Kritik untuk Menpora dan Alasan Tak Becusnya Negara Mengurus Olahraga

"Tragedi" di upacara penyerahan Piala Thomas ke tim Indonesia, menunjukkan tidak seriusnya negara dalam urusan olahraga.

kritik untuk menpora

Menpora

MOJOK.CO – Untung Tim Bulu Tangkis Indonesia juara Piala Thomas, coba kalau nggak? Bisa aja kealpaan Menpora ini nggak banyak orang yang tahu.

Saya ingin memulai tulisan ini dengan ajakan untuk merenung sejenak.

Sebuah renungan untuk memahami, kenapa ada banyak orang (khususnya pecinta bulu tangkis Indonesia) sangat marah kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), wabilkhusus ke Menpora Zainudin Amali.

Coba bayangin sejenak. Begini.

Ada event legendaris. Negaramu adalah salah satu kekuatan klasik di kompetisi tersebut tapi selalu gagal juara dalam 20 tahun terakhir. 

Lalu tiba-tiba negara kecintaanmu itu (yang sempat diragukan banyak pihak) malah berakhir sebagai juara, dan ketika juara kamu baru sadar bahwa bendera yang berkibar di podium puncak tertinggi ternyata bukan negara kebanggaanmu tapi bendera federasi bulu tangkis.

Tentu kamu penasaran dong, kenapa sih bisa kayak gitu?

Setelah cek sana cek sini, akhirnya kamu sadar kalau ini adalah persoalan serius dari kementerian negaramu yang ngurusin olahraga. Kementerian di negaramu itu ternyata alpa dalam mematuhi standar penegakan anti-doping yang berlaku di dunia olahraga.

Badan Anti-doping Dunia (WADA) memberi sanksi ke Indonesia karena Kemenpora tidak memenuhi jumlah sampel doping yang sesuai regulasi. Kemenpora sudah dikirimi teguran sejak 15 September 2021, lalu diberi waktu masa sanggah selama 21 hari, yang artinya sampai tanggal 6 Oktober 2021. Hukuman pun dijatuhkan pada 7 Oktober 2021 lewat surat resmi.

Uniknya, Kemenpora baru koordinasi dengan Lembaga Anti-doping Indonesia (LADI) pada tanggal 8 Oktober 2021. Telat sehari. Duh, duuuuh. Telat sehari artinya sudah tidak ada lagi masa sanggah. Menpora dan Kemenpora baru bereaksi setelah hukuman dijatuhkan.

Konsekuensinya, Indonesia tidak boleh mengirimkan wakil atlet atas nama negara di kompetisi internasional setelah sanksi dijatuhkan. Efek yang langsung terasa saat Hendra Setiawan dkk. mengangkat Piala Thomas tadi malam.

Mereka boleh berlaga, boleh tetap memenangkan kompetisi, tapi mereka ke sana secara resmi di atas surat administasi bukan mewakili Indonesia, tapi mewakili PBSI.

Membaca dan mengurutkan kronologi tersebut, saya tiba-tiba jadi membayangkan, jika saja Tim Bulu Tangkis Indonesia di Piala Thomas tidak lolos sampai semifinal (syarat minimal naik podium), bisa jadi buruknya manajemen Menpora dalam menyelesaikan teguran dari WADA ini tidak akan di-notice oleh seluruh rakyat Indonesia.

Hal yang lebih menyesakkan dada lagi, bukannya mengevaluasi diri atau mengucapkan permintaan maaf ke seluruh rakyat Indonesia, Menpora malah menyalahkan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) yang langsung menerapkan rekomendasi sanksi dari WADA pada kompetisi Piala Thomas 2021 ini.

“BWF mengambil keputusan sendiri, dia langsung menerapkan sanksi itu padahal masih masa klarifikasi,” kata Menpora.

Wait, wait, Pak Menpora, monmaap nih. Itu masa sanggah 21 hari dari WADA udah dikasih lho, terus kenapa Kemenpora nggak segera merespons? Kenapa baru bereaksi setelah hukuman dijatuhkan?

Ingat, Pak Menpora, ini WADA, bukan kantor birokrat ala Indonesia yang bisa dimaklumi kalau telat sehari dua hari.

Alasan Menpora sih sebenarnya masuk akal, Indonesia dianggap tidak memenuhi jumlah sampel tes anti-doping karena sepanjang masa pandemi 2020 memang tidak ada kompetisi olahraga di Indonesia.

Cuman, kalau alasan itu dikasih dalam masa sanggah 21 hari tadi, seharusnya pengibaran bendera PBSI—alih-alih bendera Indonesia—ketika seremoni kemenangan tim Piala Thomas nggak bakal terjadi.

