MOJOK.CO – Mie ayam enak di Yogyakarta, atau di lokasi lain, bukan lawan yamie. Mereka berdua tidak untuk dibenturkan dan diperdebatkan, tapi dinikmati selagi hangat.
Sebagai seseorang yang didapuk secara sepihak oleh beberapa pemuda brengsek sebagai “Imam Besar” kelompok bernama Ziarah Mie Ayam, saya agak gelisah dengan masih eksisnya sebuah perdebatan. Sudah 2021, kok ya masih ada yang mencoba membela olahan mie dan ayam ini sebagai pengisi kasta tertinggi di babagan kuliner Yogyakarta jika dibenturkan dengan yamie.
Maksud saya, keduanya tidak untuk dibenturkan. Orang-orang sudah susah payah membuatkan “deskripsi pakem” untuk mie ayam dan yamie biar berbeda. Sebuah usaha yang sia-sia dan saya sendiri nggak begitu setuju.
Misalnya Prabu Yudianto, menulis di Terminal Mojok. Dia bilang bahwa yang dipandang sahih adalah pakem Wonogirian. Apa-apaan itu. Kok ya bisa-bisanya pakai istilah “dipandang sahih” seakan-akan gagrak Wonogirian adalah Standar Nasional Indonesia-nya olahan mie.
Memang benar kalau olahan mie dan ayam ini sudah lekat dengan daerah Wonogiri. Namun, bukan berarti kalau kuliner nusantara itu menetapkan standar Wonogirian sebagai “yang sahih”. Coba browsing lewat Google dan ketik “mie ayam berasal dari” dan yang keluar adalah “Indonesia”, bukan “Wonogiri”, “Klaten”, “Jawa Tengah”, apalagi “Yogyakarta”.
Artinya, kuliner luhur ini adalah milik semua lidah Indonesia. Masing-masing wilayah punya keragamannya masing-masing. Nggak jauh beda sama pecel. Ada yang pecel Madiun, pecel Semarang, sampai pecel rawon gagrak Banyuwangi.
Lalu soal yamie. Sekali lagi, Prabu Yudianto melakukan klaim yang berbahaya. Dia menulis bahwa “Namun kami bersepakat bahwa yamie adalah golongan lain dari mie ber-topping ayam.” Ini berbahaya karena seakan-akan yamie hanya “keturunan” dari mie ayam, yang sudah terlanjur dikenal sebagai kuliner bakmi dengan topping ayam.
Sebetulnya, keduanya punya akar yang sama, yaitu Cina. Bahkan yang kita kenal sebagai “mie” adalah turunan dari “bakmi”. Kata bakmi sendiri adalah identifikasi olahan mie menggunakan minyak babi. Kata bak itu punya arti ‘babi’. Namun, ketika diserap oleh budaya Indonesia, bak dalam bakmi diganti menjadi ayam. Maka, jadilah bakmi ayam, yang kini kita nikmati menggunakan penanda mie ayam.
Perbedaan keduanya terlihat mencolok lewat bentuk, lalu aroma yang tercium. Namun, yang perlu saya tegaskan di sini, yamie itu tidak hambar, seperti kata, lagi-lagi, Prabu Yudianto. Iya, orang Jawa yang kadung lekat dengan cita rasa makanan manis, bakal merasa yamie kurang “berasa”. Namun, bukan berarti “hambar”. Hambar itu tidak punya rasa, sedangkan yamie menyimpan rasanya sendiri. Itu dua hal yang berbeda.
Satu hal yang ingin saya katakan di sini adalah tidak ada gunanya memperdebatkan mana yang lebih enak atau orisinal. Keduanya punya akar yang sama, cuma beda varian saja. Seperti pizza, ada yang thin crust ala Neapolitan atau yang deep dish yang muncul di Chicago, Amerika, atau yang crust-nya super bantat seperti kreasi Pizza Hut.
Mie ayam enak di Yogyakarta, atau di lokasi lain, bukan lawan yamie. Mereka berdua tidak untuk dibenturkan dan diperdebatkan, tapi dinikmati selagi hangat.
BACA JUGA Rekomendasi Mie Ayam di Jogja Versi Info Mie Ayam YK dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.