MOJOK.CO – Ada beda respons masyarakat ketika Jokowi digugat ke MA. Antara kenaikan iuran BPJS Kesehatan Jilid Pertama dengan rencana kenaikan BPJS Jilid Kedua.
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), melayangkan gugatan hukum ke Mahkamah Agung atas keputusan Presiden Jokowi menaikkan tarif BPJS Kesehatan Jilid Dua.
Kalau kamu masih ingat, KPCDI ini juga merupakan pihak yang dulu bikin Presiden Jokowi digugat di MA. Itu terjadi saat kenaikan tarif BPJS Kesehatan Jilid Pertama. Saat itu MA mengabulkan gugatan KPCDI. Dan beberapa rakyat yang ekonominya kena hantam karena pandemi sempat bersorak sejenak mendengar kabar itu.
Sayangnya, tak sampai dua bulan, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden yang bikin iuran untuk kelas I dan II akan segera naik lagi. Beneran kayak naik roller coaster aja ini hati rakyat. Udah mau selebrasi, jebul golnya dianulir.
Kali ini, banyak pihak merasa diobrak-abrik perasaannya. Soalnya Perpres terbaru ini jelas tidak sensitif dengan situasi yang sedang terjadi. Masyarakat lagi kere-kerenya, iuran malah dinaikin dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Uniknya, ada beda respons masyarakat antara kenaikan iuran BPJS Kesehatan Jilid Pertama dengan rencana kenaikan BPJS Jilid Kedua. Wabilkhusus untuk mereka yang mendukung keputusan Jokowi pada kenaikan BPJS Kesehatan Jilid Pertama.
Saat itu, bisa dibilang, masih ada kelompok kelas menengah yang mendukung keputusan Pemerintah Jokowi. Apalagi ketika Pemerintah mengumumkan kalau memang anggaran BPJS Kesehatan mengalami defisit gila-gilaan.
Saya sendiri termasuk yang mendukung keputusan tersebut. Mengingat beberapa bulan sebelum keputusan tersebut, saya adalah salah satu peserta BPJS Kesehatan yang beneran terbantu dengan program ini.
Jangan bandingkan dengan negara-negara maju yang mampu menanggung tanggungan kesehatan rakyatnya. Mereka bisa kayak gitu karena sistem penerimaan pajak pemerintahnya udah beres. Lah kita rakyat Indonesia? Jangankan bayar pajak penghasilan, bayar pajak motor aja lho nunda-nunda.
Apalagi mengingat kita belum memiliki kebudayaan seperti negara-negara Skandinavia, yang walaupun tanggungan kesehatannya ditanggung sepenuhnya oleh negara, namun pajak untuk masyarakatnya gila-gilaan. Bisa antara 40-60 persen.
Memangnya situ siap digaji 10 juta tapi akhirnya cuma terima 4-6 juta doang?
Dengan pola pikir semacam itu, maka keputusan Pemerintah Jokowi menaikkan BPJS Kesehatan jilid pertama masih banyak yang mendukung. Sebab, mikirnya masih sederhana kayak gini: Oh, kalau defisit, berarti memang yang bayar iuran dengan pasien yang memakai, jauh lebih banyak yang makai. Wajar sih kalau BPJS mau nagihin duit masyarakat lagi. Kan emang defisit?
Namun pola pikir simpel itu tidak bertahan lama. Terutama ketika Pemerintah Jokowi digugat KPCDI dan dikabulkan oleh MA. Mahkamah Agung kemudian membeberkan bahwa kenaikan ini melanggar kaidah-kaidah di BPJS Kesehatan sendiri. Yang terkait pada legal structure, legal substance, dan legal culture.
Intinya, semua kenaikan itu tidak bisa diterapkan karena defisit yang terjadi akibat fraud pengelolaan BPJS Kesehatan tidak boleh dibebankan ke masyarakat. Artinya, MA sama saja menegur pemerintah agar harus adil. Yang ngelola ambyar sampai bikin defisit siapa, kok yang kudu tanggung jawab malah rakyat?
Malah yang unik, dengan kenaikan iuran BPJS Jilid Pertama itu, ada banyak fasilitas kesehatan yang malah dihapus sampai proses minta rujukan yang makin berbelit di Faskes 1.
Saya pernah mengalami sendiri bagaimana ketika sakit gigi dua bulan lalu. Dua kali datang ke Faskes 1 tidak bisa ditangani dengan baik karena kebijakan baru. Dua kali datang cuma diberi obat pereda nyeri, karena Faskes 1 tidak bisa melakukan tindakan cabut gigi. Minta surat rujukan ke rumah sakit pun tidak dikasih karena alasan sakit gigi saya belum parah.
Mukegile. Bayar premi BPJS Kesehatan kelas 1 tiap bulan, hasilnya disuruh menahan rasa sakit doang, Gaes. Tagihan dinaikin, tapi pelayanannya diturunin besar-besaran. Dahsyat bener ini.
Itulah yang saya pikir menjadi masuk akal kenapa KPK menyatakan bahwa akar masalah defisit dana BPJS Kesehatan bukan terletak karena masyarakat nggak mau bayar (atau bayar tapi tetep kurang) sampai kemudian bikin jadi defisit.
“Dalam Kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang KPK lakukan pada 2019, akar masalah yang kami temukan adalah tata kelola yang cenderung inefisien dan tidak tepat yang mengakibatkan defisit BPJS Kesehatan,” kata Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK.
Artinya, pengelolaan BPJS Kesehatan kalau memang udah amburadul, menaikkan iuran ke masyarakat jelas bukan solusi sama sekali. Mau dinaikan sampai 10 atau 20 kali lipat sekalipun, kalau pengelolaannya di dalam nggak beres, ya problem defisit di BPJS nggak bakal bisa diatasi.
Ibarat BPJS sedang cacingan. Lalu terus merasa lapar dan badannya jadi kurus kering kerontang, Pemerintah malah mikir makannya makin dibanyakin. Akhirnya iuran makanannya dinaikin. Haayaa percuma ngasih makan terus kalau di dalem masih ada cacingnya.
Jadi, maaf ini, Pak Jokowi, sampeyan emang layak banget digugat lagi soal kenaikan BPJS Kesehatan jilid dua.
BACA JUGA Tarif Iuran BPJS yang Sempat Turun Kini Naik Lagi atau tulisan POJOKAN lainnya.