MOJOK.CO – Bukankah memberikan stigma emosian dan kasar pada setiap orang berdialek ngapak itu nggak pas? Soalnya hobi mereka adalah makan tempe mendoan yang lembek Coy!
Saya sering heran sama kawan-kawan saya yang ketawa mendengar orang sedang bercakap dengan dialek Jawa ngapak. Lucunya di mana sih? Hanya karena berbeda dengan dialek Jawa pada umumnya, ngapak nggak seharusnya jadi bahan cemoohan, toh orang Purwokerto juga banyak yang cakep dan kaya raya. Ciyeee~
Sebagai orang yang terlahir di salah satu kawasan dengan dialek ngapak begitu kental, telinga saya sudah terbiasa sejak kecil. Orang-orang di kawasan Mas Barling Cakeb (Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen) memang agak nyentrik dalam penggunaan bahasa Jawa.
Ada banyak kata-kata yang bagi orang dari kawasan ini akan sulit paham. Misalnya ketika mau goreng tempe mendoan dan minyaknya abis, mereka akan bilang,
“Jen, minyake langka koh!”
Langka itu artinya nggak ada. Jadi dalam kasus ini, seseorang sudah mencari minyak ke mana-mana tapi nggak menemukannya. Berbeda dengan pengertian “langka” dalam bahasa Indonesia yang artinya masih ada tapi jarang-jarang. Hewan langka itu hewan yang belum punah.
Belum lagi kata ikonik seperti kencot, lombo, dan kawus yang beda banget sama bahasa Jawa dialek bandek. Kalian yang sama sekali nggak ngerti bahasa Jawa dipastikan bakal roaming.
Dialek ngapak yang lebih sering diucapkan dengan suara lantang bahkan intonasi yang tinggi sering memicu kesalahpahaman. Nggak sedikit yang beranggapan kalau orang ngapak itu emosian, sukanya cekcok sambil ngomong kasar.
Bahkan buat ukuran saya yang sudah terbiasa, saya pernah salah paham sama kawan berdialek ngapak. Saya kira dia marah karena waktu saya ajak ngobrol dia bilang, “Brisik laaa!”
Alamak, kenapa jadi saya yang dimarahin sih.
Ternyata di Purwokerto, kadang ngatain orang itu kadang maksudnya bercanda. Teman saya yang menghardik tadi bahkan nggak punya muatan nilai sebal dalam melontarkan kata-kata. Ya udah biasa aja, katanya.
Selain dialek ngapak, hal yang paling bikin saya kangen dari Purwokerto adalah tempe mendoan. Walau tempenya setipis iman, tepungnya selembek bucin, tapi rasanya nggak ada yang ngalahin.
Apalagi kalau tempe mendoannya disandingkan dengan kecap pedas yang bumbunya khas itu. Subhanallah. Tuhan menciptakan medoan saat Dia sedang feeling good. Saya nggak heran kalau pemerintah Banyumas mengusulkan makanan ini sebagai warisan budaya tak benda.
Saya menulis ini sambil makan mendoan, FYI.
Mendo dalam dialek ngapak biasa dipakai untuk mendeskripsikan perkara yang tanggung. Secara sederhana mendoan dalam bahasa artinya sesutu yang nanggung. Ini wajar karena tepung di tempe mendoan sengaja nggak digoreng dengan garing.
Sementara tempe kemul di Wonosobo harus digoreng sampai kriuk dan keras, mendoan dibiarkan jadi sebuah entitas lembek yang berminyak dan orng ngapak bangga akan hal ini.
Tempe mendoan adalah sajian irit dengan tempe super tipis dan cenderung pelit, tepung juga nggak lebar, cuma asal sudah tercelup, lalu goreng. Nggak perlu lama-lama menggoreng, cocok buat pengematan gas.
Saya rasa tekstur mendoan yang lembek bisa jadi senjata buat mematahkan anggapan kalau orang ngapak itu emosian bin keras-keras. Mana ada orang yang hobinya marah sukanya ngemilin tempe mendoan. Bakal terkesan cemen lah.
Orang yang karakternya emosian itu cocoknya menenggak kopi pahit, whisky, dan ngemilin alen-alen. Menandakan tekad yang kuat dan rahang yang tidak mudah disikat. Sementara orang berdialek ngapak, malah ngemilin tempe mendoan terus. Tentu saja ini membuktikan kalau aslinya mereka berhati lembut.
BACA JUGA Menguasai Dunia dengan Nasi Padang atau artikel menarik lainnya di POJOKAN.