Moeldoko: Kita Harus Bangun Mental Penjajah. Lah, Bukannya Sudah Punya?

MOJOK.COMoeldoko kembali mengeluarkan pernyataan menarik, menurutnya orang Indonesia perlu membangun mental penjajah.

Setelah pernyataan mengenai internet di Papua diblokir nggak apa-apa karena zaman dulu nggak ada internet juga bisa hidup, kali ini Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko kembali mengeluarkan pernyataan yang lumayan bikin deg-deg-ser.

“Kita ini bangsa yang takut bersaing begitu hadapi orang luar. Kita harus membangun mental penjajah. Ngapain kita takut jadi orang seperti itu? Kita harus menghancurkan mental terjajah,” kata Moeldoko di sebuah acara di Jakarta pada Kamis (22/8).

Pernyataan ini tentu tidak bermasuk melanggar dari isi Pembukaan UUD 45 di bagian “…maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikadilan.”

Ya iya dong, sebagai seorang patriot yang menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke, tidak mungkin sosok sekelas beliau bermaksud Indonesia jadi negara penjajah betulan. Maksud beliau ini, sebagai bangsa, kita sebaiknya tak perlu merasa inferior.

Misalnya ini ada orang Papua terus merasa agak gimana gitu sama orang dari daerah lain, ya nggak usah begitu. Setiap anak bangsa itu setara. Semua memperoleh pemerataan pembangunan yang aduhai. Pemerataan pendidikan yang adil juga.

Nggak ada tuh ketimpangan di negeri ini. Semua daerah di pelosok bahkan sampai perbatasan negara pun benar-benar sejahtera dan hidup enak. Kalau ada yang bilang daerah di Indonesia ini ada bias pembangunan, ah itu kan mitos. Bikinan anak-anak aktivis pemecah belah bangsa aja itu mah.

Menurut beliau, maksud “mental penjajah” ini artinya memperluas jangkauan perekonomian Indonesia ke negara lain. “Kalau dia bisa mewarnai dunia luar lebih baik, itu yang saya katakan mental kita harus jadi mental penjajah. Nanti begitu dapat sesuatu bisa dibawa lagi balik ke Indonesia,” kata Moeldoko.

Tak perlu juga terlalu reaktif menanggapi pernyataan ini. Sebenarnya kalau mau dirunut dari sejarah, kita sudah punya mental itu. Paling tidak kita bisa mengacu pada bagaimana sejarah wilayah Indonesia diputuskan, terutama terhadap wilayah-wilayah di bagian Timur dari Hindia Belanda (sebelum bernama Indonesia).

Wabilkhusus sejarah ketika Mohammad Hatta menolak Papua Barat dimasukkan menjadi bagian dari Hindia Belanda saat rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei sampai 19 Agustus 1945.

Saat itu, ketimbang mengikuti suara mayoritas anggota BPUPKI, Hatta tidak melihat Papua punya ikatan historis dengan negeri Hindia Belanda. Meski disebutkan tanah Papua itu sangat kaya, Wakil Presiden Indonesia pertama ini khawatir kengotoan pemerintah memasukkan Papua bisa memunculkan prasangka buruk dari pihak luar.

Terutama karena Papua Barat tak punya ikatan historis yang kuat dengan wilayah Hindia Belanda atau masuk dalam diksursus sejarah Nusantara.

“Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ke tengah Laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?” tanya Hatta.

Menurut Hatta, daripada susah payah memasukkan Papua Barat sebagai bagian dari teritori negara lebih baik mengarahkan perhatian ke Borneo Utara dan Semenanjung Malaya (saat ini Malaysia). Menurutnya, kedua wilayah itu jauh lebih memiliki ikatan historis dengan Nusantara, sehingga sentiman negara luar akan berbeda ketika melihatnya.

Setelah diskusi alot dengan mayoritas anggota rapat BPUPKI, akhirnya usulan Mohammad Hatta ini ditolak karena kalah voting. Akhirnya negara Indonesia memiliki wilayah dari Sabang sampai Merauke seperti yang kita kenal sekarang.

Tapi kamu tak perlu khawatir, niat ekspansi (memperluas wilayah) yang diwanti-wanti oleh Mohammad Hatta ini ternyata tidak terjadi lebih lanjut—alias tidak sampai Kepulauan Salomon atau pulau-pulau di Samudra Pasifik. Nyatanya, setelah Papua Barat, cuma wilayah Timor Timur saja yang akhirnya ikut “bergabung” sebelum akhirnya keluar lagi dari wilayah Indonesia.

Jadi kalau Moeldoko bilang kita sebaiknya memiliki punya mental penjajah—terutama—dalam bidang ekonomi, sebenarnya sih sejak zaman dulu itu kita sudah punya mental itu. Ya iya dong, setelah lebih dari setengah abad kita ternyata bisa mewarnai dunia dengan lebih baik. Membawa semua kekayaan ekonomi itu dari Timur ke Barat, kembali ke “bumi pertiwi” dan bisa dinikmati oleh “semua”.

BACA JUGA Kisah-kisah Mohammad Hatta yang Membuat Kita Tertawa

Exit mobile version