleh dikaitkan dengan politik praktis. Nah, ini bahan yang menarik untuk di-roasting oleh kubu Prabowo. Sudah mengelak, tidak meminta izin, menggunakan unsur keagamaan secara salah. Ingat, roasting yang cantik. Jangan menyerang sembarangan.
Belum reda soal masalah poster raja dan gaduh penggunaan logo menara Masjid Kudus, kubu Jokowi kembali membuat blunder. Blunder ini terkait dengan kontroversi hukuman Baiq Nuril. Lewat pidato, mantan Gubernur DKI tersebut mengungkapkan Baiq Nuril sebaiknya mengajukan grasi jika PK-nya ditolak oleh Mahkamah Agung.
Jokowi (dan timnya yang menyusun naskah pidato) salah menyebut grasi, yang seharusnya amnesti. Grasi hanya bisa diberikan kepada terpidana mati atau hukuman seumur hidup. Sementara itu, Baiq Nuril dituntut penjara selama enam bulan. Ketika dikritik, kubu petahana bukannya meralat, tetapi balik menyerang kubu Prabowo.
Arya Sinulingga, Jubir Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin berkata, “Saya yakin Pak Prabowo kalau ditanya detail soal grasi itu juga enggak tahu, kalau grasi itu buat hukuman yang di atas 2 tahun. Yakin saya, Sandi juga tidak akan tahu.” Hmm…jangan-jangan Bapak Arya ini semacam cenayang bisa membaca isi hati seseorang.
Lha, di sini apa salah Prabowo dan Sandiaga Uno? Biarkan Pak Prabowo berkutat dengan 99 persen masyarakat Indonesia hidup kekurangan dan Sandiaga Uno dengan fetisisme-nya kepada tempe. Mereka sedang tenang. Jangan diganggu.
Saya khawatir, rentetan blunder ini belum akan berakhir sampai di grasi saja. Kenapa? Karena oknum politikus punya kebiasaan berulang untuk ngeles dan menghindar dari kesalahan. Kubu Prabowo nggak usah jemawa pas baca kalimat tadi. Kalian itu juga terlalu sering bikin kekonyolan-kekonyolan yang Mojok-able.
Nah, pihak Prabowo, catat baik-baik dan jadikan bahan kampanye yang lebih unik dan kocak. Jangan hanya menebar ketakutan saja dan menyerang kubu petahana secara serampangan. Rakyat kebanyakan suka materi yang bikin ketawa. Dari situ, ide dan gagasan bisa lebih mudah disampaikan.
Saya yakin ini materi-materi yang berpotensi lucu ketika dijadikan bahan roasting. Bisa, kan, Prabs dan Sans? Kalau kesulitan, silakan ke kantor Mojok. Ngapain? Nanti kita main UNO atau Seven Skop saja. Dari keseruan permainan itu, biasanya ketemu punchline untuk bahan roasting.