Penyesalan Getir Karena Tak Bisa Mendonorkan Plasma Konvalesen

plasma konvalesen

MOJOK.COSaya tak bisa menjadi donor plasma konvalesen, dan itu adalah kegagalan besar yang harus mulai saya sesali.

Ketika saya sekeluarga terpapar Covid-19, kami merasa sangat “mujur” sebab bukan hanya kemujuran kami yang cukup moncer, namun juga daya dukung sosial kami ternyata sangat kuat.

Ketika bapak mertua saya resmi positif, ia langsung mendapat kamar isolasi di rumah sakit. Hal yang tak semua orang bisa mendapatkannya saat ini. Kawan-kawan, tetangga, dan saudara-saudara kami juga sangat suportif. Kami mendapatkan suplai kebutuhan pokok seperti sayur, buah, dan aneka logistik lainnya sebagai pendukung kami dalam menjalani masa isolasi mandiri.

Ketika saya mengabarkan melalui media sosial bahwa saya dan keluarga terpapar Covid-19 dan harus menjalani isolasi mandiri, tak terhitung doa dan dukungan yang mampir untuk kami. Doa yang ribuan jumlahnya itu sungguh membuat saya merasa tak sendiri. Saya merasa ditemani. Kami merasa sedang berbagi derita.

Banyak kawan online, yang kami bahkan belum pernah berjumpa langsung dengannya, mengirimkan aneka suplemen untuk kami.

Saking seringnya kiriman itu datang, kami sampai berada di fase “surplus” suplemen. Kami mendapatkan banyak kiriman madu, kapsul suplemen berbagai jenis, vitamin berbagai merek, serta herbal-herbal lainnya. Hal yang membuat saya merasa amat sangat dicintai oleh kawan-kawan kami.

Maka, ketika saya dan keluarga saya pulih, saya merasa punya semacam kewajiban moral untuk memberikan apa yang sudah orang-orang berikan. Pay it forward.

Saya dan istri saya berusaha melakukan apa yang sebisa mungkin bisa kami lakukan untuk membantu siapa pun yang terdampak Covid-19. Kami membeli banyak barang dagangan dari para pedagang yang terdampak Covid-19 lalu membagi-bagikannya kepada orang lain. Kami mengirimkan vitamin dan suplemen kepada orang-orang yang sedang isolasi mandiri. Kami menggunakan media sosial kami untuk membagikan postingan-postingan yang menurut kami perlu untuk dibagikan dan disebarkan.

Ketika kami diminta oleh Kitabisa untuk ikut menggalang dana, kami tak berpikir dua kali untuk mengiyakannya. Target donasi 10 juta selama 25 hari yang “dibebankan” kepada kami ternyata langsung tercapai bahkan di hari pertama.

Ketika tulisan ini saya buat, nilai donasi yang sudah kami kumpulkan bahkan sudah mencapai 350 juta rupiah. Kami diberi kesempatan untuk ikut berpartisipasi menyalurkan bantuan-bantuan tersebut, dari mengusahakan shelter isolasi sampai menyalurkan bantuan berupa popok dan susu untuk para ibu yang sedang isolasi mandiri.

Tanpa perlu narasi heroisme, saya pikir saya sudah merasa membayar lunas atas apa yang diberikan kepada orang-orang kepada saya dan keluarga saya. Hati merasa sudah plong. Keluarga saya dibantu banyak orang, maka sudah sepatutnya saya juga harus bisa membantu banyak orang juga. Saya merasa sudah tidak punya hutang.

Namun, perasaan bersalah itu kemudian muncul. Melalui email, seorang kawan mendadak mengirimkan pesan dan menanyakan tentang kemungkinan bagi saya untuk mendonorkan plasma konvalesen. Ia mengatakan bahwa bapaknya saat ini tengah dirawat dan sangat membutuhkan donor plasma konvalesen.

Batin saya langsung bergejolak. Saya seharusnya bisa membantu kawan saya itu untuk mendonorkan plasma konvalesen saya. Namun sial, saya tak bisa. Pertama, saya bahkan tak tahu apa golongan darah saya. Kedua, berat badan saya hanya 46 kilogram, padahal syarat yang disebutkan oleh PMI untuk bisa menjadi donor plasma konvalesen adalah berat badan minimal 55 kilogram. Dan yang terakhir, kesembuhan saya bahkan belum menginjak usia dua minggu, sehingga seandainya saya bahkan berbobot lebih dari 55 kilogram, saya tetap tidak boleh mendonorkan plasma darah saya.

Saya pun menjelaskan hal tersebut kepada kawan saya. Sungguh, saya balasan berisi penjelasan tersebut dengan perasaan yang amat getir. Perasaan bahwa saya ternyata belum cukup lunas untuk bisa menuntaskan hutang saya kepada orang-orang.

Maka, sebagai gantinya, saya berjanji akan membantunya semaksimal mungkin dalam menyebarkan informasi terkait donor plasma konvalesen untuk ayahnya itu. Tak lupa saya mendoakan agar ayahnya bisa segera mendapatkan kesembuhan. Sungguh itulah bantuan selemah-lemahnya iman yang bisa saya berikan.

Sehari berlalu. Pesan itu kemudian berbalas. Dan sial, balasan dari dia sungguh membuat saya murung.

“Selamat malam Mas Agus, terima kasih atas responnya. Mau mengabarkan sabtu kemarin ayah meninggal dengan tenang di RS. Terimakasih atas niat baik yang diberikan Mas Agus. Saya sendiri pun juga tidak sempat ngetag njenengan di medsos. Semoga kita semua diberikan kesehatan selalu.” Begitu tulis kawan saya.

Membaca pesan yang pendek itu, hati saya remuk. Dada saya serasa dihantam oleh palu godam yang amat keras. Ada banyak ketidaksanggupan yang pernah saya alami, namun rasanya tak ada ketidaksanggupan yang lebih ingin saya umpati ketimbang ketidaksanggupan untuk mendonorkan plasma konvalesen untuk bapak kawan saya itu.

Sepanjang hidup, tampaknya saya tak pernah merasa semenyesal ini karena bobot badan saya kurang dari setengah kuintal.

Pada akhirnya, saya harus sadar akan satu hal. Kebaikan memang tak akan pernah impas.


BACA JUGA Siapkah Jika Suatu Saat Kita Sakit dalam Waktu yang Panjang? dan tulisan AGUS MULYADI lainnya.

Exit mobile version