Dan pledoi Menpora soal ketidaktahuan masa sanggah selama 21 hari itu lebih lucu lagi, katanya dia tidak tahu kalau ada surat teguran resmi dari WADA pada 15 September 2021.

Melihat bagaimana tidak seriusnya Menpora dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengurus olahraga di Indonesia ini, itu sudah jadi sinyal bagaimana negara nggak serius-serius amat menaikkan prestasi di bidang olahraga. Problem laten yang sudah jadi masalah rutin negara ini.

Kalau kita mau balik agak ke belakang, ketidakseriusan ini bisa kelihatan dari nama Menpora yang menjabat dari tahun ke tahun.

Kamu bisa cek sekilas saja, nama seperti Akbar Tanjung (Menpora 1988), Adhyaksa Dhault (2004), Andi Mallarangeng (2009), Roy Suryo (2013), Imam Nahrawi (2014), sampai ke Zainudin Amali (Menpora sekarang), tidak ada satupun dari orang-orang itu yang punya latar belakang olahraga. Semuanya adalah politisi tulen dari partai.

Jangankan mantan atlet, latar belakang pendidikan mereka pun jauh dari bidang olahraga. Kecapakan soal manajemen dan mengatur regulasi olahraga memang bisa dipelajari dengan baca buku—mungkin, tapi tanpa latar belakang olahraga yang mumpuni, passion mereka terhadap olahraga patut dipertanyakan kalau mereka tidak pernah berkecimpung di bidang itu sebelum menjabat menteri.

Padahal dalam olahraga, urusan passion itu kadang-kadang jadi bahan bakar lebih utama ketimbang kemampuan manajerial. Tanpa punya itu, seseorang tidak akan bekerja sepenuh hati untuk memajukan olahraga Indonesia. Sebab dalam olahraga, dorongan effort itu lahir dari passion, bukan dari tuntutan gaji, tunjangan, atau jabatan.

Ambil contoh saja soal alpanya Menpora Zainudin Amali atas surat teguran pertama dari WADA, jika menteri yang bersangkutan memang punya passion terhadap olahraga, maka kata pertama yang terucap adalah permintaan maaf. Bukan ngeles dan berlindung di balik kesalahan sistem.

Hal yang ditunjukkan Menpora Zainudin Amali belakangan ini praktis bukanlah gaya-gaya seorang olahragawan yang punya jiwa sportif, mengakui kekalahan (atau kesalahan), lalu segera mengevaluasi diri untuk semakin berprestasi ke depannya.

Gestur yang ditunjukkan Pak Menpora ini malah menunjukkan bahwa blio ini benar-benar politisi tulen. Nggak mau terlihat salah sendiri. Bahkan dengan pede menyalahkan lembaga lain atau pihak lain. Hal yang tidak hanya sangat jauh dari sportivitas dalam khasanah olahraga, tapi justru berkebalikan dengan semangat olahraga.

Namun, lebih daripada itu, persoalan di Piala Thomas kemarin itu sebenarnya jauh lebih kompleks lagi kalau kita memotretnya dengan kamera lebih wide. Soalnya, negara sendiri (yang direpresentasikan Presiden) memang sedari awal nggak niat-niat banget memajukan olahraga Indonesia.

Itu sudah kelihatan kok dengan kengganan pemberian posisi Menteri Pemuda dan Olahraga ke sosok profesional di bidang olahraga. Lihat saja tiap periode di Kemenpora. Menterinya selalu jadi target politisi-politisi partai pendukung pemerintah. Selalu begitu.

Beda banget seperti posisi Susi Pudjiastuti dulu yang ditunjuk sebagai Menteri Kelautan atau Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Profesional yang tak terafiliasi dengan partai politik. Mendapat jabatan bukan karena jatah-jatahan kue politik. Khusus jabatan Menpora, ia selalu jadi porsi khusus untuk politisi pendukung pemerintah.

Tidak pernah ada tuh pikiran dari pemerintah untuk setidaknya mempertimbangkan nama-nama profesional di bidang olahraga seperti Rudy Hartono, Widodo C. Putro, Taufik Hidayat, atau Chris John sekalian. Orang-orang yang passion-nya di bidang olahraga tidak perlu dipertanyakan lagi dan attitude-nya soal sportivitas tak perlu diragukan lagi.

Kegelisahan dalam renungan itulah yang kemudian membuat saya jadi kesal luar biasa. Karena dengan terbukanya kasus ini, saya seolah kembali disadarkan, bahwa sebuah kementerian yang ada nama “pemuda” dan “olahraga”-nya… justru dikelola dengan mindset “orang tua” serta tidak punya jiwa sportivitas layaknya atlet olahraga.

BACA JUGA Kenapa Orang Indonesia Jago Banget Main Bulutangkis? dan tulisan rubik POJOKAN lainnya.

Exit mobile version