Pengalaman Bodoh dan Menyebalkan di Salon Kecantikan

MOJOK.CO Efek bersalon itu luar biasa: badan kinclong, kepribadian seakan ikut cemerlang. Padahal, ada setumpuk kisah di salon kecantikan yang sungguh menyebalkan.

Selain ada lima, berwarna-warni, dan meledak waktu warnanya hijau, salon adalah—eh tunggu sebentar, itu sih balon, ya? Hehe.

Baiklah, baiklah, mari kita ulangi opening-nya agar lebih proper.

Selain dikenal sebagai tempat potong dan cuci rambut, salon nyatanya mengundang sejuta misteri dan keajaiban lain. Salon kecantikan, misalnya, menyediakan perawatan yang lengkap, mulai dari perawatan rambut, wajah, hingga kaki dan tangan. Pokoknya, selain cuci-blow, kamu bisa juga mendapat kesempatan dipijit-pijit dengan layak dan menyenangkan, misalnya lewat treatment spa dan refleksi~

Saya sendiri bukan tipe mbak-mbak yang hobinya ke salon, tapi saya pernah beberapa kali ke salon kecantikan saking penasarannya. Ternyata, bagi manusia yang ‘udah-mandi-aja-syukur’ kayak saya, pergi ke salon kecantikan bisa menjadi pengalaman berharga karena… well, kapan lagi kita bisa melihat diri kita se-kinclong itu kalau bukan setelah perawatan ini-itu di salon, coba?

Tapi tetap saja, wahai Perempuan-Perempuan Sedunia: ketahuilah baik-baik bahwa salon kecantikan nggak melulu penuh dengan keindahan dan kenyamanan. Sebagaimana hidup orang dewasa yang keras dan menyesakkan, salon juga memiliki sisi embuh-nya tersendiri yang berisi pengalaman bodoh dan menyebalkan. Siap-siap aja u, jangan kesenengan dulu~

*JENG JENG JENG*

Pertama, potong rambut kependekan.

Entah ini adalah kutukan yang otomatis ‘nempel’ pada setiap individu sejak dilahirkan ke Planet Bumi atau bukan, tapi sekitar 97,53% manusia pasti pernah mengalaminya. Sebagian dari kita bahkan sampai bela-belain nunjukkin foto model rambut yang kita temui di Google, atau memilih model dari poster Top Collection yang ada di tembok salon, tapi tetap saja ujungnya bikin kita bertanya-tanya: hasilnya kenapa jadi pendek dan jelek banget di kepala kita dah???

Kalau sudah begini, rasanya hidup hanya bisa dilanjutkan dengan dua pilihan: 1) menangis sambil berpikir kita bakal pakai topi kayak apa di kelas atau di kantor tanpa dicurigai, atau 2) menangis sambil berharap rambut-rambut yang sudah bergeletakan di lantai itu bisa ditempelin lagi ke kepala.

Kedua, basa-basi kapster yang kadang nggak penting-penting amat.

Saya pernah pergi ke salon dan mendapat perawatan rambut. Kebetulan, rambut bagian depan kanan saya sedikit lebih tipis dibanding bagian manapun di kepala. Si kapster mengelus-elus rambut tersebut dan berkata, “Rambutnya tipis, ya, Mbak.” Saya mengangguk saja, agak awkward.

“Pasti udah nikah, ya, Mbak?” tanyanya kemudian. Saya melongo. “Eh, atau belum?” tanyanya lagi, mungkin merasa bersalah melihat saya yang langsung menganga.

Saya cuma meringis kecil sambil mikir dalam hati: apa hubungannya ‘rambut tipis’ sama ‘udah nikah’, sih??? Memangnya orang yang udah nikah itu bakal jambak-jambakan rambut sampai kepalanya hampir botak??? Terus kenapa juga si kapster bisa-bisanya nanya kayak gitu, padahal saya baru saja putus kemarin malemnya???

Sepanjang sisa waktu perawatan, saya yang insecure dan overthinking stadium 327.428 ini hanya bisa berpikir sedih: jangan-jangan saya kelihatan kayak ibu-ibu, ya, sampai dikatain udah nikah???

Ketiga, ditawarin ini-itu sampai kita tergoda.

Pernah nggak, sih, kita lagi enak-enak dipijitin kepalanya dan dibersihin rambutnya, waktu tiba-tiba si kapster dengan manisnya berkata, “Mau tambah vitaminnya, Mbak? Mau tambah serumnya, Mbak? Biar akar rambutnya makin kuat nggak cuma hati aja.”

Dasar manusia lemah, kita (hah, kita???) yang kelewat takjub dengan jenis pijitan kepala dan perawatan rambut ini pun berpikir dalam hati, “Ah, nggak papa kali, ya, tambah vitamin atau serum, toh buat diri sendiri,” sebelum akhirnya berkata dengan mantap, “Boleh, Mbak.”

Memang benar kata orang: ngomong itu jauuuuuuh lebih gampang daripada melakukan aksi. Nyatanya, pembuktian bakal kita hadapi di hadapan mbak-mbak kasir. Dari harga awal yang cuma sekian ribu, siap-siap saja untuk melihat angkanya melonjak, sampai-sampai kita bersyukur sudah membawa uang lebih karena—kalau nggak—kita bakal cuma bisa senyum-senyum nggak jelas sambil meratapi kebodohan.

Keempat, menyadari bahwa beberapa salon kecantikan mengharuskan kita menggunakan pakaian khusus.

Kenapa ini bodoh dan menyebalkan? Karena, faktanya, tak semua dari kita (hah, kita???) siap mental menghadapi pakaian khusus yang kebanyakan berupa kemben ini. Ya maksud saya, kemben itu kan… kemben. Semacam kain yang cukup mengekspos bagian tubuh dan, ya ampun, malu, Kak, malu!!!

Kalau salonnya khusus perempuan, sih, saya rasa nggak papa. Tapi di sebuah review, saya pernah membaca seorang klien di salon kecantikan yang akan melaksanakan spa, justru harus dikejutkan dengan kemunculan petugas kebersihan laki-laki di ruangannya.

Monmaap, nih, gimana ceritanya ada laki-laki bertebaran bebas di salon khusus perempuan???

Kelima, merasa sangat cemerlang setelah perawatan, sampai-sampai rasanya ingin datang lagi setiap hari.

Coba, deh, luangkan waktu me time seharian penuh dan ikuti segala perawatan yang tubuhmu butuhkan: body spa, manicure, pedicure, refleksi, hair spa, hingga blow dry. Selesai perawatan, kamu bakal merasa menjadi orang yang baru, orang yang jauuuh lebih menarik yang—diam-diam kamu yakini—bakal bikin semua orang yang menolakmu menyesal setengah mati.

Ya, Saudara-saudara, sehebat itulah efek bersalon. Rasanya, badan langsung kinclong, kepribadian pun seakan ikut cemerlang. Dengan segala ilusi perawatan tersebut, saat menghadap kaca dan melihat bayangan sendiri, kita pun (hah, kita???) langsung berencana bakal kembali ke salon ini sesegera mungkin.

Hadeeeh, dasar budak penampilan yang nggak inget isi dompet dan UMK Jogja!!!

Exit mobile version