Pengalaman Punya Panggilan Jembut

Gimana perasaanmu, punya panggilan buruk banget? Seperti teman saya yang ketika sekolah dipanggil dengan panggilan “Jembut”.

nama panggilan jembut

MOJOK.COSaat usia sekolah, sudah jadi kearifan lokal kalau orang punya nama paraban. Dan di antara yang terburuk adalah dipanggil “Jembut”.

Namanya Fathur Riza. Bagus. Sangat bagus. Dia kawan saya ketika masih di pesantren. Arti dari nama yang diberikan orang tuanya lebih bagus lagi, “Fathur” artinya anugerah (dari bahasa Arab) dan “Riza” artinya putra raja (dari bahasa Sansekerta).

Tak ada yang salah dengan itu. Sama sekali tidak ada yang salah. Kalaupun ada yang salah, ya itu datang dari teman-temannya satu kamar.

Riza dipanggil teman-temannya dengan panggilan “Jembut” di pesantren. Entah dosa apa anak satu ini, sampai punya panggilan paraban seburuk itu.

Karena jumlah santri di pesantren ada seribuan, dan itu artinya Riza tak bisa melawan ribuan santri memanggilnya dengan panggilan Jembut, ya mau nggak mau, Riza harus rela (sebenarnya ya nggak rela-rela juga sih) selama bertahun-tahun dipanggil Jembut.

Asbabul nuzul Riza dipanggil Jembut ini sebenarnya diawali dari sebuah kecelakaan kejadian sederhana.

Jadi ceritanya, pada suatu malam, Riza dan teman-temannya main kartu remi di kamar. Ya kamu tahulah, di pesantren main kartu itu dilarang—meski tanpa ada motif judi di dalamnya.

Singkat cerita Riza kena razia bagian keamanan pesantren tepat ketika masih main kartu. Hanya saja, karena kondisi kamar cukup ramai dan terjadi chaos ketika petugas keamanan pesantren masuk, akhirnya hanya satu dari terduga player remi yang digiring ke kantor pondok.

Nah, satu anak yang dibawa ke kantor pondok itu—sebut saja—namanya Sapto.

Karena saat itu santri-santri bandel ini masih angkatan pertama (baru masuk beberapa minggu di pesantren), Sapto tidak hafal betul nama teman-temannya. Sialnya, nama yang tidak dihafal Sapto itu adalah Riza.

Dan adegan goblok itu pun akhirnya terjadi ketika Sapto disuruh menulis nama teman-temannya yang tadi main kartu remi di atas secarik kertas oleh ustaz bagian keamanan pesantren.

Sapto menulis begini…

  1. Sapto
  2. Shofa
  3. Hanif
  4. Jembut

Lantas kertas itu diserahkan ke ustaz bagian keamanan pesantren untuk dilakukan panggilan resmi lewat speaker pondok. Suaranya menggelegar dan intimidatif.

“Perhatian-perhatian. Nama-nama santri berikut yang saya panggil, mohon segera datang ke kantor pondok. Sekarang! Shofa, Hanif, dan….”

Suara dari ustaz keamanan pesantren tiba-tiba menghilang dari speaker pondok.

“Heh, Sapto. Ini siapa nama yang keempat? Masak ‘Jembut’ begini?” tanya ustaz bagian keamanan.

Sapto yang sudah ada di “ruang tahanan” kantor pondok cuma memelas.

Ngapunten, Kang. Saestu kula mboten ngertos asmane. Biasane nggeh diceluk Jembut kaleh rencang-rencang kadose.” (Maaf, Kang. Serius saya tidak tahu nama aslinya. Biasanya juga dipanggil Jembut sama teman-teman soalnya).

“Kamu itu lho, enak saja ganti-ganti nama orang seenaknya. Nama itu doa, jangan diganti-ganti jadi panggilan aneh-aneh begini,” kata ustaz keamanan pesantren menasihati Sapto.

Injih, Kang.”

“Ya sudah, kamu ke kamar lagi, suruh temenmu yang dipanggil ‘Jembut’ itu ke sini juga,” perintah ustaz bagian keamanan pondok.

Sapto pun balik ke kamar dan membawa ketiga temannya.

Setelah Riza, Hanif, dan Shofa ikut Sapto ke dalam ruangan kantor pondok, ustaz keamanan pun memanggil nama keempat santri ini untuk dipastikan.

“Yang namanya Sapto?” tanya ustaz keamanan.

Sapto ngacung.

“Hanif?”

Hanif ngacung.

“Shofa?”

Shofa ngacung.

“Je, Jembut?” ustaz keamanan ragu-ragu, ada gestur menahan tawa di sela-sela suaranya.

Keempat orang itu saling celingak-celinguk bingung. Pasalnya, tak ada satu pun yang merasa punya nama itu. Hanya saja, karena Sapto, Hanif, dan Shofa sudah dipanggil, tentu saja Riza segera menyadari bahwa nama yang dimaksud adalah nama untuk dirinya.

Sambil ragu-ragu, Riza akhirnya ngacung pelan-pelan.

“Saya, Kang.”

Meledaklah tawa di dalam kantor pondok itu. Termasuk ustaz keamanan yang dari tadi sudah pasang galak itu.

Dan sejak saat itu lah, Riza pun akhirnya dipanggil Jembut di pondok pesantren selama tiga tahun berikutnya.

BACA JUGA Aneka Dasar Pemberian Nama Paraban dalam Pergaulan dan ESAI lainnya.

Exit mobile version