Ridwan Kamil Disoraki “Prabowo”: Sekali Lagi, Sepak Bola Itu Rumah Politik

ridwan kamil disoraki prabowo MOJOK.CO

MOJOK.CORidwan Kamil, Gubernur Jawa Barat pendukung Jokowi, disoraki “Prabowo!” oleh ratusan Bobotoh. Bukti sepak bola itu rumah yang nyaman untuk politik.

Tiap kali hendak pemilihan umum, entah Pilkada, entah Pilpres, sepak bola selalu ada di dalam narasi tersebut. Menilik sejarahnya yang panjang, sepak bola memang tidak bisa lepas dari politik. Jika ada yang mengajak “menjauhkan” politik dari sepak bola itu ibarat menahan kebelet boker parah di pagi hari. Sulit dan hampir tidak bisa.

Mengapa sangat sulit menjauhkan politik dari sepak bola? Kita ambil contoh sebuah pertandingan. Penonton di dalam stadion tentu saja manusia. Mereka punya atribut preferensi akan sesuatu. Salah satunya adalah politik. Dan, ketika situasi mendukung, preferensi itu akan diekspresikan secara jelas.

Seperti ketika Ridwan Kamil datang ke stadion untuk nonton Persib Bandung vs Arema FC di Stadion Jalak Harupat, 18 Februari yang lalu. Ratusan Bobotoh meneriakkan nama “Prabowo! Prabowo! Prabowo!”. Kalau nonton videonya, kamu bakal tahu bahwa dari segelintir, teriakan “Prabowo!” disambut Bobotoh lainnya. Seperti menjadi sebuah chant, “Prabowo!” Jalak Harupat menggemakan “Prabowo!”.

Kamu tentunya paham bahwa Ridwan Kamil, yang saat ini mengemban amanat sebagai Gubernur Jawa Barat memilih mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Gubernur boleh mendukung Jokowi. Bahkan Ridwal Kamil boleh mengarahkan suara konstituennya untuk Jokowi. namun, di dalam stadion, suara-suara manusia tidak bisa dibendung mengeskpresikan preferensinya.

Sepak bola, yang diusahakan bebas dari politik, nyatanya tidak bisa. Gema “Prabowo!” menjadi bukti bahwa konteks Pilpres 2019 dipadukan dengan suporter yang berkumpul, menjadikan sepak bola sebagai “rumah politik”.

Rumah, seperti pengertian di dalam KBBI disebutkan sebagai “bangunan untuk tempat tinggal”. Sepak bola, sebagai rumah yang megah dan perabot mewah bernama kumpulan massa, adalah habitat yang nyaman untuk politikus.

Sebuah massa dalam jumlah besar yang berkumpul adalah “rumah” yang indah bagi politikus. Itulah alasan banyak politikus yang mbribik basis massa suporter sebuah klub tertentu. Massa yang besar bisa dimanipulasi, diarahkan menjadi tabungan suara. Tengok saja ketika Pilkada DKI, janji membikinkan stadion berkelas bla bla bla selalu ada untuk Persija Jakarta.

Menunggangi sepak bola, banyak tokoh yang tadinya kurang populer mendadak begitu dikenal. Mereka lebih mudah memperoleh ruang pemberitaan di media massa dan media sosial. Juga lebih mudah untuk menjumpai calon pemilihnya. Cukup dengan datang ke stadion, sudah bisa berjumpa dengan puluhan ribu calon pemilihnya.

Pola seperti ini yang bisa kita lihat dari sepak terjang Edy Rahmayadi. Edy memiliki karier militer yang mentereng, mulai dari Pangdam Bukit Barisan dan Pangkostrad. Namun, Edy Rahmayadi sadar bahwa jabatan militernya itu tidak cukup mengangkat popularitas namanya dan bekal untuk masuk ke politik praktis.

Oleh karena itu, mantan Ketum PSSI tersebut masuk ke sepak bola. Apalagi, dia pernah punya pengalaman sebagai pemain junior PSMS Medan sebelum aktif di militer. Sebagai orang yang memiliki ambisi politik, Edy tahu yang mesti dilakukan. Sepak bola menjadi “rumah politik” bagi Edy Rahmayadi.

Bobotoh juga pernah menunjukkan “preferensi” politiknya ketika membuat spanduk dukungan untuk Rohingya berbunyi “Save Rohingya”. PSSI meradang dengan aksi tersebut. Komdis PSSI menghukum Persib Bandung dengan sejumlah denda sebesar Rp50 juta. Tanpa boleh banding, Persib harus membayar denda dalam waktu 14 hari.

Keputusan Komdis PSSI dianggap ngawur. Tak ingin klub kesayangannya didenda karena aksi mendukung Rohingya, Bobotoh saweran dalam bentuk uang koin.

Tahun 2016, Glasgow Celtic didenda UEFA. Saat itu, fans mereka mengibarkan ratusan bendera Palestina ketika Celtic berlaga di Liga Champions. UEFA memandang aksi tersebut sebagai aksi politik. Konon, mereka ingin menjauhkan sepak bola dari politik.

Pilihan ini, di sepak bola selalu bisa diartikulasikan menjadi dua arti. Pertama, sebuah keputusan yang bijak karena politik bisa bikin sepak bola menjadi tidak murni. Kedua, sangat naif karena manusia selalu berpolitik. Toh, yang namanya politik tidak selalu bersinggungan dengan soal pilih-memilih caleg atau capres atau cawapres.

Berpolitik sendiri adalah aksi menjalankan atau menganut suatu paham politik. Sementara itu, politik juga bisa diartikan sebagai cara bertindak ketika menghadapi sebuah masalah.

Untung saja, Ridwan Kamil tidak lepas kendali ketika banyak Bobotoh menyuarakan preferensi politiknya. Coba bayangkan kalau Ridwan Kamil ngamuk-ngamuk di medsos sambil bikin puisi. Eh maaf, kalau soal bikin puisi, itu kerjaannya Fadli Zon, yang katanya wakil rakyat itu.

Jika Ridwan Kamil lepas kendali, Jokowi bakal runyam karena bakal ganggu usaha “mengganggu” dominasi Prabowo di Jawa Barat. Seperti kamu ketahui, Jawa Barat adalah basis suara Prabowo, sementara Jokowi sedikit unggul di Jawa Timur dan cukup kuat di Jawa Tengah.

Pada akhirnya, sungguh sulit memisahkan sepak bola dari politik. Bahkan, memang sangat sulit memisahkan politik dari apa pun. Karena yang namanya manusia punya kehendak bebas. Seperti misalnya si dia nggak balas wasapmu. Nggak perlu berharap banyak, mBlo. Berharap tinggi-tinggi itu jatuhnya makin sakit.

 

Exit mobile version