MOJOK.CO – “The Gods Must Be Crazy” merupakan salah satu film komedi legendaris. Makin wangun karena ada bahasa unik di sana.
Dalam kenangan masa kecil saya, ketika harus mengingat satu film komedi terbaik ketika kecil, maka saya tidak akan menyebut film-film Warkop. Justru satu film yang muncul di kepala saya adalah The Gods Must Be Crazy (1980).
Mungkin karena film bikinan Jamie Uys ini ceritanya simpel sekali, jadi jauh lebih mudah diterima anak-anak ketimbang humor Warkop yang saat itu mulai banyak adegan cewek-cewek berbikini.
The Gods Must Be Crazy hanya cerita soal seseorang bernama Xi dari suku Bushmen San dari Gurun Kalahari. Suku ini diceritakan sangat terpencil dari dunia luar. Mereka tidak memiliki konsep kepemilikan dan tidak punya konsep uang.
Masalah bermula ketika ada botol kosong Coca Cola yang dilemparkan dari pesawat dan jatuh di sekitar pemukiman Xi tinggal. Pada mulanya, botol itu dianggap pemberian dari dewa (baca: Gods).
Lambat laun, orang-orang Bushmen San menyadari kalau ternyata botol kaca Coca Cola itu bisa digunakan untuk macam-macam. Dari dipakai sebagai alat kerajinan sampai dipakai untuk menghaluskan bahan makanan.
Karena fungsinya yang serba-guna, dan barangnya cuma ada satu, semua orang jadi berebut memilikinya. Pertengkaran pun terjadi. Konsep kepemilikan pun jadi muncul di situ dan botol Coca Cola itulah yang jadi sumber masalah.
Bersama para tetua suku, Xi pun merasa kalau dewa sedang gila, makanya dewa mengirim barang yang malah memecah belah sukunya.
Akhirnya, demi menyelamatkan harmoni di desa, Xi berencana membuang botol itu jauh-jauh sampai ke ujung dunia. Nah, dalam perjalanan menuju ke ujung dunia itu lah Xi menemui banyak sekali petualangan dan karakter-karakter baru.
Persentuhan antara budaya yang tidak kita kenal dengan budaya yang kita kenal memang menyenangkan sekali. Dan di situlah poin film ini diangkat. The Gods Must Be Crazy tidak hanya menyajikan komedi-komedi slapstick tapi juga ironi-ironi dunia modern.
Ya seperti konsep kepemilikan itu tadi. Ketika Xi bertemu dengan orang-orang modern di perjalanan, seperti Mister Styen, Xi malah menemukan betapa terbelakangnya orang-orang ini. Terutama dengan segala atribut yang dikenakan orang dari dunia luar itu.
Baju, topi, kendaraan, uang, dan macam-macam. Hal-hal yang justru memenjara kebebasan orang-orang modern.
Namun, salah satu hal paling unik dari film ini bukan di sana, melainkan pada penggunaan bahasa yang digunakan katakter Xi dan sukunya, yakni bahasa !Kung dengan dialek Jul’hoan.
Pada dasarnya bahasa !Kung (iya memang ada tanda seru sebelum huruf “K”) merupakan bahasa yang digunakan di Namibia, Botswana, Angola, dan dipercaya ada sebagian kecil orang Kongo juga.
Khusus di film The Gods Mustbe Crazy dialek Jul’hoan merupakan bahasa yang digunakan orang-orang dari suku di Timur Laut Namibia, Barat Laut Bostwana, dan saat ini diperkirakan hanya digunakan oleh puluhan ribu penutur saja di Namibia.
Saya sempat mau nekat untuk sebentar saja kepengin belajar memahami bahasa ini. Bukan apa-apa, penasaran saja. Tapi baru sebentar saja rasanya sudah mau meledak kepala saya. Dan karena saya ogah bingung sendiri, saya akan berbagi kebingungan ini dengan Anda.
Sejak 1969, bahasa ini sempat dibikin ortografi-nya, alias bahasa tulis yang sesuai ejaan (agar bisa dipelajari). Dan karena saking rumitnya, ortografi ini perlu pengembangan. Masing-masing pada tahun 1975, lalu tahun 1987 oleh Bible Society of South Africa, dan terakhir dikembangkan oleh Ju|wa Bushman Development Foundation pada 1994.
Ini Ortografinya yang terakhir (diambil dari sini):
Gimana? Sudah mau meledak belum kepalamu?
Bukan apa-apa ya, jangankan kita yang nggak konsen-konsen amat belajar antropologi dan etnografi, bahkan ahli antropolog yang pernah terjun ke suku dari Gurun Kalahari ini saja mengaku, “We don’t fully understand the words they’re saying.”
Bahasa (atau dialek) Jul’hoan seperti di film The Gods Must Be Crazy ini dalam pemahaman bahasa Barat, tak lebih seperti metafora abstrak dan seperti puisi daripada layaknya bahasa komunikasi sederhana.
Apalagi ada banyak konsepsi-konsepsi yang berbeda dalam kultur suku Bushmen San ini dibandingkan budaya manusia modern. Seperti soal konsepsi mata uang dan kepemilikan tadi, itu contoh mendasar yang membuat suku Bushmen San sangat berbeda melihat dunia ini bekerja.
Di kalangan sesama penonton The Gods Must Be Crazy, bahasa Jul’hoan memang terkesan lucu. Bahkan kadang untuk mengejek orang yang nggak jelas ngomong apa teman-teman saya sering meledek, “Kamu ngomong bahasa The Gods Must Be Crazy atau apa je?”
Anehnya, keanehan bahasa serupa tak muncul saat kita mendengarkan bahasa Elf pada film The Lord of The Ring, bahasa Dothraki dalam series Game of Thrones, atau bahasa Klingon dalam film Star Trek.
Padahal tiga bahasa fiksi itu nggak lebih aneh ketimbang bahasa Ju’hoan. Dugaan saya simpel, kita emang udah punya bias kolonialisme dalam alam bawah sadar ini. Bahwa apapun yang lahir dari Afrika, budaya aslinya, tradisinya, bahkan bahasanya selalu dikesankan lebih terbelakang.
Padahal kalau kita nonton film The Gods Must Be Crazy, kita akan menyadari ironi getirnya.
Bahwa justru manusia yang ngaku modern ini lebih saling gontok-gontokan, boro-boro perkara botol kaca Coca Cola… perkara pilpres aja bikin udah bisa bikin gontok-gontokan sampai mau perang saudara.
Padahal yang lagi gontok-gontokkan itu sama-sama lagi nggak pegang barangnya.
BACA JUGA Tradisi Begal di Sudan saat Buka Puasa dan Kecepatan Makan Orang Afrika dan tulisan soal Afrika lainnya.