MOJOK.CO – Dahnil Anzar merasa Jokowi dan Prabowo tak perlu rekonsiliasi. Buat apa? Nggak ada konflik kok di antara mereka. Yap, benar. Yang konflik kan justru kalian itu.
Masifnya perdebatan antara pendukung Jokowi dengan Prabowo di segala lini kehidupan, memunculkan ide-ide rekonsiliasi. Hal ini dianggap mampu—setidaknya—meredam potensi konflik horizontal yang sedang terjadi. Di beberapa daerah, malah terjadi bentrok betulan.
Beberapa tokoh sudah menyampaikan ide-ide rekonsiliasi ini. “Kita hindari perkataan sikap, perbuatan apapun yang dapat mencederai kebersamaan kita, dan juga yang dapat mencederai lahirnya keputusan yang adil,” kata Aa’ Gym. “Mari bersatu, sudahi Cebong dan Kampret,” kata Zainut Tauhid, Waketum MUI. Ini belum tokoh-tokoh lain seperti Mahfud MD, Haedar Nashir, sampai Ignatius Suharyo.
Melihat ide ini, Jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN) Dahnil Anzar Simanjuntak menganggap bahwa tak perlu ada rekonsiliasi antara Jokowi dengan Prabowo. Menurut politisi PAN ini, sampai belum ada konflik yang perlu dirisaukan. Setidaknya sampai hari ini, Jokowi dengan Prabowo pun masih baik-baik saja. Nggak saling marah-marahan.
“Rekonsiliasi itu dilakukan kalau ada konflik. Emang sekarang ada konflik? Kan nggak. Jadi justru cara berpikirnya yang harusnya diperbaiki. Kalau ada konflik baru ada rekonsiliasi. Ini nggak ada konflik sama sekali,” ujar Dahnil Anzar.
Lagian, apa yang terjadi usai coblosan Pilpres 2019 ini hanyalah perdebatan-perdebatan biasa di ruang publik. Tidak ada kejadian antara satu politisi di BPN maupun di TKN saling pukul-pukulan. Semua masih baik-baik saja di kalangan elite.
Meski begitu, Dahnil Anzar pun mengingatkan, kalau ke depan memang ada konflik yang meluas, baru rekonsiliasi harus segera dilakukan. “Dan itu biasa saja dalam setiap kompetisi. Jadi rekonsiliasi itu bisa dilakukan kalau ada konflik,” ujarnya lagi.
Menurut Dahnil Anzar, potensi konflik yang dikhawatirkan oleh banyak pihak ini terjadi karena adanya dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. “Panas karena ada TSM (terstruktur, sistematis, masif) itu. Kalau semuanya baik-baik saja ya tidak masalah. Kuncinya penegakan hukum yang adil. Jadi perhatian kita itu di situ,” tambahnya.
Apa yang disampaikan Dahnil Anzar memang tepat. Buat apa rekonsiliasi antara Jokowi dengan Prabowo? Sebab pada dasarnya para elite-elite politik itu tidak benar-benar bermusuhan satu sama lain. Ya kan ada kredo bahwa “dalam politik semua itu kawan dan lawan”. Tergantung kepentingannya sama atau tidak pada situasi tertentu.
Lagi pula berkali-kali Jokowi menyampaikan bahwa Prabowo merupakan sahabat baiknya dalam berpolitik. Bahkan Prabowo juga pernah menyampaikan dalam debat, bahwa dirinya tak perlu diadu-adu dengan Jokowi kalau pandangannya tidak terlalu berbeda dalam upaya kemajuan bangsa.
Hal yang perlu direkonsiliasi ya jelas bukan Jokowi dengan Prabowo, tapi pendukung fanatik kedua capres yang demen mematikan nalar. Bahkan sampai tahap mengkultuskan jagoannya masing-masing dan menganggap kubu lawan harus dilawan dengan segala cara.
Kayak, ada nih, pendukung yang menolak sama sekali dugaan kecurangan pemilu dan menganggap hal itu tidak pernah ada.
Padahal, sekalipun—misal—hasil kecurangan itu tidak signifikan dengan perolehan suara, pembiaran terhadap dugaan kecurangan jelas jadi preseden buruk. Ini bukan siapa yang menang dan mana yang kalah, tapi ini soal kepercayaan publik terhadap KPU.
Kalau nggak diseriusi untuk diusut, ya buat apa ada Bawaslu dan aparat keamanan ya to?
Di sisi lain, ada juga pendukung yang menolak sama sekali hasil quick count dari semua lembaga yang sudah memiliki reputasi besar. Angka-angka ditampilkan dengan pertanggungjawaban metode sampling terbuka dan bisa diakses oleh publik.
Hanya saja, udah dibuka sebegini lebar pun masih banyak yang menganggap angka itu akal-akalan—hanya karena bersandar bukan jagoannya yang menang. Sampai ada yang mengancam-ancam segala lagi. Hadeg.
Dari ide Dahnil Anzar yang menganggap tak perlu ada rekonsiliasi antara Jokowi dengan Prabowo ini, sebenarnya yang lebih mendesak adalah rekonsiliasi antara kedua pendukung. Baik dari kubu cebong maupun kampret.
Mereka yang cebong ya harusnya memiliki kepekaan juga bahwa bentuk dugaan kecurangan sekecil apapun, ya harus fair menilainya. Jangan mentang-mentang dugaan itu menyasar ke jagoannya, lalu menolak semua potensi bukti-bukti yang ada.
Juga nggak usah terlalu kepedean jagoannya sudah pasti menang sebelum real count utuh KPU diumumkan. Ingat, Jokowi itu belum resmi menang.
Di sisi lain, kubu kampret juga baiknya memiliki kesadaran sedikit bahwa probabilitas “real count” yang menjagokan jagoannya menang itu sangat perlu dikritisi. Jangan cuma karena memenangkan jagoannya terus dibela buta tanpa menuntut keterbukaan metode yang dilakukan.
Apalagi percaya pakai hitung-hitungannya Arief Poyuono yang cuma membagi jumlah provinsi di Indonesia yang memenangkan Prabowo dengan jumlah total provinsi di Indonesia, lalu menghasilkan 62%.
Lah ini kan Pilpres di Indonesia, bukan di Amerika. Masa iya gara-gara jargon sama, perhitungan kemenangan pakai cara Pilpres Amerika juga. Ya kan nggak mashook