Sebagai seseorang yang bekerja di media, dan juga sebagai penulis, yang bukunya tidak ngetop-ngetop amat, yang uang royaltinya juga nggak banyak-banyak banget, saya ini pernah tergolong sebagai orang yang punya gaya hidup lumayan hedon.
Saya punya banyak pengeluaran yang, untuk tidak dibilang boros, terlalu berlebihan. Saya hampir setiap hari rutin nongkrong ke kafe langganan saya, rutin nonton seminggu dua kali, makan hampir selalu pakai go-food, nongkrong di bar live music seminggu sekali, belanja buku (yang pada akhirnya sering tidak saya baca), dan aneka pengeluaran lainnya. Itu masih belum termasuk pengeluaran kosan dan juga internet.
Oke, saya coba hitung kasarnya saja.
Kos-kosan sebulan plus listrik 800 ribu; nongkrong di kafe taruhlah minimal pembelian 20 ribu selama 20 hari sebulan, jadinya 400 ribu; nonton film di bioskop seminggu dua kali, biasanya weekdays, tiketnya agak murah, ya 35 ribu lah, dikali delapan jadinya 280 ribu; beli makanan nonton live music seminggu sekali dengan pengeluaran setidaknya 50 ribu, dikali empat jadinya 200 ribu; Makan via go-food sehari dua kali, sekali makan biasanya habis saldo 25 ribu, sebulan artinya 1,5 juta; paketan internet 400 ribu; belanja buku biasanya sebulan bisa 500 ribu, trus langganan photoshop, tempo, dll taruhlah 250 ribu; kebutuhan tetek bengek seperti sabun, shampo, minyak wangi, dan printilan-printilan lainnya taruhlah 200 ribu; jajan snack, cilok, cemilan, dll taruhlah 300 ribu; bensin 200 ribu.
Kalau ditotal secara kasar, pengeluaran hidup saya sebulan kok ya lumayan ngeri. 4.5 juta.
Saya tentu saja tak pernah membayangkan bahwa pengeluaran bulanan saya bakal bisa sebanyak itu. Pengeluaran yang saya pikir memang terlalu boros untuk ukuran gaya hidup Jogja.
Beruntung, gaji saya sebagai karyawan di Mojok, ditambah dengan uang royalti buku, proyek menulis, juga honor saya sebagai pembicara kalau diundang masih bisa mencukupi kebutuhan pengeluaran saya. Saya masih bisa menabung, walau tak banyak.
Saya tak tahu bagaimana gaya hidup yang cukup boros pada saya ini bisa muncul. Padahal dulu, sebelum jadi penulis, pengeluaran satu setengah juta saja per bulan saja rasanya sudah sangat keterlaluan.
Kesimpulan sementara yang bisa saya tarik adalah gaya hidup boros ini muncul seiring dengan makin bertambahnya penghasilan yang saya dapatkan.
Gaya hidup boros ini membuat saya jadi terlalu mudah untuk membeli sesuatu. Main ke pameran buku, lihat buku agak langka, beli. Main ke mall lihat hetset bagus, beli. Kena iklan tas di Instagram, bagus dikit, beli. Casing hape pecah dikit, ganti.
Saya sadar, jika terus dibiarkan, maka saya tidak akan bisa mengumpulkan uang yang banyak buat modal menikah sebentar lagi.
Dasar nasib mujur, semesta kemudian mempertemukan saya pada bisnis yang boleh dibilang menjadi titik balik hidup saya: membuka toko buku online. Toko buku online ini saya jalankan bersama pacar saya dibantu oleh dua orang karyawan.
Boleh dibilang, ini adalah pengalaman pertama saya berbisnis secara serius. Saya dituntut untuk bisa menjalankan neraca keuangan agar tetap baik, agar tetap bisa menggaji karyawan, agar pemasukan lebih besar ketimbang pengeluaran.
