Pengakuan Orang Dalam pada Seleksi CPNS 2021 atas Dugaan Manipulasi Nilai

Alasan kampus lebih condong menerima dosen tidak tetapnya yang sudah mengajar, ketimbang orang baru dalam Seleksi CPNS 2021 kadang bisa dimengerti lho. Tapi….

Cerita Kakek 67 Tahun Penjual Buku Panduan Tes CPNS, Saksi Tangis Para Lulusan UGM Pemburu Gelar Abdi Negara.MOJOK.CO

Ilustrasi Cerita Kakek 67 Tahun Penjual Buku Panduan Tes CPNS, Saksi Tangis Para Lulusan UGM Pemburu Gelar Abdi Negara (Mojok.co)

MOJOK.COSebagai “orang dalam” saya beranikan diri untuk menanggapi soal dugaan manipulasi nilai pada tahap SKB Seleksi CPNS 2021 yang viral di Twitter itu.

Pengumuman seleksi CPNS 2021 baru keluar beberapa hari yang lalu. Ada yang kecewa ada yang gembira dengan hasilnya. Namun, di antara itu semua ada pula yang kecewa karena merasa jadi korban manipulasi dalam seleksi CPNS 2021 terutama pada tahap Seleksi Kemampuan Bidang (SKB).

Salah satunya datang dari thread ini:


Saya mendapat kiriman thread ini dari seorang teman. Tentu saja, tudingan manipulasi ini juga sedikit banyak jadi menyentil saya. Maklum, saya kebetulan merupakan peserta CPNS 2021 juga, pada formasi yang kebetulan sama pula (baca: dosen untuk PTN) namun beda kampus dan beda kota.

Bagi saya, apa yang dikeluhkan oleh akun @alhrkn itu bagi orang awam bisa menciptakan dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, ada yang sepakat dengan tudingan indikasi kecurangan dalam seleksi CPNS 2021 itu. Sebab, kalau dilihat dari selisih nilai-nilainya, itu semua terlalu aneh kalau disebut “normal”.

Kemungkinan kedua, ada yang merasa akun @alhrkn hanya mengutarakan rasa sakit hati saja karena tidak diterima sebagai dosen PNS. Meski untuk yang kemungkinan kedua ini, saya yakin tak bakal banyak juga jumlahnya.

Tudingan akun @alhrkn memang tidak datang dari ruang kosong. Pesaingnya dalam seleksi CPNS 2021 dalam tahap SKB adalah seorang dosen luar biasa (DLB) atau dosen tidak tetap di kampus tersebut.

Seseorang yang menurutnya mendapat keuntungan dengan nilai yang dikatrol gila-gilaan, sedangkan dirinya (yang merupakan peserta terbaik dalam SKD) mendapat nilai begitu jeblok pada tahap wawancara dan microteaching.

Dalam hal ini saya sangat bisa mengerti posisi keduanya. Posisi peserta yang gagal, sekaligus juga posisi peserta yang akhirnya lolos.

Kenapa begitu? Karena posisi saya sama dengan orang yang lolos itu.

Sebelum Anda mau mencaci-maki saya, biarkan saya jelaskan dulu situasinya.

Jadi begini. Saya merupakan dosen tidak tetap selama 4 tahun di sebuah kampus yang mana saya juga mendaftar seleksi CPNS 2021 kali ini. Formasi dan kebutuhan yang dibuka dalam seleksi kali ini kebetulan sama persis dengan posisi saya mengajar selama bertahun-tahun itu.

Oh iya, asal Anda tahu. Tidak setiap seleksi CPNS, kampus bisa seenaknya membuka lowongan untuk posisi-posisi tertentu. Kampus memang mengajukan tiap ada bukaan CPNS, tapi yang menentukan periode ini mana yang dibuka lowongannya, itu benar-benar keputusan dari pihak pusat. Kampus hanya terima-terima saja.

Jadi bisa saja, sebenarnya periode ini kampus mengajukan 10 bukaan untuk dosen komunikasi, ekonomi, sejarah, dan sebagai macam, tapi ternyata dari pusat hanya mengizinkan 5 atau hanya 2. Skala prioritas pun beda. Misalnya pihak kampus sebenarnya lebih butuh dosen komunikasi, tapi malah yang di-acc pusat justru bukaan untuk dosen sejarah.

Artinya, dalam hal bukaan lowongan seleksi CPNS, kampus tidak punya kuasa mutlak untuk menentukan siapa pengajar tidak tetapnya yang bisa mendapat peluang untuk “diangkat” jadi PNS.

Kalau soal kenapa formasi saya bisa sama persis dengan CPNS 2021 ini, ya saya berani sebut dengan sangat yakin itu kebetulan belaka. Sebab, kalau bukan kebetulan dan kampus berniat nepotisme sejak awal, seharusnya bukaan lowongan itu sudah terjadi di tahun kedua atau ketiga saya mengajar bukan?

