Membaca naskah Marselinus tentang meresahkannya eksistensi pak ogah di Jogja itu bikin saya manggut-manggut. Di banyak hal, saya setuju, eksistensi mereka itu sebenarnya tidak dibutuhkan. Tapi di sisi lain, sebagai orang yang menghabiskan hampir satu setengah dekade di Jogja, saya tak bisa mengamini semuanya begitu saja.
Maka dari itu, saya bilang eksistensi mereka itu sebenarnya tidak dibutuhkan. Realitasnya, pak ogah memang mau tak mau, masih ada karena memang masalahnya tidak hanya ada di mereka saja.
Tidak menyenangkan memang, harus mengakui bahwa sesuatu yang kita benci, nyatanya dibutuhkan oleh banyak pihak. Apalagi eksistensi pak ogah. Saya nggak bisa dibilang suka sama mereka, karena cara mereka mengatur lalu lintas itu sering kali nggak pas. Menyetop kendaraan itu ada caranya, ada aturannya. Sedangkan mereka belum tentu menguasai hal tersebut.
Eh, ini serius. Saya waktu SMA ikut eskul PKS, dan dapat pelatihan pengaturan lalu lintas dari kepolisian langsung. I know this shit very well.
Tapi saya yakin betul, jika pak ogah ini tidak ada tiba-tiba di Jogja, lalu lintas makin kacau. Bayangkan di zona putar balik ring road nggak ada mereka. bayangkan di perempatan Jembatan Merah Gejayan itu nggak ada pak ogah, kacau itu pasti.
Oh, kau kira tempat itu kacau karena mereka? Tentu saja tidak, Marko. Justru kekacauan yang kau lihat hari ini, bisa jadi lebih memuakkan kalau mereka tak ada.
Kenapa pak ogah di Jogja ada?
Kenapa pak ogah di Jogja itu ada dan berlipat ganda? Simpel, karena banyak titik di jalan yang berpotensi menyebabkan kemacetan, tapi tidak ada yang mengurai. Yang berwenang ya, tentu saja, polisi. Tapi, ada? Kalian lihat? Jarang kan? Nah.
Ketiadaan polisi di titik itu, akhirnya dilihat sebagai peluang oleh orang-orang yang menganggap ini ladang cuan. Meski ya orang-orang tersebut tidak melakukan tugasnya secara proper, dan secara power jelas kalah ketimbang polisi, tapi setidaknya mereka bisa membuat lalu lintas rodo mendingan.
Kalau kalian ngeluh macet, perlu dipikir juga, ya itu juga akan terjadi misal yang ngatur polisi. Sebab, agar jalur satunya bisa jalan, jalur lain harus distop. Nah, kalau distop, otomatis kemacetan akan terjadi kan? Lha yo jelas, liat sendiri berapa jumlah kendaraan di Jogja. Ini logic dasar sih.
Artinya, kalau kalian minta pak ogah hilang, syaratnya ya harus ada orang yang melakukan tugas mereka, which is, polisi. Nah, apakah jumlah polisi cukup untuk mengurai kemacetan?
Yo aku ra reti, rumangsamu aku kapolres.
Keluhan sudah sejak lama
Sebenarnya permasalahan dan keluhan pada pak ogah di Jogja ini udah dari dulu, sudah dari dekade lalu malah. Yang sering saya lihat adalah keluhan pada pak ogah di perempatan OB, titik macet paling jahanam di Jogja. Keluhan ini nggak cuman saya dengar sekali dua kali, tapi bertahun-tahun. Pak Ogahnya juga ada di sana sejak lama, saya masih inget 2016 lewat sana sudah ada yang ngatur.
Tapi, nyatanya, selama bertahun-tahun, titik tersebut nggak juga dicari solusinya. Padahal udah terkenal. Padahal di ICJ—grup julid yang sudah mati itu—sudah sering banget postingan keluhannya muncul. Tapi, baru sejak kapan itu ditangani? Baru 2022 akhir. Keluhannya sejak kapan tahu.
Jika perempatan paling jahanam, paling terkenal, paling sering dikeluhkan, baru ditangani setelah sekian lama, lalu kalian berharap yang lain akan ditangani begitu saja?
Artinya, masalah pak ogah ini sebenarnya kompleks. Menyalahkan pelaku sebagai penyebab utama saya rasa nggak bijak. Mereka hanya melihat peluang, dan nyatanya, mereka membantu, meski menyebalkan. Nyatanya memang kita dipaksa menerima realitas-realitas yang tidak ideal. Sebab yang ideal, selalu jauh dari apa-apa yang terlihat mata.
Sebagai penutup, saya hanya mau bilang, untuk sementara, terima saja keberadaan mereka. Sekalipun tak menyenangkan, sekalipun tak membantu. Tapi jangan sekali-kali berharap kalau mereka hilang, lalu para pengendara di Jogja bisa berlaku selayaknya manusia. Kau boleh optimis, tapi tahu batas.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Pengalaman Jadi Pak Ogah di Jalan Raya Purbalingga dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN
