[MOJOK.CO] “LGBTQ dibela mulu, kapan belain nikah siri dan poligami?”
Kalau kamu merasa bahwa pegiat Hak Asasi Manusia itu tak adil dan pikirannya bengkok karena membela LGBTQ, tidak apa-apa. Itu hakmu. Tapi kalau kamu menganggap Pegiat HAM itu nggak mau belain hak orang untuk melakukan nikah dini, siri dan poligami, ya nggak salah, tapi kurang tepat aja. Kamu perlu paham apa yang membedakan itu semua.
Mengapa tidak membela nikah dini?
Karena seperti banyak kajian klinis medis yang menjelaskan LGBTQ bukan penyakit, ada banyak kajian dan juga aalsan mengapa pernikahan dini atau pernikahan anak itu berbahaya. Baik bagi kesehatan si pengantin perempuan atau kematangan pikiran kedua mempelai. Rahim yang belum kuat, angka kematian ibu melahirkan di usia dini yang tinggi, sampai dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Pada 2016 angka kematian ibu melahirkan meningkat dibanding priode tahun 2.000. Kini angka kematian ibu nelahirkan berjumlah 359 orang per 100 ribu kelahiran selamat. Sedangkan dulunya hanya 228 orang per 100 ribu kelahiran selamat. Lha apa kaitannya dengan menikah dini? Pernikahan usia dini termasuk faktor risiko kematian ibu. Risiko kematian ibu naik jika hamil di usia terlalu muda, jarak antarkehamilan terlalu rapat, jumlah anak terlalu banyak, dan hamil di usia terlalu tua.
Dari sisi kesehatan, organ reproduksi perempuan berusia di bawah 19 tahun belum matang sehingga hamil di usia itu berisiko tinggi, seperti perdarahan.Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, angka pernikahan usia dini (19 tahun ke bawah) 46,7 persen. Bahkan, perkawinan di kelompok umur 10-14 tahun hampir 5 persen. Kalau menolak LGBT karena alasan kesehatan dan penularan HIV/AIDS lha kok ngotot pengen nikahin anak sedini mungkin?
Maka yang perlu kita pertanyakan bukan kemana aktivis HAM dalam isu pernikahan dini, tapi apa yang sudah mereka lakukan. Banyak yang tidak tahu bahwa teman-teman pegiat HAM sudah melakukan gugatan ke MK terkait batas usia dini pernikahan di Indonesia dari 16 tahun menuju 18 tahun. Saat negara-negara Timur Tengah mati-matian memerangi pernikahan dini, lha kok malah minta dibela menikahkan anak-anak. Mau maju apa mundur?
Mengapa tidak membela hak menikah siri?
Menikah siri sangat merugikan pihak perempuan dan juga anak-anak hasil pernikahan itu. Pada praktiknya masih banyak perempuan hasil menikah siri yang tak bisa memiliki sertifikat nikah resmi dari negara. Akibatnya mereka tak bisa mengklaim hak-hak pernikahan mereka, termasuk hak untuk memiliki sejumlah properti bersama dan harta gono-gini jika bercerai.
Sementara untuk anak-anaknya mereka tak bisa mendapatkan hak dasar sebagai warga negara untuk memperoleh pengakuan seperti surat kelahiran dan sebagainya. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan Pasal 42 ayat 1 menyebutkan, “Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Sebelum 2013 negara masih keberatan mengakui anak dari nikah siri untuk memegang status anak yang sah secara hukum. Tak jarang anak hasil nikah siri disebut sebagai anak di luar nikah. Mereka masih kesusahan dalam pengurusan hak hukum, seperti nafkah, warisan, bahkan akta kelahiran. Tetapi berdasarkan keputusan Mendagri, anak hasil nikah siri berhak mendapatkan hak administratif negara.
Lembaga bantuan hukum aliansi perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menyebut pada 2010 angka KDRT dalam lingkup nikah siri mencapai 200 kasus setahun. Pada 2014 angka itu meningkat, berdasarkan laporan Komnas Perempuan, rata-rata dalam sehari ada 35 perempuan yang mengalami kekerasan karena dipicu perkawinan poligami. KDRT dalam pernikahan siri sulit didata karena korban sedikit sekali yang mau melapor.
Kalau dibilang aktivis HAM dia aja terkait nikah siri ya kurang tepat. Beberapa lembaga seperti Women Crisis Center, Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Pernah memprotes peraturan diskriminatif ini. Anak, apapun bentuk pernikahannya, wajib mendapatkan bantuan nafkah dari orang tuanya. Bukan malah berlindung dibalik hukum positif untuk lari tanggung jawab.
Kalau Poligami gimana?
Hadeh masa harus dijelasin juga. Kalau kamu punya bapak dengan istri lima kaya bapak saya, kita bahas enaknya punya banyak ibu. Bayangin ya, saat ibu sakit, Bapak bisa main ke rumah istrinya yang lain. Belum lagi kalau misalnya ada rejeki lebihan, yang diutamakan tentu yang muda-muda, yang tua mesti ngalah. Ini sih perlu dilestarikan, untuk itu saya merekomendasikan ibu-ibu untuk menganjurkan suaminya menikahi korban persekusi yang dilabeli pelakor. Demi dakwah dan ibadah.
Perlu juga dipahami, bahwa membela hak LGBTQ tidak harus setuju dengan keberadaan mereka. Kamu bisa tetap mentoleransi keberadaan pemakan babi, meski kamu merasa bahwa makan babi itu haram. Atau benci Liverpool sambil nonton bareng mereka dalam pertandingan melawan Manchester United.
Tapi kan makan daging babi atau nonton bola nggak merusak ahlak, tidak menyebarkan penyakit, apalagi mengajak anak-anak kita jadi homo. Ya gini aja. Kalau merasa bahwa tugas orang tua harus bisa menyelamatkan anaknya, kita belajar dari nabi Nuh saja. Beliau itu nabi, kurang bagus apa ahlaknya, tapi nggak bisa menyelamatkan anak istrinya dari kesesatan. Kalau Gusti Allah sudah berkehendak, kita bisa apa?