MOJOK.CO – Di saat publik merasa tidak puas dengan komposisi menteri Jokowi, Wakil Presiden Ma’ruf Amin malah sampaikan ketidakpuasan yang sama. Lho? Lho?
Sudah beberapa minggu berjalan, pandangan kritis soal nama-nama menteri dalam Kabinet Indonesia Maju masih saja bermunculan dari publik. Uniknya, ketidakpuasan ini tidak cuma muncul dari arus bawah, tapi juga disampaikan langsung oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Dengan terbuka, Ma’ruf Amin membenarkan kalau dirinya juga tidak puas dengan struktur kabinet yang baru dibentuk saat ini. Lebih-lebih karena Nahdlatul Ulama tidak mendapat kursi Menteri Agama. Posisi langganan yang kali ini malah diserahkan ke Fachrul Razi, seorang purnawirawan Jenderal TNI. Pun dengan Muhammadiyah yang tidak dilanjutkan mengisi pos Kemendikbud.
“Ya itu kan biasa, memang itu bagian ketidakpuasan. Saya juga bilang, yang tidak puas itu memang banyak. Pak Jokowi juga tidak puas, saya juga tidak puas, NU tidak puas, Muhammadiyah tidak puas, karena memang belum semua bisa terakomodasi,” kata Ma’ruf Amin.
Lebih unik lagi, Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa ketidakpuasan ini ada hubungannya juga soal kuota. Semacam orang yang mau dimasukkan ke kabinet ada banyak nama, tapi jumlah kementeriannya cuma ada 34 dan jumlah wakilnya cuma 12. Akhirnya Jokowi dan dirinya harus pinter-pinter bikin strategi biar elite dan oligarki yang kecewa nggak banyak.
“Karena tempatnya memang tidak banyak, kan saya bilang yang tertampung itu yang ada garis tangannya. Jadi yang tidak ada garis tangannya tidak masuk atau mungkin ada garis tangannya tapi hilang, sering nyuci,” tambahnya bercanda.
Pernyataan semacam ini cukup mengejutkan. Bukan apa-apa, jika Wakil Presiden saja menyampaikan kalau dirinya nggak puas dengan komposisi menteri dalam kabinetnya sendiri, lha memang yang menentukan nama-nama menteri Jokowi kemarin itu siapa?
Meski begitu, harus dipahami bahwa pernyataan Ma’ruf Amin seperti memberi petunjuk kuat kalau keputusan pemilihan menteri pada praktiknya bukanlah hak prerogatif presiden—lebih-lebih pada periode sekarang. Hal ini sebenarnya juga sudah diketahui publik sih.
Aturan soal pemilihan menteri merupakan hak prerogatif presiden itu sebenarnya cuma kalimat pemanis di undang-undang saja. Pada praktiknya mah memang harus ada negosiasi dengan kepentingan partai pengusung dan koalisinya. Nggak bisa benar-benar seenak udelnya presiden.
Paling tidak, kalau kita berkaca ke belakang, hanya Presiden Gus Dur saja yang pernah melakukan amanat undang-undang ini dengan brutal. Dan hasilnya? Hayaaa tentu saja Presiden Gus Dur saat itu terus dimakzulkan oleh DPR. Karena ya alasan klise saja: Gus Dur ogah bagi-bagi kekuasaan.
Pernyataan Ma’ruf Amin juga menunjukkan kalau blio terlalu jujur terkait apa yang dirasakannya. Kalau cuma bicara mengenai publik yang tidak puas, ya mau seideal apapun nama-nama menteri Jokowi, sudah pasti ada saja pihak yang tak puas. Tapi kalau bicara dari perspektif jabatan blio sebagai Wakil Presiden, pernyataan itu kan malah bisa bikin banyak orang resah.
Ya iya dong, ketika rakyat mau mengeluh soal nama-nama menteri, lha kok Wakil Presidennya juga sama-sama ngeluh tidak puas. Lha memang dulu waktu nunjuk menteri, Presiden harus nunggu ACC dari siapa aja, kok bisa-bisanya merasa tidak puas juga tuh?
Baru dipilih lho ini, kerja juga belum lama. Kalau tidak puas karena udah kerja satu-dua tahun sih wajar. Kali aja baru ketahuan kalau kinerjanya nggak optimal ya kan? Lha kalau baru ditunjuk barang beberapa minggu kok udah dikeluhkan, itu artinya sejak awal sudah ada perbedaan antara apa yang diinginkan Presiden dengan nama-nama yang akhirnya ditunjuk.
Pertanyaan lanjutannya, tangan pemberi ACC nama-nama menteri ini sekuat apa kendalinya terhadap Presiden dan Wakil Presiden? Ya kan nggak mungkin dong kalau cuma soal menunjuk nama-nama doang. Sudah pasti ada pengaruh juga dalam bidang kebijakan strategis di tiap kementerian.
Meski begitu, dalam hal ini barangkali ada dua kemungkinan kenapa ketidakpuasaan ini disampaikan secara terbuka ke publik oleh Wakil Presiden.
Pertama, Ma’ruf Amin memang ingin jujur saja. Merasa dirinya juga sama seperti kebanyakan rakyat yang tidak puas dengan nama-nama menteri Jokowi. Kedua, Ma’ruf Amin memang belum cukup punya pengalaman menjadi pejabat negara. Terutama soal kemampuan memilih mana yang perlu disampaikan dan mana yang tidak.
Memang benar sih, blio pernah menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode 2007-2014. Hanya saja saat itu kan jabatan yang diemban Ma’ruf Amin bukan jabatan struktural. Circle-nya masih di luar kekuasaan gitu.
Nah, sedangkan menjadi pejabat negara secara langsung ya baru diemban sekarang ini. Nggak main-main, sekelas Wakil Presiden lagi.
Jika biasanya, orang yang berposisi sebagai Wakil Presiden selalu jago bermain-main dengan diksi ketika berhadapan dengan publik, tapi sepertinya hal itu tak tampak dari Ma’ruf Amin. Kan bisa aja sih bilangnya ke publik kayak gini, “Ya wajar kalau publik tidak puas, tapi saya kira ini komposisi menteri yang sudah sangat ideal.”
Tuh lihat. Datar. Normatif. Aman. Benar-benar khas pejabat negara.
Beda dengan pernyataan Pak Ma’ruf Amin. Apa yang dirasakan di hati, ya dihajar saja sampaikan ke publik. Benar-benar tanpa tedeng aling-aling.
Yah cuma bisa berdoa saja sih, semoga panjenengan nggak ditegur Presiden karena pernyataan ini.
Eit, tunggu dulu, emang Jokowi berani negur? Eh.
BACA JUGA Rahasia Ketenangan Kiai Ma’ruf Amin saat Debat Cawapres atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.