MOJOK.CO – Selayaknya pengalaman hidup yang lain. Punya pengalaman pacaran juga penting. Kita tidak akan membicarakan soal halal dan haram. Namun sebagai salah satu tahap pembelajaran dari proses hidup kita.
Nggak sedikit yang beranggapan kalau pacaran itu terlalu banyak mudaratnya dibandingkan manfaatnya. Ya, soal menganggu fokus kayak ganggu sekolahlah, bakal bikin kita ribet bertengkar dan jadi sering galaulah. Atau yang sering diomongin, pacaran adalah hal yang mengarah ke zina. Hadeeeh, masalah hubungan romantis ini, nggak sekadar seperti itu, ya.
Mohon maaf aja. Sadarkah kita kalau pacaran itu justru media kita untuk latihan, Saudara-saudara? Salah satu skill yang kita dapatkan dalam proses pacaran misalnya, belajar cara negosiasi.
Dengan berpacaran, kita bakal latihan bernegosiasi. Nggak sekadar asal negosiasi yang penting kedua kepentingan sama-sama tercapai, ya. Lantaran ini berada dalam hubungan asmara, di mana kedua pihak sama-sama memiliki rasa sayang. Maka, negosiasinya itu pakai hati. Mudah? Jelas nggak. Nggak jarang, hanya karena persoalan yang kelihatannya sepele, konflik ujug-ujug bisa muncul begitu saja. Pasalnya, negosiasi pakai hati ini bukan sekadar perkara ya atau tidak Maemunah.
Hal ini tentunya juga memberi efek berbeda pada orang-orang yang pengalamannya paling pol sebatas punya gebetan doang. Begini, ya, hubungan pacaran ini punya efek seolah-olah, “dia adalah milik kita”. Padahal kan, nggak juga. Nah, si efek blawur, “dia adalah milik kita” inilah yang sering membuat kita harus lebih keras lagi mengelola hati dan memanajemen proses negosiasi. Halah.
Dengan pengalaman pacaran ini, kita jadi lebih tahu kekurangan kita. Bagaimana cara berkomunikasi yang baik dan nggak bikin orang lain sakit hati? Ataupun soal kesadaran, bahwa ini adalah hubungan yang saling. Kita nggak bisa begitu mudahnya egois dan penginnya dunia berpusat pada kita aja! Misalnya, kita penginnya cuek-cuek aja, tapi mendapat perhatian berlimpah darinya. Ya, nggak bisa kayak gitu, Sayang.
Nah, pengalaman cihuy soal bernegosiasi pakai hati ini, begitu penting untuk kehidupan keseharian. Kita jadi tahu bahwa manusia itu dinamis dan bukan robot. Yang nggak bisa seenaknya diatur-atur dengan semau kita. Mereka punya proses berpikir masing-masing, yang harus didekati dengan pendekatan yang berbeda-beda.
Selain itu, karena punya partner, kita jadi punya teman diskusi yang kadang menyenangkan tapi nggak jarang menyebalkan. Akhirnya, perspektif kita akan sesuatu jadi lebih kaya dan luas. Kita nggak terkungkung dengan pikiran yang itu-itu saja karena kita punya teman diskusi.
Misalnya, selama ini kita nggak suka dengan orang yang merokok. Kok, ndilalah malah punya pacar yang ngerokok. Yang mana, kita nggak bisa asal ngelarang dia untuk menghentikan kebiasaan itu begitu saja. Lha wong, kita ini orang yang baru aja datang di hidup dia. Jadi, mau nggak mau, kalau memang kita pengin mempertahankan hubungan, kita harus berusaha memahami kebiasaannya ini dan ngerti alasan di baliknya. Betul, pengalaman pacaran membuat kita belajar untuk toleran dengan pilihan orang lain.
Proses toleran ini menjadi lebih sulit dibandingkan toleran pada orang yang nggak punya ikatan perasaan sama kita. Selama ini kita berpikir bahwa rokok nggak ada baik-baiknya buat kesehatan. Eh, lha kok, orang yang kita sayang, malah punya kebiasaan itu? Bayangkan saja, proses memahami saja sulit. Eh, ini malah dibumbui dengan perasaan harus ngeman-eman.
Punya pengalaman pacaran ini juga bikin kita paham pentingnya motivasi hidup—meski hidup tanpa motto. Tahu rasanya bagaimana bahagianya bisa membahagiakan dia. Kita ngerti bagaimana senengnya, bisa bermanfaat untuk orang lain. Serta, bahagianya jika keberadaan kita ternyata diharapkan oleh orang lain. Hal ini lantas bikin kita lebih bersemangat untuk menjalani hari nggak gampang menyerah—atau malah pengin mati aja.
Memang betul, akan lebih baik kalau yang namanya motivasi ini tumbuh dari diri sendiri. Teorinya sih, seperti itu. Tapi gimana, ya? Namanya manusia, butuh alasan yang lebih nyata untuk nggak males-malesan dan tergerak untuk mulai berusaha—demi bisa membahagiakan si dia. Kan otak orang jatuh cinta: aku bahagia kalau kamu juga bahagia. Tapi kalau bisa, kamu bahagianya sama aku aja.
Bahkan, kita bisa melakukan banyak hal nggak logis hanya demi dia. Nah, ghirah atau motivasi yang munculnya kadang nggak masuk akal semacam ini. Kayaknya sih, agak susah dipahami oleh orang yang belum punya pengalaman pacaran.
Selain itu, pengalaman pacaran juga melatih kepekaan kita dengan kondisi sosial sekitar. Misalnya, kita jadi tahu saatnya lagi serius atau lagi bercanda, dan bisa menempatkan diri pada situasi tersebut. Kita tahu kalau dia chatnya pakai huruf capslock itu artinya apa. Pun kita jadi tahu, kalau dia memilih diam seharian, apa yang terjadi dengannya. Lelahkah? Atau malah nggak cuma lelah tapi bete dan sebel? Nah, akhirnya kita juga jadi melatih diri untuk menemukan treatment-treatment yang tepat, guna menjadi bucin yang paripurna.
Kata beberapa teman saya yang pernah pacaran—meski sekarang lagi nggak punya pacar. Pengalaman pacaran yang dulu pernah mereka alami, telah memberikan kesadaran untuk merawat diri. Katanya sih, kalau dia nggak pernah ngerasain pacaran, pasti tampilannya bakal lebih butek dari sekarang. Meski saat dulu baru saja ditinggalkan, tetap saja bikin hidupnya cukup berantakan. Tapi, saat dia sudah berhasil menata hidup lagi. Dia lebih bisa memahami soal hal-hal kecil yang sebelumnya nggak penting baginya, ternyata penting bagi orang lain. Seperti, pentingnya pakai deodorant untuk kenyamanan orang-orang yang berada di sekitarnya.