Menemukan Kartini Rumah Tangga Bersama 10 Anaknya

MOJOK.COBisakah ibu rumah tangga dianggap sebagai representasi Kartini? Seperti seorang ibu yang rawat 10 anaknya dan kebetulan saya temui ini, misalnya.

Ketika hari Kartini tiba, sejujurnya saya kurang terkesima dengan gambaran bahwa emansipasi perempuan itu wujudnya harus berkutat pada perempuan karier. Dari perempuan karier di kelas bawah seperti jadi kernet atau kuli bangunan misalnya, atau perempuan karier kelas atas sebagai CEO perusahaan mentereng.

Dalam hati kecil saya, sering saya bertanya, memangnya ibu-ibu rumah tangga biasa nggak bisa ya dianggap sebagai representasi perjuangan Kartini? Iya, ibu rumah tangga yang nggak cuma konsen kerja ke luar rumah, tapi mencurahkan waktu dan tenaganya untuk merawat anak-anaknya di rumah.

Apa mereka tetap berhak untuk menjadi Kartini zaman sekarang tanpa harus paham teori-teori feminis yang ndakiknya nggak ketulungan itu?

Salah satunya seperti ibu yang pernah saya temui ini misalnya. Seorang ibu rumah tangga biasa, sama seperti ibu pada umumnya.

Jika ada yang sedikit beda dari ibu ini, barangkali cuma jumlah anaknya yang hampir menyamai jumlah Keluarga Halilintar, yakni 10 anak. Beliau merawat semuanya tanpa dibantu oleh pembantu rumah tangga.

Ibu ini mungkin juga tahu Kartini, kenal, pernah mempelajari di SR waktu mudanya, tapi ibu dari 10 anak ini tak pernah merasa menjadi representasi Kartini sepanjang hidupnya.

Teori emansipasi yang dibawa para aktivis itu luar biasa jauh di awang-awang sana, sehingga terlihat begitu menakutkan baginya. Saya tidak bisa menyalahkannya, mungkin teori-teori itu terlihat kurang praktis dengan segala macam praktik kehidupannya yang sudah hampir ¾ abad ini.

Apalagi representasi soal Kartini selalu dikaitkan dengan profesi-profesi hebat di luar sana. Tidak pernah ada yang merasa bahwa pekerjaan seorang ibu rumah tangga itu adalah pekerjaan yang luar biasa “mengerikan” beratnya.

Sudah tak pernah dibayar, 24 jam sehari 7 hari per pekan, tak pernah dapat prestise pula. Makanya saya sering bertanya, bukankah jenis pekerjaan semacam ini lah yang harus lebih dihargai? Bahwa pekerjaan inilah yang harusnya diperjuangkan nilai-nya? Bukan hanya memperjuangkan “bentuk-bentuk” pekerjaannya saja?

Dan menjadi jauh lebih pantas untuk dihargai ketika saya tahu betul ibu yang saya temui ini juga mengelola rumah tangganya, dengan 10 anaknya yang beliau rawat selama puluhan tahun.

Kalau menghitung jarak usia anak-anaknya yang—masing-masing—dua tahun. Artinya, dalam perhitungan saya, ibu ini selalu hamil pada puluhan tahun pertama pernikahannya. Dari era panas-panasnya Perang Dingin sampai era setahun sebelum runtuhnya tembok Berlin.

Dan dalam proses pekerjaan rumah tangga yang maha-berat itu, ibu yang saya temui ini juga selalu dalam keadaan mengandung anak berikutnya. Begitu terus. Sampai lahir anaknya yang terakhir.

Mendengar ceritanya, saya selalu yakin bahwa ibu ini seharusnya layak menjadi representasi dari Kartini sesungguhnya. Apalagi ketika mendengar ceritanya soal perjuangan kelahiran semua 10 anaknya.

Dengan sisa-sisa ketegaran yang masih menyala dalam sekam keriputnya, ibu ini bercerita bagaimana dirinya selalu melahirkan tanpa dibarengi sang suami. Tidak satu kali pun.