Jualan buku ternyata bukan hal yang mudah. Padahal tadinya, berbekal pengalaman sebagai seorang penulis yang lumayan lihai bikin caption, saya bisa dengan mudah menarik minat orang untuk membeli buku di toko buku saya. Ternyata tidak semudah itu.
Pernah toko buku yang saya jalankan ini benar-benar mencatat nol transaksi dalam satu hari. Benar-benar tidak ada yang beli.
Seiring berjalannya waktu, dengan berbagai manuver dan juga trial and error, toko buku online ini akhirnya berjalan lumayan kokoh. Yah, walau penjualannya tidak terlalu banyak. Sehari bisa lah menjual antara 10-20 buku. Kadang melonjak hebat kalau pas ada promo paketan dari penerbit.
Nah, keuntungan berjualan buku ini adalah sekitar 30-40 persen dari harga buku. Sepertiganya. Jadi misal, kalau harga bukunya 100 ribu, keuntungan yang saya dapat adalah sekitar 30-40 ribu.
Harga buku sekarang rata-rata 75 ribu, jadi keuntungan per buku yang bisa saya dapat setiap buku yang laku adalah sekitar 25 ribu.
Patokan ini benar-benar saya ingat dan ternyata ikut memengaruhi pola pengeluaran hidup saya. Sungguh.
Jadi, misalnya, kalau saya ingin makan nasi padang, habisnya 25 ribu, saya pasti berpikir, “Wah, saya makan habis 25 ribu,berarti hari ini harus bisa jual setidaknya satu buku biar impas.”
Begitu pula kalau saya mau nonton, misalnya akhir pekan, saya nonton bareng pacar, berdua tiketnya 100 ribu. Saat berangkat ke bioskop itu, saya pasti sudah mikir, “Wah, hari ini saya nonton, habis 100 ribu, itu artinya, hari ini, setidaknya, saya harus menjual 4 buku.”
Kalau pas ingin sekali merayakan sesuatu dengan beli pizza, misalnya, habis 150 ribu, maka saya juga akan langsung berpikir, “Perayaan ini harus ditebus dengan menjual 6 buku, biar impas.”
Hitung-hitungan 25 ribu itu benar-benar membuat saya jadi manusia yang lebih perhitungan dan lebih hati-hati dalam menerapkan pengeluaran.
Kata kawan sekaligus bos saya, Puthut EA, pemikiran seperti itu memang umum muncul pada pengusaha yang berbasis dagang. Dan itu bagus sebagai bagian dari kontrol pengeluaran.
Kini, gara-gara selalu ingat dengan angka 25 ribu itu, sekarang saya jadi jauh lebih hemat.
Saya nonton bioskop sudah nggak seminggu dua kali, tapi cuma sekali, lebih banyak nonton streaming. Saya juga sudah nggak setiap hari nongkrong di kafe, sekarang seringnya nongkrong di Warung Mojok, pesennya cuma jeruk anget, 4 ribu saja. Sudah jarang beli buku, cukup install aplikasi ipusnas dan baca buku online di sana. Makan juga sudah mulai jarang go-food, tapi beli nasi angkringan dekat kantor, tiga nasi sambel bandeng tiga bungkus plus tempe glepungnya enam, habisnya cuma 9 ribu, dua kali jadinya 18 ribu. Paketan internet juga mulai tidak sebanyak dulu, sebab sekarang mulai jarang keluar dan lebih sering cari wifi.
Boleh dibilang, pengeluaran bulanan saya sekarang bisa sangat ditekan, dari yang tadinya 4,5 juga menjadi sekitar 2 juta.
Benar apa kata banyak orang, salah satu cara untuk berhemat adalah dengan menjadi penjual.
Saya jadi mikir, laba 25 ribu saja bisa membuat saya jadi sangat hemat, bagaimana dengan mereka yang berjualan barang dengan laba yang lebih kecil, seribu rupiah, misalnya. Pasti jauh lebih hemat lagi.