Jadi kalau dibilang saya bisa mendaftar karena saya “orang dalam”, ya saya tidak bisa membantah itu. Wong nyatanya memang saya sudah ngajar di sana cukup lama jauh sebelum ada seleksi CPNS 2021.

Wajar pula rasanya kalau saya jadi kenal dengan hampir semua orang di fakultas tempat saya mendaftar ini (baik TU, Sekprodi, Kaprodi, sampai jajaran Dekan), bukan karena apa-apa, ya sesimple karena saya memang sudah mengajar bertahun-tahun di sana saja. Di setiap rapat atau acara, saya toh kerap terlibat dan bertemu dengan orang-orang itu.

Akan tetapi, keuntungan jadi “orang dalam” di sini harus saya garis bawahi. Bahwa keuntungannya ya sebatas saya jadi tahu bahwa ada informasi seleksi CPNS 2021 di formasi saya saja lebih dulu dari orang lain.

Selain itu, keuntungan lain saya sebagai “orang dalam”, adalah selama saya mengajar sebagai DLB pada akhirnya membuat saya punya pengalaman mengajar lebih baik—wabilkhusus di kampus tempat saya mengajar. Pengalaman yang tentu tidak dimiliki oleh kompetitor saya yang lain ketika saya sudah sampai pada tahap SKB seleksi CPNS 2021.

Selain pengalaman mengajar, saya juga sudah akrab dengan iklim kampus di sana. Kegiatan tahunannya, kegiatan hariannya, kegiatan mahasiswanya, bahkan sampai urusan njlimet bagian siakad maupun administrasi. Ini bekal pengalaman yang tidak bisa didapat kalau Anda ujug-ujug mendaftar seleksi CPNS 2021 untuk formasi dosen ke kampus yang tak Anda kenal sebelumnya.

Nah, itulah kenapa—harus diakui—selain soal kemampuan dari saya pribadi, pertimbangan dari pihak seleksi SKB ketika mewawancarai saya sampai tahap microteaching jadi lebih menguntungkan untuk DLB seperti saya.

Bukan semata-mata karena alasan nepotisme, tapi kemampuan saya di luar gambaran dari kertas (baik ijazah maupun nilai lainnya) sudah dikenal betul oleh pihak kampus. Tidak hanya itu, bahkan sifat-sifat saya secara personal pun sudah diketahui oleh semua orang di sana.

Toh, pengalaman kan bukan sesuatu yang instan, dan mungkin itu jadi pertimbangan penilaian yang cukup berpengaruh dari keseluruhan tahapan seleksi CPNS 2021—terutama untuk formasi dosen PNS yang memang membutuhkan pengalaman interaksi sosial.

Lagian, secara nalar sederhana saja, bukankah lebih baik bekerja dengan orang yang secara kompetensi sudah dikenal betul baik secara keseluruhan? Ketimbang mempertaruhkan risiko bekerja dengan orang baru yang kompetensinya baru diketahui dari atas kertas saja?

Tentu saja pendapat saya ini rawan sekali jadi bias kalau untuk menanggapi thread yang viral tadi. Soalnya posisi saya adalah pihak yang terkesan “diuntungkan”. Namun asal Anda tahu, pola seperti itu sebenarnya terjadi juga di ranah-ranah swasta, tidak hanya di urusan seleksi CPNS 2021.

Saya bisa tahu karena kebetulan sebelum mendaftar sebagai dosen PNS, saya adalah pekerja swasta selama 10 tahun lebih sembari mengajar di kampus tersebut sebagai DLB. Selama kerja di sektor swasta itu pula, saya tidak jarang dipasrahi tanggung jawab untuk menyeleksi dan menilai orang yang masuk ke perusahaan tempat saya bekerja.

Pernah ada orang yang punya kompetensi sangat bagus. Nilai-nilai di ijazahnya begitu luar biasa tinggi. Hanya saja ketika saya wawancara, orang tersebut tidak punya attitude yang baik.

Misalnya, belum apa-apa sudah menuntut hak macam-macam padahal belum tentu dia juga yang diterima. Apalagi kalau track record dia ternyata tidak baik, bukan secara kualifikasi kerja, tapi soal hubungan dengan orang lain.

Sebaliknya, ada juga pelamar yang nilainya di ijazah normal-normal saja, tapi attitude-nya baik sekali. Terlihat mau bekerja keras, dan dia mendapat rekomendasi dari beberapa teman yang saya kenal dekat. Sehingga bisa memberi gambaran orangnya bagaimana, sifatnya gimana, dan sebagainya.

Nah, sebagai orang yang menentukan siapa yang layak lolos, tentu saja saya memprioritaskan pelamar nomor dua. Sebab, dalam pekerjaan, kompetensi atau kualifikasi saja tak cukup.

Secara personal kamu akan dinilai juga; bisa tidak bekerja sama? Bisa tidak membangun relasi yang baik dengan pekerja lainnya? Kira-kira Anda punya tidak attitude yang berisiko merepotkan perusahaan ke depannya tidak? Itu semua faktor yang sama pentingnya (kadang-kadang justru lebih penting) ketimbang soal urusan nilai.

