Masalah Surplus Perwira TNI dan Perlu Kah Kita Mencela “Bibit” Dwifungsi ABRI?

MOJOK.CO – Isu kebangkitan Dwifungsi ABRI atau kalau mau menggunakan bahasa yang halus “rekrutmen” TNI ke lembaga sipil ini memang sangat ruwet masalahnya.

Rencana Jokowi yang akan memberdayakan surplus tenaga TNI aktif ke beberapa Lembaga Kementerian menuai banyak kritik. Hayajelas dong, langkah yang akan diambil Presiden ini dianggap udah mengkhianati marwah reformasi je.

Lebih dari 20 tahun lalu rakyat teriak “hapuskan dwifungsi ABRI” saat berupaya menjatuhkan rezim Orde Baru, tapi kini hawa-hawanya ada rencana pemerintah untuk membawa gerbong militer bisa masuk lagi ke ranah-ranah sipil.

Meski begitu Menko Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan, menganggap bahwa isu bangkitnya dwifungsi ABRI itu karangan saja.

“Sudah semua, sudah kami kaji. Tidak ada membuat seperti dwifungsi. Ngarang itu,” kata Luhut.

Menurut Luhut, wajar saja TNI ikut sibuk “bantu-bantu” di lembaga kementerian. Purnawirawan TNI ini lalu menjelaskan bahwa memang ada pos-pos kementerian yang perlu bagian keamanan.

“Di Menko Maritim ada juga keamanan. Kalau keamanan maritim masa ditangani orang yang nggak ngerti? Taruh aja Angkatan Laut,” kata Luhut.

Beberapa reaksi lalu muncul dari penyataan ini. Terlebih Luhut malah sedikit memancing, “Kalau ada yang keberatan, coba dijelaskan keberatannya di mana?” tanyanya.

Persoalan yang terjadi soal isu Dwifungsi ABRI atau kalau mau menggunakan bahasa yang halus “rekrutmen TNI” ke Kementerian ini memang jauh lebih kompleks ketimbang yang dikira.

Harus diakui, masih jauh sebenarnya kalau menyamakan ini secara membabi buta antara Dwifungsi ABRI di zaman Orba dengan yang sekarang. Meski kalau ini dibilang “bibit” Dwifungsi ABRI sih, ya sah-sah aja kalau mau disebut begitu.

Beberapa petisi sudah dilayangkan menyoal rencana ini. Beberapa aktivis pun di luar sana sudah setel kenceng dan siap-siap menyalak jika rencana ini jadi diteken untuk dilakukan. Ada beberapa protes yang muncul.

Pertama, rekrutmen TNI ke lembaga kementerian ini dianggap sudah meremehkan tenaga sipil sebagai kelompok masyarakat yang tidak kompeten. Ungkapan Luhut seolah memandang bahwa pos-pos kementerian di bagian kebijakan keamanan hanya bisa diampu melalui perspektif militer saja.

Misalnya kita bicara keamanan laut sesuai ranahnya Pak Luhut nih. Seolah-olah kebijakan pertahanan laut harus selalu dikaitkan dengan banyak-banyakan perwira Angkatan Laut di Kementerian Maritim.

Lalu langkah gerakan diplomasi politik bilateral antar-negara dianggap sebagai cara yang lemah—atau kalau pakai bahasa Pak Luhut: “orang yang nggak ngerti.”

Padahal tugas dari Kementerian Maritim kan emang cuma soal kebijakan, bukan soal eksekusi. Kalau bagian eksekusi keamanan sama pengampu kebijakan digabung ya bakal ruwet dong nantinya, bijimana sih?

Ini kan kayak pengurus pemuda kampung atau karang taruna, tahu-tahu di pengurus divisi dokumentasi ada nama Pak RT atau Pak Modin di sana. Haya pasti geger. Yang satu ranah eksekusi kok tiba-tiba dimasuki tokoh ranah kebijakan. Ya ambyar.

