Obrolan Sederhana Tentang Jengkolan dan Sakit Mental

jengkolan

Membicarakan makanan yang sangat kita suka dengan orang yang juga menggemari makanan tersebut tentu saja adalah hal yang menyenangkan. Ada banyak ilmu baru yang saya dapatkan.

Dan itu yang saya rasakan saat kemarin bertemu dan ngobrol banyak tentang dunia jengkol dengan Alfi Malimbak Sati, seorang perupa yang namanya begitu mintilihir di dalam jagad senirupa.

Kami berbincang di rumah Mas Alim, seorang dokter pilih tanding kebanggaan umat Muhammadiyah.

Mas Alfi yang asli Lintau itu ternyata adalah penggemar berat jengkol, sama seperti saya.

Sejak kecil, saya sudah menggemari sayur jengkol. Rasanya, baunya, kekentalan kuahnya, ah… rasanya tak ada sayur lain yang lebih indah daripada sayur beraroma naga ini.

Setiap musim jengkol tiba dan stoknya mudah didapatkan di pasar, saya hampir selalu meminta ibu saya untuk memasak sayur jengkol.

Nafsu saya pada jengkol senantiasa terjaga. Ia tak pernah tergeser dari daftar pemuncak klasemen sayur kesukaan saya, posisinya dibuntuti ketat oleh sayur kulit melinjo, dan sayu kangkung.

Namun, setelah beberapa waktu yang lalu saya mengalami jengkolan yang sakitnya minta ampun itu, saya terpaksa menggeser jengkol dari daftar klasemen.

“Salah satu sebab jengkolan itu karena kamu makan jengkol sambil diselingi minum air,” kata Mas Alfi yang memang sudah punya pengalaman panjang dalam dunia perjengkolan. “Jadi teknis makannya seharusnya dimakan dulu sampai habis, baru minum air putih.”

“Lho, itu ngaruh, tho, Mas?”

“Ngaruh sekali.”

“Nah, kalau mau makan jengkol itu, bisa juga diawali dengan minum teh dulu, itu bisa menetralisir asam jengkolit,” terangnya.

“Eh, itu kamu sudah sampai tingkat keluar tepungnya di ujung penis?” Tanya Mas Alfi.

“Sudah, Mas. Perih sekali kalau pas kencing. Tapi yang lebih menyiksa itu rasa sakit di perut. Rasanya menyiksa. Perut serasa digiling tanpa berhenti.”

“Kalau sudah begitu, satu-satunya cara mengurangi sakitnya ya dengan banyak minum soda, bisa Sprite, bisa Fanta. Soda itu menetralisir asam.”

“Iya, Mas. Kemarin itu saya sembuhnya juga begitu. Diglonggong Fanta.”

Pengalaman kena jengkolan beberapa waktu yang lalu yang sampai membuat saya dibawa ke Sardjito memang membuat saya jadi trauma dengan jengkol. Maklum, sepanjang saya hidup, baru kali itu saya kena jengkolan. Selama ini saya mengira tubuh saya sudah punya semacam antibodi dengan jengkol, sehingga saya tak mungkin bisa kena jengkolan.

“Lha memangnya pas kamu kena jengkolan itu, kamu makan jengkolnya berapa, Gus?” tanya Dokter Alim penasaran.

“Satu kilo, Mas. Saya gado sendiri.”

“Woooo, lha edan itu namanya.”

“Saya itu niatnya bawa jengkol sekilo ke kantor, karena ada dua kawan saya yang juga doyan jengkol. Eh, tapi pas itu kok ndilalah dua kawan saya itu nggak masuk, jadinya ya daripada nggak kemakan, akhirnya saya gado sendiri,” terang saya.

“Kalau itu ya memang salahmu, Gus,” timpal Mas Alfi. “Sekuat-kuatnya orang dengan jengkol, tapi kalau makannya satu kilo, dan digado sendirian, yo bakal remuk.”

“Bener, jengkolanmu itu memang karena kamu sendiri yang kebangetan,” sahut Mas Alim.

“Ya gimana, sayang kalau dibuang, je, Mas.”

“Tapi sakit jengkolanmu itu sebenarnya hanya efek lanjutan, Gus” kata Mas Alim. “Ia diawali dulu dengan gejala sakit mental.”

“Maksudnya gimana, Mas Dok?”

“Iya, maksudnya, hanya orang yang sakit mental yang nggado jengkol satu kilo, sendirian!”

Exit mobile version