MOJOK.CO – Sebuah penelitian menyebutkan lebih banyak wanita berusia 18-34 tahun menyukai cowok gondrong dibandingkan mereka yang tidak suka cowok gondrong. A-apa???!!
Saya pernah berdebat dengan kakak saya soal seorang aktor bernama Ramon Y Tungka. Kala itu, Ramon kerap muncul dengan tampilan rambut gondrong. Kakak saya kesengsem setengah mati dan terus-terusan membicarakannya kala kita berdua lagi sama-sama gabut.
Saya, sementara itu, cuma bisa menggelengkan kepala setiap kali foto Ramon Y Tungka dihadapkan ke depan muka saya. Sebagai tipe anak kolot, konvensional, dan membosankan, saya jelas nggak tahan melihat cowok-cowok berambut gondrong. “Apa-apaan!” batin saya, “Lah wong rambut saya aja pendek dan sering dikatain mirip Dora, ini kenapa malah ada cowok yang rambutnya gondrong???”
Dulu, saat baru resmi menjadi anak kuliahan, saya melihat-lihat timeline di Instagram, lalu terkejut sendiri melihat sebuah foto cowok gondrong lagi nangkring di atas perahu, lengkap dengan caption supergalau tentang cinta. Bukan, bukan keadaan yang agak nggak nyambung blas itu yang bikin saya terkejut, melainkan objek foto di sana: teman SMA saya.
Saya shock, terguncang. Seingat saya, teman saya ini dulu berambut cepak dan rapi, serta selalu terhindar dari razia dadakan yang diadakan oleh guru BK. Tapi—oh my God, demam gondrong ini rupa-rupanya memang menyerang laki-laki mana saja, tanpa pandang bulu!!! Bahkan, kamu tidak harus menjadi Ramon Y Tungka atau Chicco Jerikho untuk menjadi cowok gondrong!!! Kamu hanya perlu menjadi…
…cowok!!!
*JENG JENG JENG*
Setelah menenangkan diri dan kekagetan tersebut, saya mulai menggeleng-gelengkan kepala lagi. Saat itu, saya langsung bersyukur memiliki kekasih yang rambutnya cepak. Bahkan—saya bangga sekali—laki-laki ini selalu rajin pergi ke tukang cukur ketika rambutnya sudah menyentuh telinga. Ah, idaman sekali. Kadang-kadang saya ikut ke tukang cukurnya, lalu merekam adegan cukur rambut ini untuk dimasukkan ke Instagram Story biar syahdu dan romantis, meski ujung-ujungnya putus juga. Hahaha.
Meski belum pernah menjalin kedekatan dengan cowok gondrong dan sudah dikhianati mati-matian oleh cowok-tidak-gondrong, saya tetap merasa agak-agak gimanaaaa gitu sama mas-mas yang rambutnya panjang. Dengan kesadaran penuh, saya rasa ketidaksukaan saya ini bertentangan dengan opini populer masyarakat—persis seperti ketidaksukaan saya pada kucing dan kebencian saya pada buah durian.
Sebuah situs kencan di luar negeri pernah membuat survei terhadap 67.400 wanita yang ditanyai soal pendapat mereka mengenai cowok gondrong. Hasilnya, 82 persen wanita berusia 18-34 tahun mengaku lebih suka cowok gondrong dibandingkan mereka yang tidak gondrong. Saat membaca hasil ini, saya bengong. Seriously, cuma ada 18 persen wanita yang sama seperti saya, nih???
Jangankan membaca hasil penelitian, ha wong dari 5 orang kru perempuan di Mojok, 4 di antaranya mengaku suka pada cowok gondrong—cuma 1 orang yang nggak: saya sendiri!
Merasa menjadi minoritas, saya terus membaca hasil penelitian tadi selanjutnya. Syukur, ternyata ada poin yang menyebutkan bahwa 37 persen wanita menyukai cowok gondrong. Sebelum saya sempat bersorak gembira, saya akhirnya menyadari bahwa responden wanita yang dimaksud adalah mereka yang berusia 45-50 tahun.
Umm, okay.
Tapi begini, loh, Mas-mas dan Mbak-mbak sekalian: meski menjadi kaum anti-mainstream, saya (dan cewek-cewek lain yang tergolong dalam kelompok-18-persen) punya alasan tersendiri mengapa harus merasa terganggu dengan kegondrongan yang tampak dari kepala para pria. Coba sini, duduk dulu dan berdiskusi~
Pertama-tama, saya bukannya membenci cowok mana saja dengan rambut gondrong; saya cuma nggak suka aja gitu sama rambut gondrongnya. Ingat: sama rambutnya. Kalau kemudian saya menyebut “nggak suka cowok gondrong”, sesungguhnya itu hanyalah untuk mempermudah saja, mylov~
Beberapa orang menyebut cowok gondrong cenderung tampak tidak rapi, jorok, dan tidak peduli penampilan. Saya mengangguk-angguk saja membaca pernyataan ini karena sedikit banyak merasakannya juga. Tapi, teman saya yang suka cowok gondrong melempar pembelaan:
“Kan rambut bisa dikucir!!!”
Ckckck, selain bisa dikucir, rambut juga bisa dicukur kan, Sayangku???
Kedua, saya nggak suka cowok berambut gondrong ini karena…
…bapak dan ibu saya superkolot, kuno, dan bersikap ‘sangat-orang-tua’ (YAIYALAH)!!!
Jangankan gondrong, ha wong dateng ke rumah pakai kaos saja sudah dipelototin dan dianggap nggak sopan, gimana kalau pakai rambut gondrong??? Lagi pula, karena malas berdebat dan juga ketularan kolot, saya pun lebih suka memilih jalur aman: menghindari kegondrongan-kegondrongan yang mungkin muncul dari gebetan incaran.
Ketiga, saya merasa tidak semua cowok cocok berambut gondrong.
Eits, eits, jangan sebel dulu membaca alasan saya yang ini. Dulu, saya pernah diprotes (mantan) pacar karena memakai lipstik berwarna merah muda dan membubuhi wajah saya dengan highlighter. Katanya, jenis make up itu nggak cocok buat saya.
[!!!!!!11!!!!!1!!!]
Dengan alasan yang sama, saya pun merasa, rambut gondrong ini memang seperti make up: bisa tampak cucok badai saat ‘dikenakan’ oleh beberapa pria, tapi justru bakal berbalik menjadi nightmare jika ‘dipakai’ pria lain. Untuk itulah, mylov…
…rambutmu dicukur aja, please, Mas, please!!!
Keempat, melihat hasil penelitian yang tadi disebutkan, ada 82 persen wanita berusia 18-34 tahun yang mengaku menyukai cowok gondrong, sementara 18 persen sisanya tidak. Dari jumlah ini, alasan lain pun muncul, yaitu…
…saingan saya pun berkurang!!!
Ya, ya, ya, daripada saya menaruh cinta pada mas-mas gondrong yang jadi idaman cewek-cewek satu RT, mendingan saya mencari cowok berambut cepak yang jadi idaman versi saya sendiri: lucu, lucu, lucu, nggak marah kalau dikasih tebakan garing, dan—tentu saja—tidak suka selingkuh.
Itu saja sudah cukup, mylov~