MOJOK.CO – Menolak dagangan yang dijual orang dewasa, itu hal biasa. Namun, beda soal kalau penjualnya anak kecil yang tak ada sedikit pun aura nyolot pada wajahnya.
Saya sedang berada di sebuah bukit yang amat kesohor di Lombok saat itu. Bukit Merese namanya. Dari atas bukit itu, kita bisa menyaksikan matahari tenggelam dengan latar belakang Pantai Kuta yang indahnya setengah mampus itu.
Saking indahnya, sampai-sampai tidak mustahil saya bisa punya pikiran konyol untuk menceraikan istri saya lalu mengajaknya ke sana dan kemudian melamarnya lagi tepat di atas bukit itu.
Sama seperti pengunjung yang lain, di atas bukit itu, saya sibuk memotret pemandangan sambil sesekali ber-selfie. Tak ada yang berarti untuk mencari angle yang bagus di sana, sebab hampir semua sudut selalu layak dan indah buat dijadikan sebagai latar belakang untuk berfoto.
Belum juga sepuluh menit saya sibuk berfoto, seorang gadis kecil mendatangi saya. Ia membawa satu balok papan dengan gelang-gelang untir yang terikat di permukaannya.
Dari balok yang ia bawa, tentu saja saya sudah bisa menebak apa maksud dirinya mendatangi saya. Ia sedang berusaha menjajakan dagangannya.
“Gelangnya, Kak. Sepuluh ribu empat,” ujarnya sembari menunjukkan gelang-gelangnya yang beraneka warna dan penuh motif itu.
Sedari awal saya sebenarnya sudah meniatkan diri untuk memanajemen pengeluaran saya. Saya hanya akan membeli barang yang memang saya butuhkan sebagai oleh-oleh. Dan gelang, saya pikir, bukanlah salah satunya.
Namun, dasar saya lelaki lemah. Saya selalu susah untuk menolak anak kecil yang menjajakan dagangannya. Rasanya ingin saya mengumpat dalam hati, “Bangsat, kenapa yang jual mesti anak kecil, siiih? Kenapa bukan lelaki dewasa bertampang nyolot yang pasti bakal membuat saya ringan untuk berkata tidak?”
Sadar bahwa saya berada dalam posisi kritis, maka saya pun berusaha untuk menguatkan hati dan memperkokoh fondasi mental saya.
“Nggak, Dek, yang lain ya,” ujar saya sambil berusaha memalingkan diri darinya.
Namun sial, ia rupanya tahu betul bahwa lelaki di depannya itu adalah lelaki yang rapuh. Maka, ia pun masih tetap melancarkan serangan.
“Beli ya, Kak. Buat oleh-oleh, murah ini,” ujarnya.
Saya berusaha kuat. Saya sorongkan tangan saya untuk memberi tanda bahwa saya tidak berminat. Namun, gadis kecil itu tak mau menyerah untuk terus menggedor-gedor pintu hati saya.
“Buat penglaris, Kak.”
Saya melirik sedikit. Tak tampak sedikit pun ekspresi menyebalkan pada raut wajahnya. Hal yang semakin memperlemah fondasi mental yang sedari tadi sudah saya kuat-kuatkan.
Si gadis kecil masih terus menguntit saya, seakan berusaha keras untuk memastikan bahwa hati saya sedang menuju keruntuhan setelah tiangnya dihantam berkali-kali.
Pada akhirnya, saya tumbang juga. Gadis kecil itu menang.
“Ya, Dik. Saya beli empat ya,” kata saya sembari menyodorkan uang pas sepuluh ribu. Ia tampak bahagia. Ia kemudian mempersilakan saya untuk memilih gelang mana yang akan saya ambil.
Saya mengambil empat gelang yang saya anggap punya warna dan corak paling menarik di antara seluruh gelang yang ada.
“Yah, sekali-kali kalah nggak papa, lagian cuma sepuluh ribu ini,” batin saya.
Si gadis kecil kemudian pergi entah ke mana. Yang jelas, ia pasti sedang mencari jiwa-jiwa lain yang juga punya pertahanan yang lemah seperti saya.
Saya kemudian sibuk memotret pemandangan lagi, kali ini sembari mengevaluasi kekalahan yang baru saja saya alami.
Namun, belum juga tiga menit berlalu, seorang gadis kecil yang lain kembali mendatangi saya.
“Kak, tadi gelang temen saya dibeli, gelang saya dibeli juga ya, Kak, biar adil,” katanya. Di belakang si gadis kecil itu, saya melirik ada dua anak kecil lain berlari menuju ke arah saya.
Hae, modyar aku, hae modyar aku.
Saya pucat. Pertandingan yang sesungguhnya tampaknya baru saja dimulai.
BACA JUGA Terkadang Kita Memang Harus Terjebak dalam Rasa Iba yang Merepotkan dan tulisan Agus Mulyadi lainnya.