Oh Wow, Jiwasraya Pernah Jadi Sponsor Manchester City pada 2014

manchester city gagal bayar klaim premi pelanggan nasabah jiwasraya investasi kapitalisme nilai lebih pengantar marxisme mojok.co

manchester city gagal bayar klaim premi pelanggan nasabah jiwasraya investasi kapitalisme nilai lebih pengantar marxisme mojok.co

MOJOK.COBorok-borok masa lalu Jiwasraya dibongkar satu per satu. Salah satunya dengan jorjoran mengeluarkan biaya marketing untuk membayar jasa klub sepak bola Manchester City.

Peserta asuransi Jiwasraya tentu akan kesal sekali mendengar informasi yang disampaikan Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga ini. Pada 2014, BUMN ini dengan jemawa dan sok kaya memutuskan memakai jasa Manchester City untuk rebranding perusahaan yang saat itu baru bikin logo baru.

Peristiwa ini jadi tidak membanggakan karena pada saat itu, Jiwasraya baru saja melunasi utang lama perusahaan sebesar Rp6,7 triliun.

Pendek cerita, di tahun 2013 Jiwasraya membanggakan diri berhasil menjadi perusahaan yang sehat dengan pendapatan yang naik sehingga utang-utang bisa dilunasi. Tapi ternyata, yang terbongkar baru-baru ini, uang banyak mendadak itu berasal dari premi peserta produk asuransi JS Saving Plan atau JS Plan.

Membingungkan ya? Saya coba sederhanakan.

Tahun 2013 mundur, Jiwasraya punya utang dan butuh uang segar. Lalu di tahun itu juga Jiwasraya membuat produk asuransi sekaligus investasi bernama JS Plan yang bunganya sangat tinggi, di kisaran 9-13%.

Untuk ikut asuransi, orang harus membeli polisi seharga Rp100 juta sampai Rp5 miliar. Premi JS Plan ini ternyata bisa terkumpul sangat banyak dan dipakai untuk membayar utang. Perusahaan seolah-olah sehat sampai-sampai ada pos anggaran untuk membayar endorse Manchester City.

Keputusan keuangan Jiwasraya ini tentu bisa dibilang gila. Anda bayangkan, Anda menitip uang 5 juta kepada saya untuk saya kelola (tanamkan) ke usaha angkringan. Saya berjanji setahun lagi uang itu akan saya kembalikan 5 juta + bunga 13% = lima juta enam ratus lima puluh ribu.

Sebagai manajer investasi, saya berharap usaha angkringan itu memberi saya untung katakanlah 20%. Jadi, selisih 20% dikurangi 13% itulah keuntungan saya yang asli.

Tapi dalam kasus Jiwasraya, uang 5 juta itu juga dihitung sebagai pendapatan. Makanya, kalau sekarang BUMN itu sekarat, daripada kasihan saya lebih ingin misuh.

Lebih jauh tentang kasus Jiwasraya, ulasan panjang lebarnya bisa di sini: Bagaimana Kapitalisme Finansial Bekerja dalam Kasus Jiwasraya.

Kini, setelah Jiwasraya dituntut beramai-ramai oleh pesertanya, sejumlah pihak mulai saling menyalahkan.

Pertama, Kementerian BUMN saat ini menyalahkan bunga tinggi produk JS Plan yang membuat perusahaan harus menginvestasikan dana di saham berisiko. Kemudian ditambah kebijakan ngawur memakai jasa Manchester City padahal keuangan perusahaan belum stabil.

Kedua, mantan direktur keuangan Jiwasraya periode 2008-2019 Hary Prasetyo kesannya menyalahkan OJK dan BPK karena mengiyakan keputusan investasi Jiwasraya di saham berisiko.

“Kalau saya mau beli, kalau kita mutuskan untuk beli. Beli (saham) blue chip deh. Wah, sangat senang saya. Nggak usah repot-repot, Pak. Beli blue chip selesai. Tapi cukup nggak uang kita waktu itu?” ujar Hary saat diwawancarai Detik.

Tapi saham blue chip atau saham first liner atau saham perusahaan mapan yang fluktuasinya rendah sehingga lebih cocok untuk investasi jangka panjang diakui Hary tak bisa memberi pemasukan besar dalam waktu singkat. Padahal kita ingat, Jiwasraya punya produk dengan bunga tinggi.

Oleh karena itu ia membela diri, keputusan membeli saham berisiko alias saham gorengan alias saham yang tingkat fluktuasinya tinggi sudah diiyakan oleh BPK dan OJK. Jadi, jangan nyalahin Jiwasraya dong. “Bahkan kita sampai tanya ke OJK, mana saham yang boleh dan tidak boleh dibeli. Jadi bukan yang ugal-ugalan yang investasi yang tidak terukur. Terukur, Pak!” ujarnya.

Ketiga, Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief menuding Menteri BUMN Erick Thohir harus ikut bertanggung jawab karena ada modal Jiwasraya yang ditanam di perusahaan pribadi Erick.

Menurut Kementerian BUMN yang sekarang, masalah Jiwasraya sudah terakumulasi sejak 2006. Kini aset Jiwasraya total bernilai Rp23,26 triliun, sementara utangnya mencapai Rp50,5 triliun yang mana Rp15,7 triliun adalah utang polis JS Saving Plan yang jatuh tempo.

Gempar kasus gagal bayar klaim oleh BUMN asuransi Jiwasraya membuat saya sejenak merasa beruntung selama ini tidak pernah punya asuransi selain Askes/BPJS Kesehatan. Tapi, sejenak kemudian saya merasa semakin pusing membayangkan betapa repotnya hidup di alam kapitalis.

Apalagi baru beberapa minggu lalu saya menonton film tentang skandal Panama Paper berjudul The Laundromat. Film ini menyinggung perusahaan asuransi bodong yang mana perusahaan asuransi diasuransikan ke perusahaan asuransi yang mengasuransikan diri ke perusahaan asuransi lain. Bingung, iya. Mules juga iya karena di berita internal ini, Jiwasraya mengklaim mereasuransikan diri ke perusahaan asuransi lain di Amerika Serikat tanpa menyebut nama perusahaannya.

Rasa-rasanya, semakin modern zaman, semakin kompleks juga masalah hidup. Nggak punya uang, bingung. Punya uang, malah makin bingung.

BACA JUGA Mengenal Lo Kheng Hong, Raja Investasi Saham Indonesia atau artikel menarik lainnya di rubrik POJOKAN.

Exit mobile version