Mencoba Melacak Stereotip Nama Kevin untuk Keturunan Tionghoa di Indonesia

MOJOK.CODari mana nama Kevin jadi begitu kental untuk dilekatkan ke saudara-saudara kita beretnis Tionghoa di Indonesia?

“Kenapa nama Kevin selalu stereotipnya ke orang Tionghoa ya?” tanya seorang teman.

“Nggak juga, kucingnya Redpel Mojok, namanya juga Kevin,” kata teman yang lain.

“Itu beda lagi, Morooon,” kata penanya yang pertama.

Melihat dialog itu di pesan grup WhatsApp, dalam bayangan saya tiba-tiba muncul stigma atau stereotip orang yang bernama Kevin. Bayangan yang muncul adalah wajah rupawan, badan bagus, kulit putih, kaya, dan pintar.

Saya penasaran, dari mana stereotip itu muncul di kepala saya. Sejauh hal yang bisa saya lacak, nama Kevin itu belakangan ini sering merujuk ke pemain ganda putra terbaik dunia yang dimiliki Indonesia: Kevin Sanjaya Sukamuljo. Olahragawan Indonesia dengan tampang rupawan.

Stereotip ini agak anehnya sebenarnya, sebab menurut riwayatnya (kamu bisa baca di sini), nama Kevin itu tidak datang dari tanah Tionghoa, tapi justru dari bahasa Irlandia kuno.

Nama itu dipercaya menjadi populer karena dipakai oleh nama Santo Kevin pada abad ke-6. Santo Kevin sendiri merupakan pendiri biara Glendalough di Kerajaan Leinster, Irlandia, dan merupakan salah satu bagian dari Keuskupan Agung Dublin. Dalam bahasa Irlandia kuno, nama Kevin diartikan sebagai seseorang yang terlahir sempurna.

Nama Kevin tambah dikenal di era modern setelah film Death of a Salesman populer di Barat, dengan aktor yang kebetulan bernama Kevin McCarthy. Nama ini pun lantas menjadi nama yang jamak dipakai untuk orang-orang Barat pada era itu.

Perubahan nama dari yang tadinya nama Tionghoa ke nama yang lebih kebarat-baratan bagi mereka yang keturunan Tionghoa di Indonesia sebenarnya bisa dilacak dari masa Orde Baru, di mana terjadi diskriminasi bertahun-tahun pada mereka.

Saat itu, perubahan belum memakai nama-nama Barat, melainkan nama-nama Jawa. Pemaksaan asimilasi ini memang terjadi secara kultural pada era-era itu. Ada rasa traumatik yang mendalam terhadap diskriminasi yang diterima sehingga membuat banyak masyarakat keturunan Tionghoa menyembunyikan identitasnya dengan memakai nama-nama Jawa.

Nama-nama seperti Sudono Salim, Bambang Hartono, Susi Susanti, sampai Basuki Tjahaja Purnama, merupakan beberapa contoh nama yang terpengaruh atas rasa traumatik komunal tersebut.

Meski tidak ada aturan khusus untuk memaksa perubahan nama, tapi Indonesia saat Presiden Soeharto sangat dikenal dengan kebijakan jawanisasi di mana-mana, jadi ya wajar kalau banyak masyarakat etnis Tionghoa yang mengubah namanya jadi nama Jawa.

Namun, nama-nama itu lantas mengalami perubahan pada era 1980-an sampai 1990-an, terutama ketika Orde Baru tumbang pada 1998. Tren menamai anak jadi lebih ke barat-baratan.

Hal ini sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu oleh untuk mereka yang di luar negeri. Interaksi dengan kebudayaan Barat berpengaruh besar perubahan nama itu. Seperti aktor atau artis Hollywood legendaris seperti Bruce Lee, Jacky Chan, Jet Li, sampai Michael Yeoh.

Dalam penelitian “Pola Nama Masyarakat Keturunan Tionghoa” yang disusun oleh Suharyo terbitan Universitas Diponegoro, di sana disebutkan bahwa etnis Tionghoa di Indonesia semakin sedikit yang memakai nama Indonesia (atau Jawa) dan mengubahnya menjadi kebarat-baratan karena beberapa hal.

Ada beberapa hal yang diungkap dari penelitian tersebut.

(1) Nama Indonesia terkesan umum, sudah kelewat sering dipakai; (2) Nama-nama Barat lebih bergengsi; (3) Mengikuti tren global; (4) Keterbatasan pemahaman mendalam soal kosa kata dalam bahasa Indonesia (atau Jawa), sehingga dikhawatirkan tidak mampu mengungkapkan makna yang diinginkan oleh pihak keluarga.

Perubahan dari nama Jawa ke nama kebarat-baratan ini juga semakin dipengaruhi karena TVRI sudah tidak lagi memonopoli pertelevisian di Indonesia pada tahun 1989.

Bermunculannya stasiun televisi swasta membuat referensi nama-nama asing jadi masuk ke Indonesia, karena stasiun itu juga membawa nama-nama Barat jadi makin familiar di telinga-telinga orang Indonesia.

Ya maklum, TVRI kan dulu isinya kebanyakan berisi mengenai prestasi-prestasi pemerintahan Orba dan hiburan tanah air aja. Kehadiran tayangan-tayangan film dari Barat ini setidaknya juga ikut berpengaruh.

Nah, sejak stasiun swasta lahir itu, nama-nama seperti Kevin, Diana, Jackson, Michael, jadi populer. Sebelumnya, nama-nama itu bukannya tidak dikenal, tapi akses pengetahuan soal nama-nama itu hanya dimiliki terbatas oleh orang-orang kaya saja di Indonesia (karena rekanan dengan patner luar negeri, berlibur ke luar negeri, dan sebagainya).

Nama Kevin baru menjadi sangat populer lintas strata sosial ketika film Home Alone (1990) muncul. Film ini juga sempat ditayangkan di RCTI pada era 1990-an awal. Bahkan di hampir tiap natal, film itu diputar berkali-kali dan jadi tontonan yang udah mirip foklor untuk keluarga muda era 1990-an.

Secara kebetulan, karakter yang diperankan sebagai anak kecil yang ditinggal sendirian di rumah melawan perampok yang menyantroni rumahnya itu bernama: Kevin McCallister.

Dari sana, makin kuat dugaannya kalau nama Kevin kemudian jadi makin familiar di telinga orang-orang Indonesia, sehingga makin jadi referensi untuk nama-nama anak di periode-periode tersebut.

Meski begitu, kalau kita beneran mau melacak, sebenarnya tidak hanya mereka yang beretnis Tionghoa yang memakai nama Kevin. Ada sih, seperti Kevin Sanjaya (lahir 1995) atau blogger Kevin Anggara (lahir 1997), tapi ada juga Kevin Aprilio (lahir 1990), Kevin Hillers (1990), Kevin Julio (1993).

Mereka beberapa orang terkenal yang lahir di era 1990-an, yang sebenarnya tidak semuanya beretnis Tionghoa. Cuma satu aja kesamaan semua Kevin di sana, yakni: tidak miskin.


BACA JUGA Stereotip Nggak Perlu yang Dilekatkan pada Orang Bercadar dan tulisan POJOKAN lainnya.

Exit mobile version