Kedua, memberi pos-pos tertentu di kementerian untuk militer, berarti hal ini menghambat sipil untuk berkarier jika memiliki prestasi bagus di kementeriannya. Sebab pos di atasnya sudah diplot untuk jatah perwira militer. Wah, jelas ini berpotensi bikin kompetisi jadi tidak adil. Kayak wasit Liga Indonesia aja dong jadinya. Eh.

Ketiga, penggabungan militer aktif ke jabatan sipil juga berpotensi bisa bermasalah secara hukum ke depannya.

Coba sekarang situ bayangkan, jika ada perwira militer yang kebetulan menjabat jabatan sipil lalu kena kasus hukum? Apa ranah pengadilan yang berhak mengadilinya? Pengadilan Militer atau Peradilan Umum? Lah ini nanti bisa tarik-tarikan dong.

Lagian pada ranah Peradilan Militer, hampir semuanya berlangsung dengan tertutup. Ya jelas kepercayaan publik yang bakal dipertaruhkan dong di sini.

Beberapa keberatan itu memang masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Namun fakta yang tidak bisa kita tutupi adalah surplus perwira TNI usai Reformasi memang membludak.

Hal yang jadi sebab isu Dwifungsi ABRI ini bangkit lagi. Lebih repot lagi pos-pos jabatan dengan jumlah perwira tidak sebanding. Supply-nya lebih banyak ketimbang demand.

Persoalan ini jelas tidak bisa diabaikan begitu saja oleh Pemerintah. Jika tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin militer bisa balik memusuhi Pemerintah. Sebab, militer dalam sebuah negara itu ibarat singa dengan tuannya. Di satu sisi bisa menjaga Pemerintah yang berwewenang, tapi kalau dicuekin atau diabaikan bisa ngamuk nggak karu-karuan.

Sebenarnya hal ini tidak bisa diatasi dengan “rekrutmen TNI aktif” besar-besaran ke lembaga-lembaga sipil sih. Mau pakai uji kompetensi setara—kayak yang perwira TNI juga ikut tes sama seperti yang sipil, agar lebih adil, tapi ini tidak menyentuh akar pokok masalahnya.

Mungkin untuk beberapa tahun ini bisa menolong surplus tersebut, tapi jelas ini bukan rencana jangka panjang yang keren untuk dilakukan. Lha kalau tiap angkatan selalu nambah dan selalu perlu dikaryakan, bisa-bisa semua pos kementerian atau sipil diisi orang militer semua? Ya kan ya ruwet. Sipil dapat kerja apa dong?

Terlepas dari hal itu, ada ide menarik dari Evan A. Laksmana, Peneliti Militer Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang sempat diwawancarai tirto.id.

Dalam wawancara tersebut, Evan menyebutkan bahwa persoalan surplus ini sebenarnya terjadi karena TNI tidak mengenal kebijakan up or out. Alias kalau kamu nggak bisa naik pangkat, ya kamu kudu minggat.

“Di militer negara lain, apabila Anda seorang kapten atau mayor, Anda hanya punya waktu lima tahun untuk naik pangkat. Apabila, Anda tidak naik pangkat dalam lima tahun, Anda harus keluar dari militer. (Jadi) tidak semua lulusan akademi, tidak semua perwira, pasti jadi jenderal,” katanya.

Hal ini juga bisa menciptakan sistem kompetitif di tubuh militer yang menggunakan sistem ini. Jadi orang-orang yang bertahan betul-betul orang yang berkualitas karena mengalahkan banyak orang dalam satu angkatannya per lima tahun sekali. Udah begitu, cara kenaikan pangkat ala-ala “koneksi” bakal hilang dengan sendirinya.

Hm, contoh yang menarik. Tapi mungkin nggak ya militer kita melakukan kebijakan itu ke depannya biar masalah surplus tenaga begini bisa diatasi?

Exit mobile version