Pilpres jelas sudah usai. Pemenang sudah ditentukan. Tinggal menunggu pelantikannya saja. Jokowi-Ma’ruf Amin secara resmi sudah ditetapkan menjadi presiden-wakil presiden terpilih, dan Prabowo-Sandi juga sudah ditetapkan menjadi runner-up (eh, maap, yang ini nggak ada penetapannya, ding).
Prabowo sebagai juara kedua (untuk tidak menyebutnya sebagai pihak yang kalah) sudah menyatakan diri menerima hasil pertandingan yang penuh dengan drama yang brutal dan keras. Pertandingan yang jika diibaratkan sebagai pertandingan sepakbola, niscaya adalah pertandingan yang pemainnya kayak Roy Keane dan Gattuso semua.
Banyak dari pendukung Prabowo yang secara ikhlas dan legowo menerima hasil Pilpres, pun tak sedikit yang masih tak terima dan merasa bahwa Prabowo-lah yang seharusnya menjadi pemenang.
Di sosial media, pertengkaran masih tetap terus terjadi, walau tentu saja tidak sekasar dan sekolosal sewaktu Pilpres masih berlangsung.
Para pendukung Jokowi tentu saja berada di atas angin. Mereka bisa punya argumen yang bikin para pendukung Prabowo mati kutu: “Mau kalian ribut bagaimana pun, presidennya tetap Jokowi, weeeeek!”
Sedangkan kubu Prabowo punya argumen yang, walau sebenarnya tidak kuat-kuat amat, tapi tetap bisa bikin pendukung Jokowi keki: “Halah, menang dalam Pilpres yang menimbulkan banyak korban kok bangga.”
Bagi para pendukung Prabowo, apa saja yang dilakukan oleh Prabowo diterima sebagai langkah yang bermutu dan dianggap jauh lebih baik daripada Jokowi secara telak. Pun sebaliknya, bagi para pendukung Jokowi, langkah Jokowi dianggap mampu membacok dan membabat habis langkah Prabowo.
Singkatnya, Pilpres sudah selesai, tapi perdebatan antar pendukungnya masih terus berlanjut.
Pada perspektif tertentu, perdebatan dan perseteruan antara keduanya sejatinya adalah hal yang tak perlu, sebab disadari atau tidak, masing-masing kubu pendukung punya keuntungan yang tidak dimiliki satu sama lain.
Pendukung Prabowo-Sandi tentu saja sedih karena pasangan capres-cawapres yang mereka dukung hanya manjadi juara dua (sekali lagi, untuk tidak menyebutnya sebagai pihak yang kalah). Namun di balik kesedihannya, mereka sebenarnya punya satu kemewahan yang mahal. Apa itu? Mereka tak punya beban moral atas kesalahan yang mungkin kelak akan diperbuat oleh Jokowi-Ma’ruf Amin.
Seperti yang sudah-sudah, selama lima tahun pemerintah periode pertama Jokowi, kita semua tahu bahwa ada banyak kebijakan dan keputusan pemerintah Jokowi yang dianggap buruk.
Nah, tiap kali pemerintahan Jokowi bikin salah, siapa yang kira-kira ikut menanggung beban moralnya? Yak, pendukung Jokowi, bukan pendukung Prabowo.
Hal tersebut juga berlaku terbalik. Pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin boleh senang karena jagoannya menang, tapi di balik kemenangannya itu, mereka juga patut was-was sebab kalau Jokowi-Ma’ruf Amin membuat langkah yang dinilai tidak strategis di mata publik, maka mereka bakal ikut menanggung bullyan-nya, “Presiden pilihan lo, tuh!”
Menjadi pendukung calon presiden yang menang itu berat. Senangnya cuma di masa-masa awal, tapi susahnya lima tahun.
Sungguh, betapa adilnya dunia ini. Semua diberikan rasa senang, lega, sedih, dan khawatir dalam porsinya masing-masing.
Jadi, mari berhenti saling menyalahkan. Mulailah menjadi fansnya Syahrini yang mau ngapain saja tetap cantik. Mundur cantik, maju juga cantik.