Aspek-aspek ini tentu saja tidak muncul dalam nilai di ijazah Anda, makanya alur rekomendasi dan wawancara itu merupakan tahap yang penting dan punya peranan yang sangat-sangat krusial.

Meskipun begitu, tentu saja, kedua pelamar yang saya jadikan gambaran tadi sebelumnya harus punya syarat kualifikasi minimal yang ditetapkan oleh perusahaan saya. Kalau kualifikasinya kelewat jauh, ya poin wawancara tidak bisa jadi patokan tunggal.

Misalnya, pelamar yang saya kenal sifat-sifatnya itu nilainya rendah banget, 40 lah misal. Terus yang tidak saya kenal nilainya 90. Ya tentu pilihannya tetap yang 90 yang diterima meski saya benar-benar tidak tahu personality dia kayak gimana.

Beda kasus kalau misalnya jaraknya mepet-mepet. Misalnya pelamar pertama kualifikasi nilainya 70 dan pelamar kedua nilainya 60. Tipis-tipis. Nah, kalau situasinya begitu, jelas pelamar kedua akan punya kans lebih baik.

Pengalaman itulah yang kemudian membuat akun @alhrkn itu cukup bisa saya pahami dan mengerti. Soalnya, pengalaman atau attitude tidak bisa dijadikan poin tunggal seseorang bisa diterima atau tidak. Itu memang penting, tapi seharusnya bukan sumber penilaian utama.

Soalnya, pada kasus seleksi CPNS 2021 untuk dosen PNS itu, menurut saya selisih nilai yang ditunjukkan itu lumayan keterlaluan jaraknya. Maksudnya, akun @alhrkn yang bikin thread itu punya nilai yang kelewat bagus di SKD, dan si pesaing yang ia duga dikatrol nilainya jauh di bawah.

Jarak keduanya pun 30-an poin! Itu banyak banget lho.

Hal semacam ini tidak terjadi pada kasus saya di seleksi CPNS 2021. Selisih yang terjadi pada saya dengan pesaing saya tidak banyak. Nilai kami hampir mirip (memang jarak poin di tahap SKD pesaing saya lebih baik, tapi selisihnya hanya 7 poin).

Ketika jarak masih tipis-tipis begitu, wajar kalau pesaing saya (yang sebenarnya adik kelas saya juga di kuliah master) tidak ngomel-ngomel. Karena memang secara kompetensi dan kualifikasi kami berdua mirip-mirip. Bahkan nilai kami di SKB pun tak terlalu jauh selisihnya.

Ini pemandangan yang sangat berbeda dengan protes akun @alhrkn. Bukan soal nilai pesaingnya yang sampai dapat 90-an (sejujurnya ini nilai yang tinggi banget sih, nilai saya saja cuma di kisaran 70-an), tapi lebih ke nilai yang diberikan penguji ke akun @alhrkn yang hanya dapat nilai 46 untuk wawancara dan 34 untuk microteaching.

Saya malah jadi penasaran, situasi macam apa yang membuat seseorang dalam tahap wawancara SKB bisa mendapat nilai sampai serendah itu? Masa iya, mas-mas ini menjawab pertanyaan sambil misuh-misuh? Atau dalam keadaan mabuk? Kan ya nggak mungkin banget rasanya.

Apalagi ini yang diwawancara masuk melalui jalur cum laude, jalurnya orang-orang pintar dan—menurut saya—justru punya kualifikasi lebih dari cukup untuk menjadi dosen. Satu-satunya dugaan yang bisa saya berikan kenapa akun @alhrkn mendapat nilai begitu rendah ya karena itu satu-satunya cara agar pesaingnya bisa “menyalip” total nilainya. Itu saja.

Terlepas dari itu semua, dalam seleksi CPNS 2021 setiap peserta sebenarnya diberi masa sanggah. Periode di mana protes semacam ini bisa dilayangkan secara resmi oleh yang bersangkutan. Hanya saja, barangkali karena sudah kadung sakit hati, pemilik akun @alhrkn memilih untuk tidak melanjutkannya.

Padahal, besar harapan saya (dan mungkin netizen lainnya), agar proses ini bisa dibawa ke situasi yang lebih resmi dan tidak hanya jadi viral di Twitter. Sebab kalau memang mas-mas itu yakin dirinya benar, lalu membiarkan praktik ini terjadi di sekitarnya begitu saja, rasanya kok sakit hati mas-mas itu bisa makin menular ke mana-mana ya?

Jangankan untuk orang yang tidak diterima dalam seleksi CPNS 2021 untuk formasi dosen PNS, saya yang keterima aja ngelihatnya ikut-ikutan dongkol kok.

BACA JUGA Saya Ikut CPNS 2021 sampai Tahap Akhir agar Tahu Sesulit Apa Jadi PNS dan tulisan soal PNS lainnya.

Penulis: Ahmad Khadafi

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version