“Memang Bapak ke mana, Bu?” tanya saya, merujuk ke suaminya.

“Bapak takut darah. Saking takutnya, Bapak bisa pingsan kalau lihat darah.”

“Padahal semua lahir normal ya, Bu?”

“Iya.”

Anda bisa bayangkan sekuat apa seorang perempuan bisa melahirkan 10 anak, tanpa pernah ditemani oleh suaminya sendiri. Terlebih ini: dengan kelahiran normal semuanya.

Bahkan pada kelahiran anaknya yang ke-7, ibu ini melahirkan sendirian di atas kasur tanpa dibantu siapapun.

“Bapak memangnya lagi di mana, Bu?”

“Lagi cari keluar cari taksi, begitu balik, eh udah lahir,” ceritanya diselingi tawa.

Namun perjuangan itu tak berhenti sampai di sana. Di setiap kelahiran anaknya, itu artinya, akan ada beban berikutnya. Hal yang tak juga berhenti sampai anak pertamanya sudah cukup dewasa.

“Anak yang gede ngerawat yang kecil, begitu seterusnya,” ceritanya.

“Padahal era itu adalah era KB Orde Baru ya, Bu?” tanya saya cekikikan.

“Iya, ini juga KB, tapi Keluarga Berantai sampai 10,” ceritanya lagi.

Namun bukan berarti ibu ini tidak menyelesaikan pendidikannya. Setelah lahir anak ke-10, ibu ini akhirnya punya waktu untuk kuliah. Menyelesaikan pendidikan di STAIN Surakarta, lantas menjadi guru di SMP N 1 Yogyakarta, salah satu sekolah paling mentereng pada eranya.

Mendengar cerita itu, saya heran dengan kengototan ibu ini untuk tetap sekolah, kuliah, bahkan sampai akhirnya mengajar. Bagi saya, kengototan itu sangat tidak masuk akal, namun jawaban darinya sungguh di luar dugaan.

“Sekolah, kuliah, dan ngajar itu waktunya istirahat buat saya,” katanya.

Perlu waktu bagi saya untuk memahaminya. Sampai saya kemudian paham, mengajar dan bekerja di luar rumah menjadi waktu “istirahat” terbaik baginya. Sejenak berjarak dengan aktivitas yang sangat penuh dan tiada jedanya di rumah.

Sebuah jawaban yang seolah menampar saya. Ketika orang-orang seperti saya merasa di rumah adalah tempat paling tepat untuk istirahat lalu merasa bangga setengah mampus dengannya, namun bagi ibu ini, pekerjaan di luar rumah lah yang jadi tempat istirahat paling sempurna.

Hancur sudah berkeping-keping perasaan saya sebagai lelaki yang sudah bekerja. Sebab di mata ibu ini, pekerjaan saya dan para lelaki di luar sana itu cuma remeh-temeh, cuma alasan buat refreshing. Sebab pekerjaan yang sebenarnya adalah apa yang ada di dalam rumah.

Entah kenapa, jawaban ibu ini membuat saya ingat kembali kata-kata Don Vito Carleone di film Godfather, “A Man who doesn’t spend time with his family can never be a real man.

Saya betulan yakin, kata-kata itu sebenarnya ditujukan agar setiap lelaki di muka bumi paham betapa beratnya pekerjaan ibu rumah tangga di muka bumi. Dan pemahaman semacam itu akan membuat kita menjadi sebenar-benarnya “lelaki” karena akan jauh lebih menghargai perempuan-perempuan di dapurnya masing-masing.

Ibu yang saya temui ini akhirnya saya salami, saya kecup punggung tangannya, lalu saya bersandar di lututnya. Entah kenapa, saya merasa jadi anak paling beruntung di dunia karena masih diperkenankan menjadi anak ke-10-nya. Tangannya lalu mengusap batok kepala saya.

Selamat Hari Kartini, Bu. Terima kasih sudah jadi Kartini bagi kami.

BACA JUGA Ndelok Kartini Ngomong mBantul atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.

Exit mobile version